Cerpen "SENIN"




SENIN
(Purba)

            “Bu.. aku berangkat ya.”
            Dengan wajah yang masih dekil, bau yang kurang sedap, dan gigi yang masih tidur bersama sisa-sisa makanan di dalam mulutnya, Rafi pamit kepada ibunya sebelum pergi ke sekolah.
            “Hati-hati Nak, ga sarapan dulu? Astaga anak ini selalu saja tidak menyahut kalau ibunya berbicara.” 
            Rafi adalah temanku juga tetanggaku. Dia adalah anak tunggal dari pasangan suami istri yang sangat baik.
            “Heeii Rifa, cieee sepatu baru ciee, sepatu baru,, sepatu baru,, sepatu baru,,” Dira spontan mengejek saat aku baru saja tiba di depan kelas. Mata temanku yang satu ini memang sangat tajam, dan mulutnya sangat cepat merespon hal-hal baru. Ia tidak akan pernah terlewatkan dengan segala sesuatu yang baru di kelas. Matanya akan selalu mencari benda baru dan langsung mengirim sinyal ke mulutnya untuk mengejek-ngejek si empunya sesuatu yang baru itu.  Jangankan benda berukuran besar yang bisa langsung terlihat, bahkan dengan benda-benda kecil seperti penghapus, pulpen atau apapun itu, dia akan soraki kalau baru ia melihatnya.
            Sebentar saja wajahku berubah menjadi tomat dan mulai kututupi dengan buku matematika yang kutenteng dari rumah.
            “ Dir, jangan bikin malu deh. Ini  bukan sepatu baru, sebenarnya udah lama dijual, tapi baru dibeli ibu tiga hari yang lalu dan baru dipake sekarang.”
            “Itu mah namanya baru juga Rifa Hahahaha .“ Saut Dira lalu kami tertawa bersama.
            Di SMA Tunas Bangsa aku belajar bersama sahabatku Dira dan Andin, beserta teman-temanku yang lain. Dulu kami berempat. Anggota yang lain adalah Rafi. Biasanya sebelum proses belajar mengajar dimulai, kami berempat akan berkumpul di pojok kelas memutar musik pop Indonesia terbaru lalu bernyanyi dan tertawa bersama-sama. Saat jam istrahat, kami akan ke kantin Bu Lilis untuk menghabiskan 8 bakwan namun hanya membayar lima ribu meskipun satu bakwan dijual seribu satu. Setiap harinya terasa sangat menyenangkan kalau bertemu dengan mereka. Kalau kata Dira, di sekolah akan lebih menyenangkan kalau gurunya tidak datang atau berhenti berceramah.
            Saat ini kami memasuki semester baru sebagai kelas XII, tepatnya di kelas XII IPA B. Kata senior-senior yang telah lulus, masa-masa kelas XII merupakan masa dimana kepala rasanya kurang besar menampung batu-batu (pelajaran) dan mata kurang banyak untuk membaca.
            “Andai saja aku punya mata enam, mungkin tidak sesulit ini aku membaca buku soal-soal UN ini, kepalaku juga tidak akan seberat ini kalau ukuran otakku lebih besar lagi, iyakan Rif?”
            “ Makanya Dir, waktu pembagian mata dan kepala seharusnya kamu datangnya dua atau tiga kali, biar porsinya lebih .” Sahutku dengan canda.
            Saat para siswa sibuk mengobrol sebelum mulainya ceramah di kelas (proses belajar mengajar), tiba-tiba si rambut acak-acakan masuk kelas. Ya siapa lagi kalau bukan Rafi. temanku yang satu ini selalu masuk kelas dengan on time. Dia tidak pernah terlambat. Berbeda kebanyakan siswa laki-laki di kelasku. Selain masuk kelas yang selalu on time, ada satu hal yang buat Rafi berbeda dari teman yang lain yaitu pada saat belajar dia kerap kali permisi keluar kelas. Entah magnet sebesar apa yang ada di luar sana hingga Rafi selalu tertarik keluar. Saat ditanya guru mau kemana, dia selalu menjawab ke toilet. Dan setelah ia keluar dari kelas, maka ia tidak akan kembali ke kelas dalam satu hari itu juga. Mungkin dia terlalu asik konsentrasi di WC hingga tertidur, atau mungkin ia nongkrong di kantin, atau bahkan pulang ke rumah. Entahlah kami tidak tahu, hanya saja tasnya selalu setia diam di laci meja menunggu majikannya.
            Sejak SMP hingga SMA, aku mengenal Rafi. Aku selalu satu kelas dengannya. Dulu dia merupakan siswa teladan di sekolah. Dia selalu mendapat juara satu di kelas, bahkan hingga kelas XI semester ganjil yang lalu. Tubuhnya tinggi, bahunya kekar. Ia berkulit putih, hidungnya mancung, dan matanya bening. Penampilannya selalu rapi juga bersih. Dia merupakan siswa yang rajin. Ia rajin bercengkrama dengan buku-buku dan selalu menempel dengan kursi di perpustakaan. Dia kerap menenteng buku-buku tebal di tangannya seperi buku kimai, fisika, kamus bahasa Ingrris, dan sebagainya saat pergi dan pulang dari sekolah. Yah, itulah Adnan Rafi yang dulu termasuk pria populer di sekolah Tunas Bangsa.
            Sejak memasuki semester genap kelas XI hingga saat ini, kepopulerannya sirna terbawa angin. Ia seperti tidak pernah mandi. Rambutnya acak-acakan. Tasnya selalu ringan. Dia tidak pernah lagi menenteng buku. Dia bermusuhan dengan buku-buku dan kursi di perpustakaan. Jangankan di perpustakaan, di kursi kelas pun ia tidak betah. Saat penerimaan rapor, nilai Rafi berada di urutan 40 dari 40 siswa. Parasnya kini lusuh. Matanya terlihat lelah. Tubuhnya semakin kurus. Ia terlihat seperti seorang yang sedang sakit-sakitan.
            Melihat keadaannya sekarang, aku teringat dengan sosok Rafi dulu yang ceria, ramah, dan cerdas. Setiap minggu pagi, Rafi selalu olah raga bersama dengan ayah dan ibunya dengan senyuman di wajahnya tersirat kebahagiaan. Aku juga sering tanpa sengaja bertemu dengan mereka di puncak untuk sekedar mencari udara segar lalu kami akan bercengkrama bersama.
            Dulu kami sangat dekat. Selain karena 6 tahun di sekolah yang sama, Rafi juga merupakan penghuni rumah besar yang berada di samping rumahku. Sejak ia dan keluarganya pindah dari Kalimantan ke Bogor. Ia menjadi salah satu teman dekatku selain Dira dan Andin. Sehari-hari kami belajar bersama di rumahnya. Bukan saja karena ingin belajar, aku juga sering ke rumah Rafi untuk menghabiskan masakan ibunya.
            “Belajar yang rajin ya, ini tante bawa pisang goreng pake coklat dan keju.”
            “Wihhh enak nih, makasih Tante Dina.”
            Setiap sore, ibunya akan menyapaku dengan ramah sambil membawa makanan ringan ke ruang tengah. Ia juga selalu menyuruh Rafi mengantar makanan ke rumahku. Ibunya cantik, baik, dan sangat pandai memasak. Saat petang tiba, seorang pria gagah akan muncul memasuki rumah sambil mencium kening istrinya dan pasti menanyakan Rafi dan aku ada dimana.
            “Rafi, Rifa dimana Bu? Udah makan mereka?”
            “Di ruang tengah Yah, tadi cuma makan pisang goreng.”
            Di kartu keluarga mereka hanya tercantum nama Adnan Rafi sebagai anak, tetapi di rumah ini rasanya selalu bahagia diperlakukan seperti anak perempuan mereka. Itulah sebabnya ibu dan ayah kandungku sering bercanda menyebut aku bukan anak mereka tetapi anak tante Dina dan om Bambang.
            Sepulang kerja, ayah Rafi akan membawakan ice cream, coklat, atau martabak keju untuk kami habiskan berdua bersama Rafi saat belajar bersama. Setiap hari merupakan hari bahagia bagi keluarga Rafi. Keluarga kecil ini hidup dengan cukup dan tanpa beban. Mereka sangat harmonis. Ramah kepada tetangga-tetangga, saling menolong dan bersahaja.
            Saat pagi tiba, ayah Rafi akan mengingatkan Rafi untuk sarapan, bahkan tidak jarang ayahnya yang membawakan sarapan ke kamar Rafi.
            “Rafi, matahari udah naik tuh. Ayo bangun! Malu ahh udah besar bangunnya lama. Ini ayah letakin roti sama susu di meja, cepat minum trus mandi!”
            Kemudian setiap siang hari bagaimanapun banyaknya pekerjaan, ayahnya akan menyempatkan untuk menelepon dan menanyakan apakah Rafi sudah makan siang.
            Senin itu, lonceng sekolah berbunyi, ibu Rafi  menjemput kami menggunakan mobil pribadi berwarna merah yang ber-AC lalu dibawa ke toko buku dan makan siang bersama di sebuah restoran seafood di daerah Bogor. Pada saat makan, handphone Rafi bergetar pertanda ada yang menelepon. Di layar Hp android yang sangat pas di tangan itu tertulis “Ayah memanggil”.
“Hallo.”
“Kalian lagi dimana? Udah makan kan Nak?”
“Iya Yah, ini lagi makan sama ibu sama Rifa juga.”
“Owh, ya sudah kalau gitu.”
“Iya, Yah.”
            Saat malam hari tiba tepatnya pukul 20.00 Rafi, ayah, dan ibunya akan makan bersama. Setelah makan, Rafi akan bermain playstation atau menonton bola bersama ayahnya. Ia juga masih sering tidur bersama ayahnya sekalipun ia telah duduk di SMA.
            Rafi sangat dekat dengan ayahnya. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama-sama dibandingkan Rafi bersama ibunya. Minggu pagi selain lari pagi bersama, mereka juga sering bermain bad minton di halaman rumah. Tidak ada yang menandingi kedekatan mereka hingga Senin malam yang suram itu datang.
            “Bu, ayah tumben belum pulang? Ini sudah jam 8 malam?”
            “Mungkin ayahmu ada kerja tambahan di kantor jadi agak lama pulang.”
            Pada Senin malam itu, aku pergi bersama Dira ke toko sepatu. Dira ingin mengganti sepatunya yang terkena jimpratan air hujan tadi siang sepulang sekolah. Setelah mencoba banyak sepatu, akhirnya Dira memilih juga sepatu Nike berwarna merah yang ia sukai. Kami lalu membeli minuman soda untuk diminum sembari pulang dengan supir pribadi Dira. Di perjalan, aku asik mendengar cerita Dira tentang baju baru yang ia lihat di sebuah butik di dekat salon langganannya. Ia kemudian memintaku hari minggu menemaninya membeli baju itu.
“Bajumu sudah sangat banyak, untuk apa membeli lagi?
“Ini bukan masalah kebutuhan Rif, tapi ini masalah perasaan. Aku jatuh cinta dengannya dan aku harus mendapatkannya.” Aku tersenyum sambil membuka kaca dan memandang ke luar kaca.
“Darr…..” 
            Tiba-tiba bunyi keras itu mengagetkanku. Motor besar beradu dengan mobil putih bernomor seri yang tidak begitu jelas terlihat olehku. Di sudut jalan siliwangi itu aku melihat orang-orang beramai-ramai dengan wajah panik mengerumuni pengemudi mobil yang mungkin telah tergeletak berdarah dan tidak bergerak karena kecelakann besar itu.
            “Dira, di sana ada kecelakaan. Kita lihat dulu yok.”
            “Biarin aja Rif, di Bogor kan sudah biasa kecelakaan terjadi. Palingan pengemudinya sedang mabuk. Kita langsung pulang saja ya? Biar ga telat besok ke sekolah.”
            “Ya udah kalau gitu.”
            Sesampai di depan pagar rumahku, tiba-tiba dengan menagis dan terbirit-birit aku melihat Rafi dan tante Dina menuju mobil lalu melaju hingga pot bunga di depan rumah mereka terlempar. Aku mencoba bertanya, tetapi mereka tidak menghiraukan karena sangat terburu-buru. Aku mulai panik. Aku merasa resah. Keningku tiba-tiba berkerut. Bulu romanku berdiri dan angin menusuk lapisan kulitku yang paling dalam. Aku berniat menghubungi Rafi atau tante Dina untuk menanyakan apa yang terjadi, tetapi melihat keadaan tadi, aku tak melakukannya.
            “A Y A H.”
             “Yang tabah ya Bu.” Kata dokter yang mencoba menenangkan Rafi dan ibunya. Melihat sosok om Bambang yang terbaring pucat ditutupi kain putih. Aku terdiam. Tubuhku kaku. Mulutku kelu. Air tak terbendung lagi hingga menembus mataku saat baru tiba di rumah sakit begitu membaca sms dari tante Dina.
            Di sudut ruang yang dinamakan kamar jenazah itu, kulihat Rafi yang terbujur lemah sambil menangis tersedu-sedu. Malam itu, aku tidak menyangka akan menjadi malam yang sangat suram.
            “Ibu rasa sampai di sini dulu pembelajaran kita. Jangan lupa kerjakan soal halaman 19 di LKS. Oh iya, siapa yang tidak datang?”
            “Rafi Bu.”
            “ Ya sudah. Selamat siang.”
            “Selamat siang Bu.”
            Lagi-lagi setelah kejadian Senin malam itu teman kami bernama Adnan Rafi itu tidak datang ke sekolah. Apakah ia berencana pindah ke Kalimantan tempat neneknya, atau pindah sekolah, atau justru tidak sekolah lagi? Entahlah.
            “Senin suram. Senin nama hari yang akan kuhapus dari kelenderku. Mengapa engkau menjadi hari yang menelan ayahku?” Demikian isi status facebook Rafi 100 hari setelah kehilangan ayahnya.

                                                                                                                                                                                Padang, 12 Mei 2014
                                                                                                                                                                                            (Purba)

Komentar