MAKALAH TEORI DAN ALIRAN KONSTRUKTIVISME

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Berbagai cara dan metode dilakukan guna mencapai hasil belajar yang optimal. Belajar merupakan proses seseorang melatih dan membina diri menjadi individu yang berilmu pengetahuan dan berguna bagi diri sendiri dan orang lain. Setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menguasai pembelajaran.
Perihal kemampuan yang berbeda-beda dan untuk mencapai hasil belajar yang optimal, maka lahir berbagai aliran dan teori yang berperan dalam dunia pendidikan. Teori-teori tersebut adalah teori behaviorisme, kognitivisme, humanisme, dan konstruktivisme. Namun yang akan dibahas dalam makalah ini adalah salah satu dari teori-teori tersebut yaitu teori konstruktivisme.
B.     Rumusan Masalah
                     1.         Apakah yang dimaksud dengan teori konstruktivisme?
                     2.         Apakah pengertian pengetahuan menurut teori konstruktivisme?
                     3.         Apa ciri-ciri aliran konstruktivisme?
                     4.         Apa jenis-jenis teori konstruktivisme?
                     5.         Apa prinsip-prinsip teori konstruktivisme?
                     6.         Apa fungsi-fungsi teori konstruktivisme?
                     7.         Bagaimana pandangan teori konstruktivisme terhadap pembelajaran?
                     8.         Apa peran pendidik dalam pengembangan pembelajaran konstruktivisme?
                     9.         Apa kelebihan dan kekurangan teori konstruktivisme?
                   10.       Bagaimana implementasi teori konstruktivisme dalam pembelajaran?
                   11.       Bagaimana implikasi teori konstuktivisme dalam pembelajaran?
C.    Tujuan Masalah
                  1.            Untuk mendeskripsikan definisi teori konstruktivisme.
                  2.            Untuk mendeskripsikan pengertian pengetahuan menurut teori konstruktivisme.
                  3.            Untuk mendeskripsikan ciri-ciri aliran konstruktivisme.
                  4.            Untuk mendeskripsikan jenis-jenis teori konstruktivisme.
                  5.            Untuk mendeskripsikan i prinsip-prinsip teori konstruktivisme.
                  6.            Untuk mendeskripsikan fungsi-fungsi teori konstruktivisme.
                  7.            Untuk mendeskripsikan pandangan teori konstruktivisme terhadap pembelajaran dan sebagainya.

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Konstruktivisme
Secara etimologi, kata konstruktivisme berasal dari konstruktif yang berarti ‘bersifat membina, memperbaiki, membangun’ dan kata isme yang berarti ‘suatu paham’. Konstruktivisme adalah suatu paham yang bersifat membina, memperbaiki, dan membangun gagasan peserta didik dalam proses pembelajaran (Dalam Anwar, 2003: 242). Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico pada tahun 1710. Menurutnya seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu, (Suparno dalam Veronika, 2010).
Perkembangan filsafat biasanya diawali dengan definisi realitas dan kemudian mendeskripsikan satuan-satuan lain yang termasuk dalam istilah definisi itu. Sebaliknya, menurut Phillips (dalam Gredler, 2011: 22) konstruktivisme secara umum berfokus pada filsafat pengetahuan, menyisihkan peran dari realitas eksternal dalam membentuk keyakinan. Artinya, konstruktivisme memberikan pesan besar pada proses sosial yang berfungsi sebagai kriteria untuk menentukan konten (isi) pengetahuan.
Menurut Santrock (2011: 389) pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan untuk pembelajaran yang menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik apabila mereka secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pemahaman. Berkaitan dengan definisi konstruktivisme, Iskandarwassid (2011: 62) berpendapat bahwa makna kostruktif berarti bahwa para peserta didik diajak menyusun kembali rencana dan mensimulasikan sebuah proyek kerja. Dalam konstruktivisme ditekankan metode pembelajaran kooperatif, generatif, strategi bertanya, inkuiri, dan metakognitif. Dalam teori konstruktivisme, peserta didik diberi tugas-tugas yang kompleks, sulit, namun realistis, kemudian mereka diberi bimbingan secukupnya untuk menyelesaikan tugas.
Poedjiadi (dalam Veronika, 2010) berpendapat bahwa konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya, dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya. Senada dengan pendapat itu, Karli (dalam Veronika, 2010) mengemukakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan yang dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri, dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya.

B.     Pengertian Pengetahuan Menurut Teori Konstruktivisme
Seiring upaya perbaikan kualitas pembelajaran ke arah pembelajaran organis, filsafat konstruktivisme kian populer di bidang pendidikan. Pemikiran filsafat konstruktivisme mengenai hakikat pengetahuan memberikan sumbangan terhadap usaha mendekonstruksi pembelajaran mekanis. Gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan adalah sebagai berikut (Suprijono, 2013: 30).
1.         Pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2.         Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan stuktur yang perlu untuk pengetahuan.
3.         Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsep seseorang. Struktur konsep membentuk pengetahuan jika konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
Teori konstruktivisme mengemukakan bahwa pengetahuan adalah factum (apa yang dibuat), et verum (apa yang diketahui), convertuntur (konvertibel satu dengan yang lainnya). Pengetahuan itu dikontruksikan (dibangun) dan dipersepsi secara langsung oleh indera. Semua pengetahuan tidak peduli bagaimana pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang berpikir tidak memiliki alternatif lain selain mengkontruksikan apa yang diketahuinya berdasarkan pengalaman sendiri.
Pengetahuan menurut kontruktivisme bersifat subjektif, bukan objektif. Pengetahuan tidak pernah tunggal. Pengetahuan merupakan realitas plural. Pengetahuan adalah hasil kontruksi dari kegiatan atau tindakan seseorang. Pengetahuan ilmiah berevolusi, berubah dari waktu ke waktu. Pemikiran ilmiah adalah sementara, tidak statis, dan merupakan proses. Pemikiran ilmiah adalah proses kontruksi dan reorganisasi secara terus-menerus. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang ada di luar, tetapi ada dalam diri seseorang yang membentuknya (Suprijono, 2013: 30). Pandangan ini berlawanan dengan pandangan realisme yang mengatakan bahwa “kebenaran itu ada di luar sana” dan oleh karenanya orang dapat mengobservasi realitas secara objektif.
Berdasarkan pembentukannya atau pengkontruksiannya, Paiget (dalam Suprijono, 2013: 31) mengkategorikan pengetahuan menjadi tiga bagian yaitu, (1) pengetahuan fisis yakni pengetahuan yang dibentuk dari abstraksi langsung terhadap objek yang dipelajari, (2) pengetahuan matematis-logis yakni pengetahuan yang dibentuk dari perbuatan berpikir seseorang terhadap objek yang dipelajari, dan (3) pengetahuan sosial yakni pengetahuan yang dibentuk melalui interaksi seseorang dengan orang lain.

C.    Ciri-ciri Teori Konstruktivisme
Broks dan Boroks (dalam Suprijono,2013: 36) menjelaskan ciri-ciri konstruktivisme sebagai berikut.
1. Kegiatan belajar konstruktivisme bersandar pada materi hands on.
2. Prensentasi materi dimulai dengan keseluruhan kemudian pindah ke bagian-bagian.
3. Menekankan pada ide-ide dasar.
4. Guru mengikuti pertanyaan peserta didik.
5. Guru menyiapkan lingkungan belajar dimana peserta didik dapat menemukan pengetahuan.
6. Guru berusaha membuat peserta didik mengungkapkan sudut pandang dan pemahaman mereka sehingga mereka dapat memahami pembelajaran mereka.
7. Asesmen diintegrasikan dengan belajar mengajar melalui portofolio dan observasi.

D.    Jenis-jenis Teori Konstruktivisme
Menurut Bredo (dalam Gredler, 2011: 22) pada akhir abad ke-20, istilah konstruktivisme menjadi bagian dari diskusi filsafat, sosiologi, dan pendidikan. Akan tetapi, disiplin dan berbagai macam aliran pemikiran di dalamnya mendefinisikan istilah itu dengan cara berbeda-beda. Selain itu, kontruktivisme digunakan pada berbagai tataran untuk membahas isu-isu seperti pembentukan pengetahuan ilmiah, perkembangan pengetahuan anak, dan relasi antara pengetahuan dan kenyataan. Adapun jenis-jenis teori konstruktivisme adalah sebagai berikut.
1.      Kontruktivisme Sosial Radikal
Menurut Woolgar (dalam Gredler, 2011: 23) berbeda dengan pendapat kontruktivis-sosial lainnya, perspektif radikal ini mengatakan bahwa pengetahuan sepenuhnya dibentuk  dari relasi sosial. Manusia mengkontruksi objek penelitian mereka. Karenanya, atom, molekul, dan quark semuanya adalah kontruksi manusia. Semua itu adalah artefak sosial yang merupakan produk dari kekuatan sosial, minat, dan karakteristik historis dari konteks lokal. Para sarjana telah mengidentifikasi beberapa problem di dalam kontruktivisme sosial. Pertama, pendapat ini berada di luar studi sosiologis yang membahas efek dari fenomena sosial perifal yang mengitari lahirnya pengetahuan. Menurut Phillips (dalam Gredler, 2011: 23) pandangan kontruktivis sosial hanya berusaha menjelaskan konten kognitif aktual di dalam teori ilmiah. Kedua, kontruktivisme sosial radikal tidak menggunakan penalaran atau bukti fisik/ilmiah sebagai kriteria untuk pengembangan dan verifikasi teori.


2.      Kontruktivisme Edukasional
Menurut Marshall (dalam Gedler, 2011: 25) faktor- faktor yang memberi kontribusi pada kemunculan konstruktivisme dalam pendidikan adalah (a) oversalling komputer sebagai metafora untuk belajar, (b) transmisi model pelajar, (c) keprihatinan bahwa siswa mendapatkan keterampilan dalam lingkungan yang terisolasi dan kontektual, sehingga tidak mampu mengaplikasikan ilmunya untuk situasi dunia nyata, dan (d) minat pada teori kultural-historis Vygotsky. Belakangan ini ada tiga variasi dari konturksi edukasional, yakni kontruksi personal, sosial, dan afilosofi. 

a.       Kontruktivisme Pribadi atau Individual
Menurut Von Glaserfield (dalam Gredler, 2011: 25) kontruktivisme pribadi juga merupakan pandangan radikal karena keyakinan dasarnya adalah realitas tidak dapat diakses oleh pengetahuan manusia. Artinya, semua pengetahuan adalah kontruksi manusia. Namun, berbeda dengan kontruktivisme sosial radikal, yang menciptakan dan mengonstruksi pengetahuan atau konsep adalah individu, bukan kelompok sosial.
Menurut Gredler (2011: 25) kontruktivisme pribadi berasal dari teori perkembangan kognitif Jean Piaget. Tiga poin kesepakatan antara Piagetian dan kontruktivisme pribadi dalam dua hal. Pertama, teori Piagetian berpendapat bahwa ada  eksistensi realitas eksternal. Kedua, fokus teori Piagetian adalah pada berbagai perubahan dalam pemikiran yang berkembangan dari bayi hingga remaja saat seseorang menyesuaikan pemahamannya tentang dunia dengan realitas ysng ditemuinya. Dengan kata lain, Piaget fokus pada perkembangan penalaran dan pemikiran logis, sedangkan kontruktivisme pribadi fokus pada topik khusus, seperti fotosintesis. 

b.      Kontruktivisme Sosial
Menurut Gredler (2011: 26) pendapat kontruktivis-sosial berbeda dengan kontruktivisme pribadi dalam tiga hal yaitu, (1) definisi pengetahuan, (2) definisi belajar, dan (3) lokus belajar
Kontruktivis sosial memandang pengajaran di kelas sebagai sebuah komunitas yang tugasnya adalah mengembangkan pengetahuan. Karena mereka juga memandang pengetahuan sebagai tidak terpisahkan dari aktivitas yang menghasilkan pengetahuan, maka pengetahuan itu berifat transaksional. Menurut Cobb dan Bowers (dalam Gredler,2011: 26) pengetahuan dikontruksi secara sosial dan disebarkan di kalangan sesama partisipan. Peran peserta didik adalah berpartisipasi dalam sistem praktik/latihan yang juga ikut berkembang.
Wood (dalam Gredler, 2011: 26) kontruktivisme sosial juga mengganggap pendekatan mereka alternatif untuk pendekatan belajar dengan penemuan. Cobb dan Yackel (dalam Gredler, 2011: 27) menjelaskan sebagai subvariasi dari konstruktivisme sosial, telah tumbuh pendapat yang mengoordinasikan pandangan pribadi dan konstruktivisi sosial. Pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa proses kognitif maupun proses sosial tidak boleh dianggap aspek sekunder dalam usaha untuk memahami belajar mengajar.

c.       Konstruktivisme Afilosofis
Matthews (dalam Gredler, 2011: 28) mengatakan setidaknya subkelompok kontruktivisme tidak memberikan asumsi tentang sifat pengetahuan. Salah satu kelompok pendidik sekadar menggunakan label kontruktivis untuk meyebut segala sesuatu di mana siswa aktif dalam belajar, bertanya, dan berhasrat maju. Dua subkelompok lain menginterprestasikan kontruktivisme sebagai mewakili cara siswa memberi makna saat membaca dan menulis. Mungkin yang paling terkenal adalah pendekatan holistik untuk literasi yang dikenal sebagai bahasa keseluruhan (whole language).
Menurut Spivey (dalam Gredler, 2011: 28) pendekatan konstruktivis yang berfokus pada kelas mendeskripsikan pembaca dan penulis sebagai “membentuk, membangun, dan mengelaborasi makna ketika memahami atau memproduksi teks. Dalam membaca, proses konstruktivis melibatkan pemilihan konten yang relevan yang ditujukan oleh teks, mengorganisasikannya, dan menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki pembaca. 

E.     Prinsip-prinsip Teori Konstruktivisme
Wiare (2013) menjelaskan bahwa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan pembelajaran kontruktivisme adalah sebagai berikut.
1.      Prior Knowledge/Previous Experience
Faktor yang memengaruhi proses belajar adalah apa yang telah diketahui oleh peserta didik. Prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah sebagai berikut.
a.       Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri. 
b.      Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
c.       Murid aktif megkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
d.      Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
e.       Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
f.       Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
g.      Mencari dan menilai pendapat siswa.
h.      Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Berdasarkan prinsip-prinsip itu, hanya ada satu prinsip yang paling penting yakni guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
Berbeda dengan itu, Suprijono (2013: 47) hanya mengemukakan dua garis besar prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan pembelajaran kontruktivisme, yaitu sebagai berikut.
1.      Prior Knowledge/Previous Experience
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi proses belajar adalah apa yang telah diketahui oleh peserta didik. Kontruksi pengetahuan tidak berangkat dari “pikiran kosong” (blank mind), peserta didik harus memiliki pengetahuan tentang apa yang hendak diketahui. Pengetahuan ini disebut pengetahuan awal atau dasar.
2.      Conceptual Change Process
Proses perubahan konseptual (Conceptual Change Process) merupakan proses pemikiran yang terjadi pada diri peserta didik ketika peta konsep yang dimilikinya dihadapkan dengan situasi dunia nyata. Dalam proses ini, peserta didik melakukan analisis, sintesis, berargumentasi, mengambil keputusan, dan menarik kesimpulan sekalipun bersifat tentatif. Konstruksi pengetahuan yang dihasilkan bersifat viabilitas, artinya konsep yang telah terkonstruksi bisa jadi tergeser oleh konsep lain yang lebih dapat diterima.
Konstruksi pengetahuan membutuhkan kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, kemampuan mengambil keputusan (justifikasi) mengenai persamaan dan perbedaan serta kemampuan lebih menyukai yang satu dari yang lain.
 
F.     Fungsi-fungsi Teori Konstruktivisme
Haminullah (2013) mengemukakan beberapa fungsi teri konstruktivisme di dalam kelas, yaitu sebagai berikut.
1.      Mendorong Kemandirian dan Inisiatif Siswa dalam Belajar
Menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).
2.      Guru Mengajukan Pertanyaan Terbuka dan Memberikan Kesempatan Beberapa Waktu kepada Siswa untuk Merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
3.      Mendorong Siswa Berpikir Tingkat Tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya.
4.      Siswa Terlibat Secara Aktif dalam Dialog atau Diskusi dengan Guru dan Siswa Lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas.

5.      Siswa Terlibat dalam Pengalaman yang Menantang dan Mendorong Terjadinya Diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hipotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
6.      Guru Memberikan Data Mentah, Sumber-Sumber Utama, dan Materi-Materi Interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.
Haminullah (2013) menjelaskan bahwa selain fungsi-fungsi tersebut itu yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
Shymansky (dalam Haminullah, 2013) menjelaskan bahwa dari uraian tersebut dapat dikatakan, makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana peserta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya. Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.

G.    Pandangan Teori Konstruktivisme terhadap Pembelajaran
Menurut Suprijono (2013: 39) konstruktivisme menilai belajar sebagai proses operatif bukan figuratif. Belajar operatif adalah belajar memperoleh dan menemukan struktur pemikiran yang lebih umum, yang dapat digunakan pada bermacam-macam situasi, sedangkan belajar figuratif adalah belajar memperoleh dan menambah pengetahuan. Konstruktivisme juga menekankan bahwa belajar adalah autentik, bukan artifisial. Belajar autentik adalah proses interaksi seseorang dengan objek yang dipelajari secara nyata. Belajar bukan sekedar mempelajari teks-teks (tekstual), yang terpenting ialah bagaimana menghubungkan teks itu dengan kondisi nyata (kontekstual).
Selain menekankan pada belajar operatif dan autentik, konstruktivisme juga memberikan kerangka pemikiran belajar sebagai proses sosial atau belajar kolaboratif dan kooperatif. Belajar merupakan hubungan timbal balik dan fungsional antara individu dengan individu lain atau kelompok. Sederhananya belajar adalah interaksi sosial. Secara sosiologis, pembelajaran konstruktivisme menekankan pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi kemampuan belajar kolaboratif dan kooperatif akan dapat meningkatkan pengubahan secara konseptual. Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi peserta didik untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat bertemu dengan pemikiran orang lain, dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama.
Kata kunci belajar kolaboratif dan kooperatif adalah purposeful talk, yaitu percakapan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik menelaah, mengolaborasi, mengakses, dan membangun pengetahuannya di dalam konteks sosial. Purposeful talk merupakan proses intersubjektif yang berperan besar dalam pengobjektivikasian pengetahuan secara sosial. Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting bagi perkembangan pemikiran peserta didik.
Pembelajaran berbasis konstruktivisme merupakan belajar artikulasi, yakni proses mengartikulasikan ide, pikiran, dan solusi. Belajar tidak hanya mengkonstruksikan makna dan mengambangkan pikiran, namun juga memperdalam proses-proses pemaknaan tersebut melalui pengekspresian ide-ide.

H.    Peran Pendidik dalam Pengembangan Pembelajaran Konstruktivisme
Agar tercapai hasil yang optimal dalam teori konstruktivisme, guru harus berperan dalam pembelajaran. Peran penting guru dalam pembelajaran konstruktivisme adalah scaffolding dan coaching.
1.      Scaffolding
Scaffolding adalah memberi dukungan dan bantuan kepada peserta didik pada awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan tersebut setelah peserta didik mampu memecahkan masalah. Dukungan itu dapat berupa isyarat-isyarat, peringatan-peringatan, memberikan contoh, dan sebagainya.

Selain scaffolding, peran penting lain seorang guru adalah coaching.
2.      Coaching
Coaching adalah proses memotivasi, menganalisis performa, dan memberikan umpan balik terhadap peserta didik. Guru memotivasi peserta didik selama mereka menyelesaikan soal-soal secara mandiri atau di dalam kelompok. Melalui peran guru berupa coaching maka peserta didik akan mendapatkan hasil belajar secara maksimal.

I.       Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivisme
Yuukichan (2012) menjelaskan bahwa kelebihan dan kekurangan teori konstruktivisme adalah sebagai berikut.

1.      Kelebihan
a.       Teori ini dalam proses berfikir membina pengetahuan baru, membantu siswa untuk mencari ide, menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan.
b.      Teori ini dalam proses pemahaman murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru.
c.       Teori ini dalam proses pengingatan siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
d.      Teori ini dalam kemahiran sosial siswa dapat dengan mudah berinteraksi dengan teman dan guru dalam membina pengetahuan baru.
e.       Oleh karena siswa terlibat secara terus-menerus makan mereka akan paham, ingat, yakin, dan berinteraksi maka akan timbul semangat dalam belajar dan membina pengetahuan baru.
f.       Berfikir alam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, merancang ide dan membuat keputusan.
g.      Paham, dikerenakan murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan dapat mengapliksikannya dalam semua situasi. Melalui pendekatan ini, murid membina sendiri pemahaman mereka dan  mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
h.      Kemahiran sosial, kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
i.        Nyaman, dikarenakan mereka terlibat secara terus menerus, maka mereka akan paham, ingat, dan yakin dan berinteraksi dengan lancar, maka mereka akan merasa nyaman belajar dalam membina pengetahuan baru.
j.        Peserta didik lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.
k.      Melibatkan secara aktif, memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir peserta didik yang lebih tinggi.
l.        Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki peserta didik sehingga pembelajaran lebih bermakna.
m.    Peserta didik dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah-masalah yang diseleseikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan peserta didik terhadap bahan yang dipelajari.
n.      Menjadikan peserta didik lebih mandiri dan dewasa mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif di antara peserta didik.

2.      Kelemahan
Kelemahan dari teori ini terlihat dalam proses belajarnya, yakni peran guru sebagai pendidik itu kurang begitu mendukung. Kelemahan lain diterapkannya teori konstruktivisme adalah sebagai berikut.
a.       Siswa membuat pengetahuan dengan ide mereka masing-masing, oleh karena itu pendapat siswa berbeda dengan pendapat para ahli.
b.      Teori ini menanamkan supaya siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama., apalagi untuk siswa yang malas.
c.       Kondisi di setiap sekolah pun mempengaruhi keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan yang baru.

J.      Implementasi Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Menurut Burhanuddin (2014) implementasi teori belajar konstruktivistik dalam proses belajar pembelajaran dapat menggunakan beberapa metode belajar, seperti penjelasan/ceramah, tanya jawab, diskusi, penugasan, bermain peran. Pada teknik penjelasan/ceramah, guru menjelaskan tentang suatu materi pelajaran kepada siswa agar siswa mengetahui apa yang akan dipelajarinya. Pada teknik tanya jawab, sebelum kegiatan inti dalam suatu pembelajaran berlangsung, guru dan siswa dapat melakukan tanya jawab yang berhubungan dengan materi yang akan diajarkan. Hal ini berguna untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi tersebut dengan memanfaatkan pengetahuan awal (dasar) yang dimilikinya. Pada teknik diskusi, siswa mendiskusikan dengan siswa lainnya dan guru mengenai materi pelajaran tersebut. Metode penugasan merupakan suatu cara dalam proses belajar mengajar dengan jalan memberi tugas kepada siswa. Penggunaan metode ini memerlukan pemberian tugas dengan baik, baik ruang lingkup maupun bahannya. Pelaksanaannya dapat diberikan secara individual maupun kelompok. Metode pemberian tugas ini juga dapat dipergunakan untuk mendukung metode pembelajaran yang lainnya.
Pendekatan belajar konstruktivistik memiliki beberapa strategi dalam proses belajar. Strategi-strategi belajar menurut Slavin (dalam Burhanuddin, 2014) adalah sebagai berikut.
1.      Top-down Processing
Perihal pembelajaran konstruktivistik, siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan yang dibutuhkan. Misalnya, siswa diminta menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimat-kalimat tersebut dan kemudian bagaimana menulis titik dan komanya.
2.      Cooperative Learning
Strategi yang digunakan untuk proses belajar, dimana siswa akan lebih mudah menemukan secara komprehensip konsep-konsep yang sulit jika mereka mendiskusikannya dengan siswa yang lain tentang problem yang dihadapi. Dalam strategi ini, siswa belajar dalam pasangan-pasangan atau kelompok untuk saling membantu memecahkan problem yang dihadapi.
3.      Generative Learning
Strategi ini menekankan pada adanya integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata. Sehingga dengan menggunakan pendekatan generative learning diharapkan siswa menjadi lebih melakukan proses adaptasi ketika menghadapi stimulus baru. Selain itu, pendekatan ini mengajarkan sebuah metode yang untuk melakukan kegiatan mental saat belajar, seperti membuat pertanyaan, kesimpulan, atau analogi-analogi terhadap apa yang sedang dipelajari.

K.    Implikasi Teori Konstuktivisme dalam Pembelajaran
Lahirnya aliran konstruktivisme memberikan dampak dalam dunia pendidikan. Implikasi (keterlibatan) teori konstruktivisme dalam pembelajaran dapat digambarkan sebagai berikut (Suprijono, 2013: 39).
Comparison with Previous Ideas
 Orientation
Elicitation Of Ideas
Restructuring Of Ideas
Aplication Of Ideas
Review Change in Ideas
 
Keterangan dari gambar implikasi teori konstruktivisme terhadap pembelajaran yaitu sebagai berikut.
1.         Orientasi, merupakan fase untuk memberi kesempatan kepada peserta didik memperhatikan dan mengembangkan motivasi terhadap topik pembelajaran.
2.         Elicitasi, merupakan fase untuk membantu peserta didik menggali ide-ide yang dimilikinya dengan memberi kesempatan diskusi.
3.         Restrukturisasi ide, merupakan fase peserta didik melakukan klarifikasi ide dengan cara mengontraskan idenya dengan ide-ide orang lain, kemudian membangun ide baru (kesimpulan) dan mengevaluasi ide baru tersebut dengan eksperimen.
4.         Aplikasi ide, merupakan fase peserta didik mengaplikasikan idenya pada bermacam-macam situasi yang di hadapi.
5.         Reviu, merupakan fase peserta didik mengaplikasikan dan merevisi gagasannya dengan menambah keterangan atau mengubahnya menjadi lebih lengkap.

 
BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Teori dan aliran konstruktivisme menuntut peserta didik membangun ide atau gagasannya terhadap sesuatu. Dalam aliran ini, seorang anak dikategorikan berhasil dalam belajar apabila anak tersebut mampu mengembangkan dan menumbuhkan gagasan baru. Dalam konstruktivisme ditekankan metode pembelajaran kooperatif, generatif, strategi bertanya, inkuiri, dan metakognitif. Dalam teori ini, peserta didik diberi tugas-tugas yang kompleks, sulit, namun realistis, kemudian mereka diberi bimbingan secukupnya untuk menyelesaikan tugas.

B.     Saran
Teori konstruktivisme menuntut peserta didik aktif dan membangun gagasannya sendiri. Dalam teori ini, guru hanya berfungsi sebagai fasilitator, sedangkan siswa diharuskan mencari sendiri dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sangat tepat teori ini diterapkan dalam proses belajar, karena seorang anak yang mencari sendiri pengetahuan dan mampu menyampaikannya kembali atau mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, maka pengetahuan itu akan lebih lama ada pada anak tersebut dibandingkan pengetahuan yang hanya ia dengar maupun lihat.
 

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Desi. 2003: Kamus Lengksap Bahasa Indonesia. Surabaya: Amelia.
Burhanuddin, Afid. 2014. “Kekurangan dan Kelebihan Teori Konstruktivisme”.              https://afidburhanuddin.wordpress.com. Diunduh 10 Maret 2015.
Gredler, Margaret. 2011. Learning and Instruction (terjemahan Tri Wibowo). Jakarta: Prenada Media Group.
Haminullah, Ibrohim. 2013. “Teori Belajar Konstruktivisme”.  http://ibrohimhaminullah.blogspot.com. Diunduh 06 Maret 2015.
Iskandarwassid. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Rosda.
Sanrock, Jhon. 2011. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Suprijono, Agus. 2013. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Veronika. 2010. “Konstruktivisme dalam Pembelajaran”.    
http://veronikacloset.files.wordpress.com. Diunduh 06 Maret 2015.
Wiare. 2013. “Teori Belajar Konstrutivisme”. http://wiare.blogspot.com. Diunduh 06 Maret 2015.
Yuukichan. 2012. “Kelebihan dan kelemahan teori Konstruktivisme” http://duniayuukichan.blogspot.com. Diunduh 06 Maret 2015.

Komentar