TEORI-TEORI KEBENARAN
A. Pengertian Kebenaran
Secara
etimologi, kebenaran berasal dari kata dasar benar. Menurut Anwar (2003: 34) benar adalah tidak salah, adil,
lurus, dan lain-lain. Sedangkan menurut Muslih (2013) ada dua pengertian
kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi, dan kebenaran
dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran). Persesuaian antara
pengatahuan dan objeknya itu yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu
harus sesuai dengan aspek objek yang diketahui. Berdasarkan kedua pendapat
tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah sesuatu hal yang adil dan
objektif, atau sesuai apa adanya.
B. Tingkatan Kebenaran
Kebenaran adalah fungsi rohaniah.
Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tidak mungkin hidup tanpa
kebenaran. Berdasarkan potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran adalah
sebagai berikut.
1.
Tingkatan kebenaran indera, yaitu tingakatan yang paling
sederhana dan pertama yang dialami manusia.
2.
Tingkatan ilmiah, yaitu pengalaman-pengalaman yang
didasarkan melalui indera, dan diolah dengan rasio.
3.
Tingkatan filosofis, yaitu rasio dan pikir murni, renungan
yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
4.
Tingkatan religius, yaitu kebenaran mutlak yang bersumber
dari Tuhan dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas, iman dan
kepercayaan.
C. Jenis-jenis Kebenaran
Manusia
selalu mencari kebanaran. Manusia juga membina dan menyempurnakan dirinya agar
sejalan dengan kebenaran. Berdasarkan inti permasalahannya, kebenaran dapat
diklasifikasikan sebagai berikut.
1.
Kebenaran epistemologi, yaitu kebenaran yang berkaitan dengan
pengetahuan.
2.
Kebenaran ontologis, yaitu kebenaran yang berkaitan dengan
sesuatu yang ada atau diadakan.
3.
Kebenaran semantis, yaitu kebenaran yang berkaitan dengan
bahasa dan tutur kata.
4.
Kebenaran religius (agama), yaitu kebenaran mutlak yang
berasal dari Tuhan. Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian,
terutama oleh budi nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan
saja karena sumber kebenaran itu bersal dari Tuhan supernatural, melainkan juga
karena yang menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas
kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud
kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian.
D. Teori-teori Kebenaran
Menurut Gandhi (2011: 50)
untuk mengkaji kebenaran, dikenal ada empat teori kebenaran yang diterima
secara umum dalam filsafat yaitu sebagai berikut.
1. Korespondensi
Teori
ini mengemukakan bahwa kebenaran dianggap sebagai kesesuaian antara arti yang
dimaksud suatu pendapat dan fakta di lapangan. Oleh karena itu, pandangan
apapun yang tidak memiliki pemberian dengan realita akan dianggap salah. Sebuah
pernyataan dikatakan benar jika sesuai dengan fakta atau kenyataan. Contoh pernyataan
“ Bentuk air selalu sesuai dengan ruang yang ditempatinya” adalah benar karena
kenyataannya demikian.
2. Koherensi
Teori ini mengemukakan kebenaran tidak
dibentuk atas hubungan antara putusan dan sesuatu yang lain, seperti fakta atau
realitas. Akan tetapi, atas hubungan antara putusan-putusan. Dengan kata lain,
kebenaran ditegaskan atas hubungan antara yang baru itu dan putusan-putusan
lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui benarnya terlebih dahulu. Sebuah
pernyataan dikatakan benar apabila konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Contoh pernyataan, “ Jackson akan mati.” Sesuai (koheren) dengan
pernyataan sebelumnya bahwa “Semua manusia akan mati” dan “Jackson adalah
manusia”. Terlihat di sini logika yang dipakai dalam koherensi adalah logika
deduksi.
3. Pragmatik
Teori ini mempunyai arti benar tidaknya
sesuatu ucapan, dalil, atau teori yang semata-mata bergantung kepada berfaedah
tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam
kehidupannya. Sebuah pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam
situasi praktis. Kebenaran pragmatik dapat menjadi titik pertemuan antara
koherensi dan korespondensi.
4. Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata Yunani yaitu axios yang berarti sesuai atau wajar.
Sedangkan, logos berarti ilmu.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup
kajian filsafat nilai, aksiologi merujuk pada pemikiran atau suatu sistem,
seperti politik , sosial, dan agama.
Menurut Bakhtiar (2012: 111-122) teori yang
menjelaskan teori kebenaran epistimologis adalah sebagai berikut.
a. Teori Korespondensi
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan
benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu
pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat
tersebut. Dengan demikian, kebenaran epistimologis adalah kemanunggalan antara
subjek dan objek. Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para
pengikut realisme. Di antara pelopor teori korespondensi ini, adalah Plato,
Aristoteles, More, Russel, Ramsey, dan Tarski.
Teori ini dikembangkan oleh Betran Russael (1872-1970).
Realisme epistimologis berpandangan bahwa terdapat realitas yang independen
atau tidak tergantung yang terlepas dari pemikiran dan kita tidak dapat
mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahami. Itulah sebabnya realisme
epistimologis kadang disebut objektivisme. Dalam dunia sains, teori ini sangat
penting sekali digunakan untuk mencapai suatu kebenaran yang dapat diterima
oleh semua orang. Penelitian sangat penting dalam teori korespondensi, karena
untuk mengecek kebenaran suatu teori perlu penelitian ulang. Dengan demikian,
suatu pernyataan tidak hanya diyakini sedemikian rupa, tetapi diragukan untuk diteliti.
b. Teori Koherensi
tentang Kebenaran
Menurut teori ini, kebenaran tidak atas
hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas,
tetapi atas hubungan putusan-putusan itu sendiri. Jadi menurut teori ini,
putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan
satu sama lain. Teori konsistensi atau koherensi ini, berkembang pada abad ke-19
di bawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh pengikut mazhab idealisme. Seperti
filsuf Britania F.M. Bradley (1864-1924).
Mengenai teori konsistensi ini dapatlah kita
simpulkan sebagai Berikut. Pertama,
kebenaran menurut teori ini ialah kesesuaian satu pernyatan dengan
pernyatan-pernyatan lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan
akui sebagai benar. Kedua, teori ini
agaknya dapat dinamakan teori penyaksian tentang kebenaran, karena menurut
teori ini suatu keputusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian-penyaksian
oleh putusan-putusan lainnya yang
terdahulu yang sudah diketahui, diterima, dan diakui benarnya. Dengan demikian
suatu teori ini dianggap benar apabila tahan uji.
c. Teori Pragmatisme
tentang Kebenaran
Dorktrin pragmatisme ini diangkat dalam sebuah
makalah yang dimunculkan pada tahun 1878
dengan tema how to make our ideas
clear yang kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat Amerika yang
diantara tokohnya yang lain adalah John Dewwey. Menurut teori pragmatisme,
suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia. Jadi, bagi para penganut
prgamatis batu ujian kebenaran ialah kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workability), akibat pengaruhnya yang
memuaskan. Menurut pendekatan ini, tidak ada yang disebut kebenaran yang mutlak
atau tetap.
d. Agama Sebagai Teori
Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari Tuhan. Salah
satu cara untuk mengemukakan suatu kebenaran adalah melalui agama. Dengan
demikian, suatu hal itu dianggap benar
apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran
mutlak. Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum filsuf sebagai
kebenaran mutlak yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat diiganggu gugat lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Desi. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Surabaya: Amelia.
Bakhtiar, Amsal. 2012. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Gandhi, Wangsa. 2011. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Komentar
Posting Komentar