CERITA PROSA RAKYAT DAN NYANYIAN RAKYAT



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pada saat ini banyak kalangan mahasiswa yang tidak mengetahui bentuk-bentuk lain folklor Indonesia. Pada makalah ini akan dibahas perihal cerita prosa rakyat dan nyanyian rakyat. Banyak mahasiswa yang tidak bisa membedakan mana mite, legenda, dan dongeng. Oleh sebab itu, harapan kami dengan adanya makalah ini, mahasiswa bisa memahami bentuk cerita prosa rakyat yang meliputi mite, legenda, dan dongeng. Pada makalah ini juga akan dijelaskan mengenai nyanyian rakyat.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana bentuk cerita prosa rakyat?
2.      Apa itu mite?
3.      Apa itu legenda?
4.      Apa itu dongeng?
5.      Apa itu nyanyian rakyat?
6.      Apa-apa saja jenis nyanyian rakyat?

C.     Tujuan Masalah

1.      Untuk mendeskripsikan bentuk cerita prosa rakyat
2.      Untuk mendeskripsikan apa itu mite
3.      Untuk mendeskripsikan apa itu legenda
4.      Untuk mendeskripsikan apa itu dongeng
5.      Untuk mendeskripsikan apa itu nyanyian rakyat
6.      Untuk mendeskripsikan apa-apa saja jenis nyanyian rakyat

 

BAB II
PEMBAHASAN
Bentuk-Bentuk Lain Folklor Indonesia

1.      Cerita Prosa Rakyat

Menurut William R. Bascom (dalam Danandjaya,1991: 50) cerita prosa rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu sebagai berikut.
a.       Mite (myth)
Menurut Bascom, mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi  serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Sedangkan, legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Sebaliknya, dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat.
Selain itu, kita juga harus memperhatikan kolektif (folk) yang memiliki suatu cerita, karena dengan mengetahui kolektifnya, dapat ditentukan kategori suatu cerita. Cerita Adan dan Siti Hawa sebagai penganut agama Nasrani dan Islam dari folk buta huruf adalah mite. Namun bagi penganut agama-agama Islam dan Nasrani yang berpendidikan modern, sudah tentu cerita itu akan dianggap sebagai legenda, bahkan ada kemungkinan juga sebagai dongeng belaka.
Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk tipografi, gejala alam dan sebagainya. Mite juga mengisahkan pertualangan para dewa, kisah percintaan, hubungan kekerabatan, kisah perang, dan sebagainya.
Mite di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam berdasarkan tempat asalnya, yakni asli Indonesia dan yang berasal dari luar negeri. Mite Indonesia biasanya menceritakan terjadinya alam semesta (cosmogony) terjadinya susunan para dewa, dunia dewata (pantheon), terjadinya manusia pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero), terjadinya makanan pokok, seperti beras dan sebagainya, untuk pertama kali.
Roosman menyebut secara singkat mite jawa, yaitu asal-usul padi dari tubuh Dewi Hindu dengan bidadari dalam mitologi bulan dari jawa. Hal ini disebabkan motif cerita semacam itu terdapat juga pada prosa rakyat india.
Motif di dalam ilmu folklor adalah unsur-unsur suatu cerita (narratives elements). Motif teks suatu cerita rakyat adalah unsur dari cerita itu yang menonjol dan tidak biasa sifatnya. Unsur-unsur dari cerita tersebut adalah sebagai berikut.
1)      Benda (seperti tongkat wasiat).
2)      Hewan luar biasa (kuda yang dapat berbicara).
3)      Suatu konsep (larangan atau tabu).
4)      Suatu perbuatan (ujian ketangkasan).
5)      Penipuan terhadap suatu tokoh (raksasa atau dewa).
6)      Tipe orang tertentu (Si pandir, Si kebayan).
7)      Sifat struktur tertentu (misalnya pengulangan berdasarkan angka keramat seperti angka tiga dan tujuh).
Pada dasarnya ada persamaan yang hanya dapat diterangkan dengan dua kemungkinan yaitu sebagai berikut.
1)      Monoginesis, yaitu suatu penemuan yang diikuti proses difusi (diffusion) atau penyebaran.
2)      Sebagai akibat poligenesis, yang disebabkan oleh penemuan-penemuan yang sendiri (independent invention) atau sejajar (parallel invention) dari motif-motif cerita yang sama, ditempat-tempat yang berlainan serta dalam masa yang berlainan maupun bersamaan.

Teori-teori yang tergolong monogenesis antara lain adalah, teori Grimm bersaudara, teori mitolgi matahari Max Muller, dan teori Indianist Theodore Benfey.  Teori Grimm bersaudara mengatakan bahwa dongeng yang telah mereka kumpulkan di Jerman sebenarnya adalah mite yang sudah rusak (broken-down myths), yang berasal dari rumpun Indo-Eropa kuno. Kelemahan teori Grimm besaudara adalah bahwa istilah Indo_Eropa sendiri merupakan nama suatu bahasa yang masih bersifat patokan duga (hopotesis), sehingga eksistensi kolektif dan kebudayaan yang mempergunakan nama itu masih.
Teori lain yang juga tergolong pada monogenesis adalah teori mitologi matahari (solar mythology) Max Muller. Max Muller adalah seorang ahli filsafat yang menjadi guru besar di Universitas Oxford di Inggris.
Teori mitologi matahari dianggap bahwa mite sesungguhnya adalah kisah pengulangan kejadian pagi dan malam. Menurut Muller, dongeng Eropa berasal dari mite, karena mengandung perlambangan yang sama, yakni terjadinya pagi dan malam.
Teori Indianis Theodore Benfey menyarankan bahwa sumber dongeng-dongeng Eropa harus dicari di India. Benfey mengemukakan bahwa semua ite di ermukaan bumi mengembalikan semua dongeng Eropa ke negara asalnya.
Teori yang  tergolong dalam golongan poligenesis adalah teori survival, teori psikonalisa Sigmund Freud, Carl, Young, dan lain-lain. Menurut aliran ini, persamaan mite-mite di berbagai tempat bukan disebabkan difusi (penyebaran) melainkan disebabkan penemuan-penemuan yang berdiri sendiri. Mite-mite itu dapat mirip satu sama lain, karena adanya yang disebut oleh Carl Yung sebagai kesadaran bersama yang terpendam (collective unconscious) pada setiap umat manusia yang diwarisinya secara biologis.
Teori lain adalah teori yang telah dikembangkan sejak abad ke-4 S.M. teori ini terkenal dengan nama Euhemerisme. Suatu nama yang diambil dari nama pencetusnya yaitu Euhemerus, seorang ahli filsuf Sisilia (33-260 S.M). Dialah yang menganggap bahwa  manusia menciptakan para dewanya berdasarkan wajah dirinya sendiri. Menurutnya, para dewa dari mitologi pada hakikatnya adalah manusia (pria maupun wanita) yang didewakan, dan  mite sebenarnya adalah kisah nyata orang-orang yang pernah hidup, namun kemudian kisah itu telah mengalami distorsi.
Lawan teori Euhemerisme (dan heroic age theory) adalah myth-ritual theory, yang dikemukakan untuk pertama kali oleh F.R.S Lord Raglan di dalam bukunya yang berjudul the hero: A Study in Tradition, Myth, and Drama (1956). Teori ini beranggapan bahwa asal mite bukanlah sejarah. Menurut Raglan, walaupun pribadi pahlawan-pahlawan mite adalah tokoh sejarah, namun riwayat hidupnya yang kini kita kenal sebagai mite bukanlah sejarah pribadi orang-orang itu sendiri. Hal ini disebabkan riwayat hidup tokoh-tokoh itu bukanlah diambil dari riwayat hidup mereka yang asli, melainkan riwayat hidup tradisional, yang telah ada dalam repertoar folklor.
Teori poligenesis psikoanalisa, yang mengatakan bahwa mite sebenarnya berasal dari mimpi seorang, dapat juga kita terapkan pada cerita “Atu Belah” dari suku bangsa Gayo, Sumatra. Cerita ini sayangnya bukan tergolong dalam mite melainkan lagenda.

b.      Legenda

Menurut Danandjaya (1991: 66-67) seperti halnya dengan mite, legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang.
Legenda biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah, sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda. Selain itu, legenda acapkali tersebar dalam bentuk pengelompokan yang disebut siklus (cycle), yaitu sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh atau suatu kejadian tertentu. Di Jawa misalnya, legenda-legenda mengenai Panji termasuk golongan legenda siklus itu.
Menurut Alan Dundes, ada kemungkinan besar bahwa jumlah legenda di setiap kebudayaan jauh lebih banyak daripada mite atau dongeng. Hal ini disebabkan jika mite hanya mempunyai jumlah tipe dasar yang terbatas, seperti penciptaan dunia dan asal mula terjadinya kematian, namun legenda mempunyai jumlah tipe dasar yang tidak terbatas, terutama legenda setempat (local legends), yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan legenda yang dapat mengembara dari suatu daerah ke daerah lain (migratory legends). Kecuali itu, selalu ada pertambahan persediaan legenda di dunia ini. Setiap zaman akan menyumbangkan legenda-legenda baru atau paling sedikit satu varian baru dari legenda lama, pada khazanah umum dari teks-teks legenda yang didokumentasikan.
Alan Dundes (dalam Danandjaya, 1991: 67) menjelaskan bahwa legenda dapat tercipta yang baru apabila seorang tokoh, tempat, atau kejadian dianggap berharga oleh kolektifnya untuk diabadikan menjadi legenda. Sudah tentu hal itu tidak berarti bahwa pada legenda tidak ada pola-pola tradisional. Pola-pola ini menyebabkan legenda yang kelihatannya baru tetap mirip dengan legenda lama.
Mengenai penggolongan legenda sampai kini belum ada kesatuan pendapat di antara para ahli. Menurut Jan Horold Brunvand (dalam Dananjaya, 1991: 67-83) legenda dapat dikelompokkan menjadi empat bagian sebagai berikut.


1.      Legenda Keagamaan
Legenda yang termasuk ke dalam legenda ini adalah legenda orang-orang suci (saints) Nasrani. Legenda demikian itu jika telah diakui dan disahkan oleh gereja Katolik Roma akan menjadi bagian kesusastraan agama yang disebut hagiography (legends of the saints), yang berarti tulisan, karangan, atau buku mengenai penghidupan orang-orang saleh. Walaupun hagiografi sudah ditulis, namun ia masih tetap merupakan folklor, karena versi asalnya masih tetap hidup di antara rakyat sebagai tradisi lisan. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa habiografi sebenarnya adalah transkripsi legenda orang-orang saleh.
Di Jawa legenda orang saleh adalah mengenai para wali agama islam, yakni para penyebar agama islam pada masa awal perkembangan agama islam di Jawa. Para wali yang paling penting di Jawa adalah yang disebut wali sanga atau Sembilan orang wali. Mengenai siapa saja yang tergolong sebagai kesembilan wali itu ada bermacam-macam versi. Salah satu versi adalah yang telah diterbitkan oleh Salam Solihin, di dalam karangan kecilnya yang berjudul Sekitar Wali Sanga (1963). Menurut Salam Solihin, nama-nama mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunungjati. Menurt legenda mereka inilah yang menciptakan wayang kulit.
Dahulu ada seorang sarjana Belanda, D.A. Rinkers, yang pernah meneliti wali-wali yang kurang penting itu. Hasil penelitiannya itu berupa serangkaian artikel yang berjudul De Heligen Van Java (orang-orang saleh dari Jawa) (1910-1913). Legenda-legenda yang telah dikumpulkan adalah sebagai berikut.
a)      Syeh Abdulmuji.
b)      Syeh Siti Jenar di Muka Pengadilan Agama.
c)      Sunan Geseng.
d)     Ki Pandan Arang dari Tembayat.
e)      Pangeran Panggung.
f)       Anjing-anjingnya.
g)      Permainan Wayang.
h)      Makam di Pamleten
i)        Penjajahan Kolonial Belanda.
Selain legenda mengenai orang suci, legenda-legenda yang juga termasuk ke dalam golongan legenda kepercayaan adalah cerita-cerita mengenai kemujizatan, wahyu, permintaan melalui sembahyang, keinginan yang terkabul, dan sebagainya, beberapa legenda semacam itu mempunyai motif-motif yang universal, seperti halnya motif No. D2143.2.1 “Church spared in flood because of prayers” (gereja terhindar oleh banjir berkat doa-doa). Cerita semacam ini terdapat di Spanyol. Tetapi variannya juga terdapat di Indonesia, seperti legenda dari Kelenteng di Ancol Jakarta, yang katanya pada waku daerah di sekitar itu dilanda oleh banjir, air tidak dapat masuk ke dalam kompleks kuil itu, sehingga para pengungsi yang berlindung di sana dapat terhindar dari mati tenggelam. Keajaiban ini dapat terjadi berkat doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah. Varian lain dari motif ini sebagai ganti banjir adalah kebakaran hutan dan sebagainya.
Bentuk lain dari legenda kepercayaan adalah apa yang disebut sebagai “Kitab suci rakyat”. Di Eropa dan AS bentuk cerita semacam ini berupa cerita-cerita mengenai tokoh-tokoh dari injil, tetapi kisahnya tidak ada dalam kitab suci itu. Misalnya cerita mengenai terjadinya adam’s apple atau jakun pada pria. Menurut legenda benjolan pada leher pria itu terjadi sewaktu Nabi Adam tertangkap basah oleh Allah ketika ia makan buah terlarang di Tanah Firdaus. Karena kagetnya, sebagian buah itu tersangkut di kerongkongannya, akibatnya adalah bahwa pria berjakun.
2.      Legenda Alam Gaib
Legenda semaca ini biasanya berbentuk kisah yang benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhyul” atau kepercayaan rakyat. Berhubung legenda alam gaib ini merupakan pengalaman pribadi seseorang maka oleh ahli folklor Swedia terkenal C.W. Von Sydow diberi nama khusus yaitu memorat.
Walaupun merupakan pengalaman pribadi sesorang namun isi pengalaman itu mengandung banyak motif cerita tradisional yang khas ada pada kolektifnya. Di Jawa Timur misalnya, orang-orang yang pernah melihat hantu selalu menggambarkannya dengan bentuk-bentuk yang sudah ada dalam gambaran kepercayaan kolektifnya. Umpamanya orang-orang yang sering pergi ke hutan umumnya pernah mengalami bertemu dengan hantu gaib, yang dapat tumbuh dari bentuk ukuran kecil menjadi besar sekali dalam waktu yang singkat, hantu itu mereka sebut gendruwo.
Jadi, yang termasuk legenda alam gaib adalah cerita-cerita pengalaman seseorang dengan makhluk-makhluk gaib, hantu-hantu, siluman, gejala-gejala alam yang gaib, dan sebagainya.
Legenda mengenai hantu-hantu ada banyak di Indonesia. Satu contoh lagi adalah yang telah dikumpulkan J. Knebel dari suatu desa di Rembang, Jawa Tengah. Legenda itu mengenai upacara perkawinan di Palok Ombo yang berhubungan dengan epidemi kolera. Menurut legenda itu, di desa itu selalu akan berjangkit epidemi kolera apabila akan diadakan upacara perkawinan. Palok Ombo adalah suatu desa para hantu. Jika mereka hendak mengadakan kenduri, maka sangat diperlukan tenaga pembantu yang mereka peroleh dengan cara membunuh orang-orang desa di sekitarnya dengan menjakiti mereka dengan penyakit kolera dan arwah mereka kemudian disuruh membantu mempersiapkan kenduri itu.
Sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa memorat adalah legenda alam gaib yang merupakan pengalaman seseorang yang erat berhubungan dengan suatu kepercayaan.
3.      Legenda Perseorangan
Legenda perseorangan adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya cerita benar-benar pernah terjadi.
Di Indonesia legenda semacam ini banyak sekali. Di Jawa Timur yang paling terkenal adalah legenda tokoh Panji. Legenda ini pernah diteliti R.M.Ng. Poerbatjaraka dan diterbitkan dalam karangannya yang berjudul  Tjerita Pandji dalam Perbandingan (1968). Panji adalah seorang putra raja kerajaan Kuripan (Singasari) di Jawa Timur, yang senantiasa kehilangan istrinya. Akibatnya timbullah banyak sekali cerita Panji yang temanya selalu perihal ia mencari istrinya yang telah menyatu atau menjelma menjadi wanita lain. Cerita Panji walaupun aslinya adalah kesustraan lisan (legenda), namun telah banyak dicatat orang sehingga mempunyai beberapa versi dalam bentuk tulisan. Legenda Panji tertulis yang tertua bertahun 1277 sesudah masehi dan disebut di dalam naskah “Pamalayu”.
Contoh lain legenda perseorangan adalah dari pulau Bali, yakni legenda tokoh populer di sana, yang bernama Jayaprana. Hal ini dijelaskan oleh H.J. Franken yang dimuat di dalam artikelnya yang berjudul The Festival of Jayaprana at Kalianget (Pesta Rakyat Jayaprana di Kalianget) (1960).
Selain H.J. Franken, masih ada sarjana lainnya yang juga pernah meneliti legenda perseorangan dari Jayaprana ini, yaitu C. Hooykass (1958).
4.      Legenda Setempat
Legenda yang termasuk ke dalam golongan legenda ini adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat, dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah apakah berbukit-bukit, berjurang, dan sebagainya. Legenda setempat yang berhubungan erat dengan nama suatu tempat adalah legenda Kuningan. Seperti diketahui, Kuniangan adalah nama suatu kota kecil yang terletak di lereng gunung Ceramai di sebelah selatan kota Cirebon, Jawa Barat.
Sebuah contoh lagi mengenai legenda setempat yang berhubungan erat dengan nama tempat adalah legenda Anak-anak Dalem Solo yang Mengembara Mencari Sumber Bau Harimau. Legenda ini berasal dari Trunyan, Bali. Legenda ini dapat digolongkan dalam legenda setempat karena menceritakan asal mula nama beberapa desa di sekeliling danau Batur seperti Kedisan, Abang Dukuh, dan Trunyan.
Legenda setempat yang berhubungan erat dengan bentuk topografi suatu tempat antara lain legenda Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu seperti diketahui adalah suatu gunung yang terletak di Jawa Barat. Gunung itu memperoleh nama itu karena bentuknya menyerupai sebuah perahu yang terbalik. Perahu itu menurut kepercayaan orang Sunda dibuat Sang Kuriang atas permintaan kecintaannya yang bernama Dayang Sumbi, yang di luar pengetahuannya sebenarnya adalah ibu kandungnya sendiri. Legenda terjadinya Gunung Tangkuban Perahu atau disebut juga dengan nama Dongeng Sang Kuriang sangat menarik karena mengandung tipe cerita AaTh No. 931 “Oedipus”, dengan motif-motif No. T.412. Mother-son incest (perkawinan sumbang antara seorang ibu dengan putra kandungnnya).
Menurut Axel Olrik struktur atau susunan cerita prosa rakyat terikat oleh hukum-hukum yang sama, yang olehnya disebut sebagai “Hukum-hukum Epos”. Hukum-hukum epos ini merupakan suatu superorganik, yaitu sesuatu yang berada di atas cerita-cerita rakyat yang selalu mengendalikan para juru ceritanya, sehingga mereka hanya dapat mematuhi hukum-hukum itu secara membuta. Hukum-hukum epos ini tidak dapat dikendalikan manusia. Sebagai akibat adanya hukum-hukum itu sehingga struktur cerita rakyat tertentu menjadi identik.
Walaupun hukum epos dari Olrik adalah hasil penelitiannya mengenai legenda-legenda Eropa, sehingga tidak dapat begitu saja diterapkan pada cerita rakyat Indonesia, namun pada prinsipnya kesimpulan tentang adanya hukum-hukum epos semacam itu sudah terang ada pula pada cerita rakyat Indonesia.

c.       Dongeng

Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Selanjutnya dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Istilah-istilah yang sinonim dengan dongeng dalam berbagai bahasa di dunia adalah fairy tales (cerita peri), nursery tales (cerita kanak-kanak), atau wonder tales (cerita ajaib) dakam bahasa Inggris; marchen dalam bahasa Jeman; aeventyr dalam bahasa Denmark; sprooke dalam bahasa Belanda; siao suo dalam bahasa Mandarin; satua dalam bahasa Bali, dan lain-lain.
Seperti halnya mite dan legenda, dongeng juga mempunyai unsur-unsur cerita yang terdapat di daerah-daerah lain yang letaknya berjauhan, sehingga dapat dijadikan bahan penelitian perbandingan. Pada mulanya penggolongan dongeng berdasarkan judul-judul kesatuan cerita yang terkenal dari suatu dongeng-dongeng, namun cara penggolongan tersebut mulai terasa ada kekurangannya. Lalu pada bagian kedua abad kesembilan belas, seorang ahli balada Denmark, yang bernama Sven Grundtvig, mencoba untuk membuat sistem klasifikasi untuk pengarsipan. Namun hasilnya juga terlalu sempit untuk penggunaan secara internasional. Baru pada akhir abad kesembilan belas ada seorang ahli folklor yang bernama Kaarle Krohn berhasil merintis menciptakan klasifikasi yang lebih umum sifatnya. Kaarle Krohn merasakan keperluan mendesak untuk menyusun indeks dongeng Eropa. Tugas ini kemudian dikerjakan dengan baik oleh muridnya, dengan diterbitkannya buku katalogus yang berjudul Varzeichnis der Marchantypen (Folkore Fellows Communication) pada tahun 1910. Buku ini mengalami beberapa revisi, dan dalam bentuknya yang terakhir, yakni setelah mengalami revisi kedua, buku Type-Index itu telah menjadi alat terpenting untuk pengumpulan, pengarsipan, atau penganalisisan perbandingan dongeng-dongeng Indo-Eropa, yang dewasa ini telah tersebar di seluruh dunia.
Type-Index berbeda dengan Motif-Index pada waktu membicarakan mite, perbedaannya adalah sebagai berikut.
a.       Jika Type-Index  mengklasifikasikan suatu kesatuan cerita (plot), maka Motif-Index mengklasifikasikan unsur-unsur suatu kesatuan cerita.
b.      Jika  Type-Index  adalah ciptaan Anti Aarne dan Stith Thomson (yang memperluasnya), maka Motif-Index adalah ciptaan Stith Thomson seorang diri.
c.       Jika Type-Index hanya terdiri dari satu jilid (588 halaman), maka Motif-Index terdiri dari enam jilid (masing-masing lebih dari 490 halaman).
d.      Jika Type-Index khusus mengklasifikasikan dongeng Indo-Eropa, maka Motif-Index mengklasifikasikan seluruh cerita rakyat (mite, legenda, dongeng, dan lain-lain) dari seluruh dunia.
e.       Perbedaan hakiki dari kedua index ini adalah: Type-Index adalah plot-plot dongeng (cerita rakyat lainnya) yang mempunyai hubungan historis, maka unsur-unsur plot dari cerita rakyat dalam Motif-Index belum tentu mempuyai hubungan historis. Dengan perkataan lain, jika persamaan plot-plot rakyat dalam Type-Index menyebabkan momogenesis (difusi/penyebaran), maka persamaan unsur plot cerita dalam Motif-Index juga dapat disebebkan polygenesis. Di dalam buku mereka The Types of The Folktale Anti Aarne dan Stith Thomson telah membagi jenis-jenis dongeng ke dalam empat golongan besar yaitu  sebagai berikut.
1)      Dongeng Binatang
Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi binatang peliharaan dan binatang liar, seperti biatang menyusui, burung, binatang melata (reptilia), ikan dan serangga. Binatang-binatang itu dalam jenis ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia. Di dalam dongeng binatang Indonesia, tokoh yang paling popuker adalah sang kancil. Tokoh binatang cerdik licik ini di dalam ilmu folklor dan antropologi disebut dengan istilah the trickster atau tokoh penipu. Karangan mengenai sang kancil oleh orang Indonesia adalah dari Asdi S.Dipotjojo, yang berjudul Tjerita Kantjil Indonesia.
Dari semua karangan mengenai sang kancil, yang paling menarik adalah karya McKean. Di dalam karangannya, McKean telah membicarakan beberapa dongeng kancil, yakni “Sang Kancil dan Harimau”, “Sang Kancil dan Buaya”, dan “Sang Kancil dan Penengah”.
Di alam artikel ini, McKean telah mencoa untuk menguas dongeng Kancil dengan mempergunakan dua macam pendekatan, yakni: (1) historis-difusionis dan (2) strukturalis.
Penelitian Dongeng Kancil dengan Pendekatan Historis-difusionis
             Cara pendekatan ini menurut McKean telah pernah dilakukan R.B. Dixon dan hasilnya diterbitkan dalam karangan berjudul The Mythology All Races: Occeanic (Mitologi dari Segala Bangsa: Ocaeania). Menurut Dixon dongeng Sang Kancil terdapat di Indonesia pada daerah-daerah yang paling kuat mendapat pengaruh Hinduisme.
Kemudian menurut McKean, metode difusionisme dapat menerangkan kepada kita asal dongeng-dongeng Sang Kancil, tetapi tidak dapat menerangkan bagaimana dongeng-dongeng itu berhubungan dengan kebudayaan tempat mereka kini berada.

Penelitian Dongeng Kancil dengan Pendekatan Metode Analisis Strukturalis
      Metode analisis strukturalis yang dipergunakan MceKean untuk mengulas dongeng Kancil adalah yang dipinjamnya dari Alan Dundes. Metode analisis strukturalis ini adalah berdasarkan metode analisis strukturalis yang pernah dikembangkan Vladimir Propp. Metode analisis strukturalis Dundes dibuat untuk membuktikan bahwa dongeng-dongeng orang Indian amerika itu berstruktur, tidak acak-acakan seperti disangka orang semula.
Hasil penelitian Dundes membuktikan dongeng-dongeng Indian Amerika paling sedikit terjadi dari disequilibrium (keadaan tidak seimbang) ke keadaan equilibrium (seimbang). Keadaan ini oleh Dundes dirumuskan sebagai Lak (kekurangan) dengan kependekan (L) dan Lack liquidated (kekurangan dihilangkan) dengan kependekan (LL). Struktur yang lebih umum dari dongeng Indian Amerika adalah dengan empat motifeme. Empat motifeme oleh Alan Dundes dirumuskan sebagai berikut.
a)      Interdiction/Int (larangan)
b)      Violation/Viol (pelanggaran)
c)      Consequence/Consec (akibat)
d)     Attempted escape/AE (berusaha untuk melarikan diri)
Selain empat motifeme yang disebutkan di atas, pada dongeng-dongeng orang Indian Amerika yang berstruktur enam motifeme. Contoh dongeng Indian Amerika yang berstruktur enam motifeme ini adalah yang berjudul “Gadis Kecil dan Jangkrik”.
Berlandaskan pada cara penganalisis strukturalis Alan Dundes itu, kemudian Philip Frick McKean mencoba menerapkannya pada dongeng-dongeng Kancil seperti yang telah dibicarakan sebelumnya.
Dari hasil ulasan secara strukturalis, dapat diketahui bahwa struktur dongeng sang Kancil terdiri dari empat motifeme dengan rumus urut-urutan: (LL), (L), (AE); dan (LL). Dengan mempelajari dongeng sang Kancil ini, dari segi isinya kita dapat menyimpulkan adanya pertentangan di antara binatang dengan binatang, tetapi selain itu banyak juga dongeng binatang yang yang mengisahkan pertentangan antara binatang dengan manusia.
Selain itu banyak dongeng yang bersifat etiological atau disebut juga explanatory, yakni dongeng binatang yang menerangkan “mengapa dapat terjadi sesuatu”.
Suatu bentuk khusus dongeng binataag adalah fables. Fables adalah dongeng binatang yang mengandung moral, yakni ajaran baik buruk perbuatan dan kelakuan. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur dongeng yang berupa fables adalah yang disebut tantri. Menurut C. Hooykaas, cerita tantri berasal dari cerita pancatantra India, tetapi bukan bukan merupakan hasil terjemahan belaka, melainkan sudah mengalami adaptasi.
2)      Dongeng Biasa
Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang. Di Indonesia dongeng biasa yang paling popular adalah yang bertipe “Cinderella”. Dongeng biasa yang bertie Cinderella ini bersifat universal, karena tersebar bukan saja di Indonesia, tetapi juga di segala penjuru dunia. Dongeng biasa yang bertipe Cinderella di Indonesia ada banyak. Di Jawa timur misalnya adalah dongeng: “Ande-Ande Lumut” dan “Si Melati dan Si Kecubung”, di Jakarta “Bawang Putih dan Bawang Merah”, dan di Bali “I Kesuna lan I Bawang”
Dongeng biasa lainnya di Indonesia yang juga mempunyai penyebaran luas, adalah yang bertipe “Oedipus” dengan motif-motif berikut.
a)      Parricede prophecy (ramalan mengenai pembunuhan seorang ayah oleh anak kandungnya).
b)       Mother incest prophecy (ramalan mengenai perkawinan sumbang antara seorang laki-laki dengan ibu kandungnya).
c)      Exposure of chid to prevent fulfillment of parricide propechy (membiarkan anak mati dengan sendirinya di alam terbuka untuk mencegah terwujudnya ramalan pembunuhan ayah oleh putra kandungnya).
d)     Compassionate Executioner (algojo yang tidak tega hati).
e)      Exposed or abandoned child rescued (anak yang dibiarkan mati di alam terbuka atau dibuang telah ditolong).
f)       Exposed infant reared at strange king’s court (Joseph Oedipus) (anak yang dibiarkan mati diasuh di keratin raja asing).
g)      Parricide prophecy unwittingly fulfilled (ramalan tentang pembunuhan ayah oleh putra kandungnya dengan tidak sengaja terlaksana).
h)      Mother son incest (perkawinan sumbang antara ibu dan putra kandungnya).
Menurut William A. Lessa dalam artikelnya yang berjudul Oedipus-Type Tales in Occania, motif-motif “ramalan”, “pembunuhan seorang ayah oleh anak kandungnya”, dan “perkawinan sumbang antara ibu dan anak kandungnya” adalah tiga unsur terpenting dalam dongeng yang bertipe Oedipus.
Contoh cerita yang mengandung Oedipus di Indonesia adalah dongeng Sang Kuriang atau disebut juga “Legenda Gunung Tangkuban Perahu” dari Jawa Barat, mite “Prabu Watu Gunung” dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dan dongeng “Bujang Munang” dari Nanga Serawai Kalimantan  Barat.
Dongeng biasa lainnya yang juga mempunyai penyebarluasan bukan saja di Indonesia melinkan juga di Negara-negara lain di dunia, adalah yang bertipe Swan Maiden (Gadis Burung Undan), yaitu dongeng atau legenda yang mengisahkan seorang putri yang berasal dari burung undan atau bidadari, yang terpaksa menjadi manusia karena kulit burungnya atau pakaian bidadarinya disembunyikan seorang laki-laki sewaktu ia sedang mandi.
Motif-motif yang terkandung dalam cerita itu adalah Swan Msiden finds her hidden wings and resumes her form (Gadis Burung Undan menemukan sayapnya yang telah disembunyikan dan kembali ke bentuk asalnya). Menurut I Gusti Ngurah Bagus, dongeng-dongeng dengan tipe cerita Swan Maiden yang terdapat di Bali dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori: (a) cerita berakhir dengan tokoh tidak menikahi bidadari, dan (b) cerita yang berakhir dengan tokoh menikahi bidadari. Perbedaan lain dari versi-versi kedua kategori itu adalah bahwa tokoh cerita-cerita dari kategori pertama adalah anak laki-lakisehingga dengan menyembunyikan pakaian biadadari, ia dapat dipungut oleh anak bidadari itu, sedangkan tokoh cerita-cerit dari kategori kedua adalah orang dewasa sehigga dengan menyembunyikan pakaian bidadari itu, ia dapat menikah dengannya.
Memang jika dilihat dari cerita rakyat Indonesia, terutama yang berasal dari Jawa, Bali, dan Sunda, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan-kebudayaan ketiga suku bangsa itu telah banyak memperoleh pengaruh dari luar. Proses akulturasi ini oleh Robert Redfield et al disebut dengan istilah adaptation (1936:152), dan hasilnya yang oleh Carl W. von Sydow disebut oikotype atau versi khusus suatu tipe cerita sebagai akibat penyesuaian setempat.
Cerita yang bertipe universal lainnya adalah The Frog King (Raja Katak). Cerita ini yang merupakan salah satu dongeng koleksi Grimm bersaudara yang terkenal itu juga ada versinya di Indonesia, yaitu anatara lain yang terdapat di Karangasem, Bali, dengan judul “Pangeran Katak”.
Selanjutnya dongeng lain yang juga bertipe universal adalah Beauty and th beast (Si Jelita dan binatang), yang merupakan koleksi Grimm bersaudara atau Hans Christian Anderson, juga terdapat di Indonesia, antara lain dogeng yang berasal dari Singaraja dan Buleleng Bali, yaitu yang berjudul “Si Molek”.
Dongeng yang bertipe cerita universal lainnya yang juga ada di Indonesia adalah The boys steals the giant’s treasure (anak laki-laki yang mencuri harta raksasa) atau lebih terkenal dengan judul Jack and the beanstalk (Si Jack dengan tangkai kacang buncis). Dongeng itu misalnya yang berjudul “Kacang Ajaib” yang berasal dari Buleleng.
Dongeng terakhir yang bersifat universal yang juga ada di Indonesia adalah Fisher and his wife nelayan dan istrinya yang berasal dari kabupaten Buleleng Bali, judulnya adalah “Pak Kasim dengan Ular”.
Dengan beberapa contoh cerita rakyat Indonesia, dapatlah disimpulkan bahwa beberapa kebudayaan di Indonesia bukan saja saling mempengaruhi, namun juga dapat pengaruh dari negara lain.
3)      Lelucon dan Anekdot
Lelucon dan anekdot adalah dongeng-dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati, sehingga menimbulkan ketawa bagi yang mendengarnya maupun yang menceritakannya. Perbedaan lelucon dan anekdot adalah: jika anekdot menyangkut kisah fiktif lucu pribadi seorang tokoh atau beberapa tokoh, yang benar-benar ada, maka lelucon menyangkut kisah fiktif  lucu anggota suatu kolektif, seperti suku bangsa, golongan, bangsa, dan ras.
Anekdot dapat dianggap sebagai bagian dari “riwayat hidup” fiktif pribadi tertentu, sedangkan lelucon dapat dianggap sebagai “sifat” atau “tabiat” fiktif anggota suatu kolektif tertentu. Dengan mengetahui hal ini , maka tidak ada alasan seorang untuk merasa tersinggung, apalagi marah, apabila menjadi sasaran suatu anekdot atau lelucon.
Penggolongan lelucon dan anekdot bermacam-macam. Dalam kesempatan ini akan dikemukakan dua macam penggolongan,yaitu sebagai berikut.
Penggolongn pertama menurut Antti Aarne dan Tompson (1964:19-20). Aarne dan Thompson mengklasifikasikan lelucon dan anekdot ke dalam sepuluh golongan, seperti berikut.
a)      Cerita orang sinting (numskullstories): yang termasuk dalam kategori ini adalah cerita-cerita orang agak sinting sampai yang sinting
b)      Cerita sepasang suami-istri (stories about married couples)
c)      Cerita seorang wanita (dtories about a women girl)
d)     Cerita seorang pria atau anak laki-laki (stories about a man)
e)      Cerita seorang lak-laki yang cerdik (The clever man)
f)       Cerita kecelakaan yang menguntungkan (Lucky accidents)
g)      Cerita lelaki bodoh (The stupid man)
h)      Lelucon mengenai pejabat agama dan badan keagamaan (Jokes about person and religious orders)
i)        Anekdot mengenai kolektif lain (Anecdotes about other groups of peoples)
j)        Cerita dusta (Tales of lying)
Penggolongan yang kedua ialah menurut Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaya, 1991: 123). Brunvand mengusulkan agar lelucon diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yaitu
a)      Jokes about religious (lelucon agama)
b)      Jokes about nationalities (lelucon bangsa)
c)      Jokes about sex (lelucon seks)
Danandjaya (1991:123-124) mengusulkan agar lelucon dan anekdot Indonesia diklasifikasikan ke dalam tujuh kategori dengan perincian sebagai berikut.
a)      Lelucon dan anekdot agama: (1) tokoh agama, (2) tokoh agama tertentu, dan (3) ajaran agama tertentu.
b)      Lelucon dan anekdot seks: (1) seks bangsa atau suku-suku bangsa, (2) seks tokoh agama, (3) seks tokoh angkatan bersenjata, (4) seks tokoh politik, (5) seks orang biasa dewasa, (6) seks orang biasa kanak-kanak, dan (7) lainnya.
c)      Lelucon dan anekdot bangsa atau suku-suku bangsa: (1) bangsa atau suku-suku bangsa, (2) tokoh tertentu suatu bangsa atau suku-suku bangsa.
d)     Lelucon dan anekdot politik: (1) tokoh politik, (2) paham politik tertentu.
e)      Lelucon dan anekdot angkatan bersenjata: (1) tokoh angkatan bersenjata tertentu, (2) kesatuan angkatan bersenjata.
f)       Lelucon dan anekdot seorang professor: (1) professor tertentu, (2) Profesor pada umumnya.
g)      Lelucon dan anekdot anggota kolektif lainnya.
Danandjaya (1991: 124-126)  mencoba mengklasifikasikan lagi klasifikasi berdasarkan bahan-bahan lelucon dan anekdot yang telah dikumpulkan. Lelucon tokoh agama, misalnya, yang beredar di antara para mahasiswa ada banyak, yang pada umumnya adalah mengenai seorang haji, seorang pastor atau seorang suster katolik. Namun ketiganya lebih dapat diklasifikasikan ke dalam golongan ketiga yaitu “Lelucon dan anekdot seks”.
Contoh-contoh lelucon dan anekdot dari klasifikasi ini adalah sebagai berikut.
a)      Lelucon yang berjudul “Pak Haji dan Istri Mudanya”
b)      Lelucon mengenai seorang pastor
c)      Lelucon mengenai seorang pastor dan seorang suster
d)     Lelucon mengenai suku bangsa Jawa yang berhubungan dengan masalah KB (Keluarga Berencana)
Lelucon yang juga termasuk golongan lelucon dan anekdot mengenai suku bangsa adalah dongeng-dongeng lucu tetapi bersifat menghina dan menertawakan bangsa atau suku bangsa lain. Lelucon seperti itu dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah ethnic slur (penghinaan terhadap suku bangsa lain). Lelucon yang juga termasuk ke dalam kategori ini adalah yang disebut immigrant dialer (cerita mengenai logat pendatang). Isi lelucon tipe terakhir ini adalah mengenai cara pendatang di suatu tempat mengucapkan bahasa setempat, yang oleh penduduk pribumi dari tempat yang didatangi itu dirasakan sangat aneh. Lelucon dan anekdot mengenai bangsa atau suku bangsa dapat juga berbentuk teka-teki 
Lelucon mengenai orang biasa adalah yang paling umum beredar di masyarakat. Kemudian mengenai anekdot dan lelucon seorang tokoh politik di Indonesia antara lain adalah mengenai seorang pembesar yang dikatakan kini gemar berolah raga menunggang kuda karena pada waktu kecil sebagai anak desa ia adalah pengebala kerbau.
Lelucon dan anekdot yang berfungsi sebagai protes sosial atau sindiran dapat juga digolongkan sebagai lelucon politik. Lelucon semacam ini biasanya berasal dari desas-desus (rumor) atau gunjingan (gosip) yang telah mengalami proses sublimasi.
Contoh-contoh lelucon yang telah disajikan sebelumnya oleh penulis buku disajikan bersidat kontemporer. Artinya, masih beredar pada masa kini dan diciptakan oleh suatu folk dalam waktu yang belum lama, sehigga dapat saja dianggap sebagai kurang bersifat folkoritis. Hal itu disebabakan umurnya belum tua, sehingga sukar dikatakan bersifat tradisional. Keadaan ini membuat beberapa pengumpul folklor ragu-ragu untuk mengumpulkannya. Karena sukar sekali meramalkan daya hidup sebuah folklor, ditambah pula yang dipentingkan oleh ahli folklor modern adalah untuk mempelajari fungsi suatu folklor, maka kesempatan terbaik adalah untuk mengumpulkan suatu folklor sewaktu ia masih hidup dengan gairah di dalam masyarakatnya. Lebih baik lagi apabila diketahui pula keadaan masyarakat atau kolektif semasa folklor itu diciptakan. Oleh karenanaya, folklor semacam lelucon kontemporer ini dapat disebut dengan istilah calon folklor atau folklor kontemporer.
Sebelum memasuki jenis dongeng yang terakhir, penulis buku menutup bagian ini dengan mengemukakan klasifikasi folklor yang diajukan Wm. Hugh Jansen, yang dengan sendirinya dapat diterapkan pada lelucon anekdot. Berdasarkan perbedaan tempat berlaunya suatu folklor, Jansen membagi folklor menjadi dua yaitu yang bersifat esetoris (esoteric) dan yang bersifat eksoteris (exoteric) Jansen (dalam Danandjaya, 1991:137-138).
Folklor yang bersifat esoteris hanya diperuntukkan khusus bagi orang dalam kolektifnya saja, sedangkan folklor yang bersifat eksoteris diperuntukkan bagi siapa saja. Jadi, yang pertama adalah hanya untuk konsumsi orang dalam saja, sehingga orang luar tidak boleh mengetahui, sedangkan yang kedua adalah untuk konsumsi umum, tidak dirahasiakan.
Lelucon yang bersifat penghinaan suku bangsa lain adalah jelas termasuk dalam golongan folklor yang bersifat esoterik ini. Lelucon yang netral, seperti mengenai anak kecil atau mengenai binatang, tergolong ke dalam folklor yang bersifat eksoteris.
4)      Dongeng-dongeng Berumus
Dongeng-dongeng berumus adalah dongeng yng oleh anti AArne dan Stith Thompson disebut formula tales (1964:20, 552-538), dan strukturnya terdiri dari pengulangan. Dongeng-dongeng yang berumus mempunyai beberapa subbentuk, yaitu sebagai berikut.
 a. Dongeng bertimbun banyak (Cummulative Tales).
 b. Dongeng untuk mmpermainkan orang (Cathch Tales)
 c. Dongeng yang tidak mempunyai akhir(Endless Tales)
Dongeng bertimbun banyak, disebut juga dongeng berantai (chain tales), adalah dongeng yang dibentuk dengan cara menambah keterangan lebih terperinci pada setiap pengulangan inti cerita. Di Indonesia dongeng semacam ini ada juga, misalnya lelucon yang bersifat penghinaan suku bangsa lain (ethnic slur).
Dongeng untuk mempermainkan orang (catch tales) adalah cerita fiktif yang diceritakan khusus untuk memperdayai orang karena akan menyebabkan pendengarnya mengeluarkan pendapat yang bodoh. Bentuknya pun hampir sama dengan teka-teki untuk memperdayai orang (catch question). Bedanya hanya bahwa pada catch tales selalu dimulai dengan sebuah cerita dan bukan hanya sebua Pertanyaan saja. Pertanyaan diajukan oleh pendengarnya yang bingung. Contohnya dari Indonesia sebegitu jauh belum ditemukan oleh penulis buku.
Dongeng yang tidak ada akhirnya (endless tales) adalah dongeng yang jika diteruskan tidak akan sampai pada batas akhir.
Danandjaya (1991: 140) dijelaskan pada akhir bagian ini mengenai fungsi genre. Jika diamati dengan seksama, maka hampir semua fungsi yang telah dirumuskan oleh almarhum William Bascom juga ada. Fungsi-fungsi itu seperti sebagai sistem proyeksi, ada pada dongeng yan gbertipekan Cinderella dari Indonesia. Kisah semacam ini menjadi popoler karena merupakan proyeksi keinginan tersembunyi dari kebanyakan gadis miskin atau gadis tidak cantik yang ingin menjadi istri pangeran, walaupun dalam angan-angan saja.
Fungsi sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan ada pada legenda mengenai binatang cecak yang mengkhianati Nabi Muhammad SAW.
Fungsi sebagai pendidikan anak (pedadogi) ada pada dongeng-dongeng mengenai sang Kancil yang mengajarkan pada anak-anak Jawa bahwa dalam menghadapi musuh yang lebih kuat harus dipergunakan akal bukan dengan tenaga fisik.
Khusus untuk dongeng lelucon dan anekdot dapat kita rasakan bahwa selain sebagai penghibur hati penonton yang sedang lara dapat juga berfungsi sebagai penyalur ketegangan yang ada pada masyarakat.
2. Nyanyian Rakyat (Folk Songs)
Menurut Brunvand (Denandjaya, 1991: 141), nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk foklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang  beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak varian. Kata-kata dan lagu merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan.
Berbeda dengan kebanyakan bentuk-bentuk foklor lainnya, nyanyian rakyat berasal dari macam-macam sumber dan timbul dalam berbagai macam media. Nyanyian rakyat dapat dibedakan dari nyanyian lainnya, seperti nyanyian pop maupun klasik. Hal itu disebabkan karena sifatnya yang mudah dapat berubah-ubah, baik bentuk maupun isinya.  Sifat tidak kaku ini tidak dimiliki oleh nyanyian lainnya. Ini disebabkan karena nyanyian seriosa (klasik) dipelajari orang dari buku nyanyian tercetak seperti asli yang ditulis oleh pengubahnya. Nyanyian yang termasuk seriosa Indonesia misalnya yaitu hasil karya Mochtar Di Wajahmu Kulihat Bulan.
Seperti halnya seriosa, lagu pop juga tercetak. Bahkan lebih sering lagi direkam secara komersial.  Nyanyian pop yang biasanya lebih bersifat stereotipis daripada lagu seriosa, kebanyakan bertema cinta, cinta yang tidak tercapai, sehingga cengeng sifatnya. Menurut Remy, lirik nyanyian pop Indonesia selalu dalam ratapan dan mencari-cari jawaban, tanpa berusaha memerangi kesedihan itu.
Nyanyian rakyat lebih luas peredarannya pada suatu kolektif daripada nyanyian seriosa  maupun pop, dan dapat bertahan untuk beberapa generasi. Tempat peredaran nyanyian rakyat pun lebih luas. Hal ini disebabkan nyanyian rakyat beredar di antara kolektif buta huruf, semi buta huruf, dan melek huruf.
Sebuah nyanyian dikatakan nyanyian rakyat apabila masih dimiliki dan digunakan hanya dalam kolektif tertentu, belum diubah oleh kolektif lain.  Ciri yang membedakan nyanyian rakyat dari nyanyian pop dan seriosa adalah penyebarannya yang melalui lisan, sehingga bersifat tradisi lisan, dan dapat menimbulkan varian-varian. Contoh nyanyian rakyat adalah sebagai berikut.
a.       Terang bulan ( Indonesia)
b.      Genjer-genjer (Jawa Timur)
c.       Pok ame-ame

Jenis-jenis Nyanyian Rakyat
Nyanyian rakyat terdiri dari dua unsur penting yaitu kata-kata dan lagu. Jenis-jenis nyanyian yang dapat digolongkan ke dalam nyanyian rakyat yang sesungguhnya adalah sebagai berikut.
1.      Nyanyian Rakyat yang Berfungsi
Nyanyian semacam ini adalah nyanyian rakyat yang kata-kata dan lagunya memegang peranan yang sangat penting. Disebut berfungsi karena lirik maupun lagunya cocok dengan irama aktivitas khusus dalam kehidupan manusia. jenis nyanyian ini adalah sebagai berikut.

(1) Nyanyian  kelonan
(2) Nyanyian kerja
(3) Nyanyian permainan
2.   Nyanyian yang bersifat Liris
Nyanyian yang bersifat liris adalah nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya yang anonim tanpa menceritakan kisah yang bersambung. Sifat yang khas ini adalah ukuran untuk membedakan nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya.
3.   Nyanyian Rakyat yang bersifat Kisah
Nyanyian rakyat yang bersifat kisah adalah nyanyian rakyat yang menceritakan suatu kisah. Nyanyian rakyat yang termasuk dalam jenis ini adalah balada dan epos (epic).
Perbedaan balada dan epos terletak pada tema ceritanya. Tema cerita balada adalah kisah sentimental dan romantik ( cinta gagal, pengorbanan cinta). Sedangkan tema nyanyian epos adalah mengenai kepahlawanan.

 
Simpulan
Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi  serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau.
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang.
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi yang mempunyai unsur-unsur cerita yang terdapat di daerah-daerah lain yang letaknya berjauhan, sehingga dapat dijadikan bahan penelitian perbandingan.


 
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Komentar