ANALISIS DEIKSIS

Seragam
(Aris Kurniawan Basuki)

Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Senin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.
”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya menurut dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”
”Ulahnya?” Dia mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.                  



HASIL ANALISIS DEIKSIS DALAM CERPEN “SERAGAM”
KARYA ARIS KURNIAWAN BASUKI

Berbahasa adalah suatu aktivitas kompleks yang melibatkankan berbagai hal. Salah satu aspek yang paling penting dalam berbahasa lisan maupun tulis adalah kosa kata. Semakin banyak kosa kata yang dimiliki si pembicara maka akan semakin mudah ia menyampaikan gagasannya. Kata-kata yang menjadi frasa, dan frasa yang dirangkai menjadi klausa kemudian digunakan pembicara menjadi kalimat untuk menyampaikan gagasannya. Namun, untuk memudahkan berbicara dan memudahkan pendengar memahami apa yang dibicarakan, pembicara tidak harus mengulang-ulang kata atau frasa maupun klausa apabila telah memiliki rujukan yang sama baik yang telah disebutkan atau yang akan disebutkan. Contohnya, Rina membeli sayur di pasar. Setelah membeli sayur, Rina lalu pulang ke rumah. Rina kemudian langsung memasak sayur yang telah dibeli di pasar. Berdasarkan contoh ungkapan tersebut dapat terlihat kata maupun frasa yang berulang-ulang sehingga kalimat-kalimat tersebut kurang efektif. Hal itulah yang menimbulkan dibutuhkannya deiksis.
Deiksis adalah rujukan atau referensi dalam berbahasa. Deiksis berfungsi memadatkan kalimat-kalimat sehingga lebih efektif. Jika contoh ungkapan yang telah disebutkan sebelumnya diberikan deiksis maka akan lebih padat dan mudah dipahami. Rina membeli sayur di pasar. Setelah itu, ia pulang ke rumah kemudian langsung memasak sayur itu. Berdasarkan contoh tersebut, yang termasuk deiksis adalah itu dan ia. Meskipun deiksis berfungsi memadatkan kalimat, namun deiksis tidak sembarangan digunakan. Deiksis hanya dapat digunakan jika pembicara dan si lawan bicara sama-sama berada dalam kontek pembicaraan yang disepakati. Artinya, deiksis sangat memperhitungkan situasi pembicaraan. Untuk lebih memahami deiksis, maka berikut adalah hasil analisis deiksis dalam cerpen “Seragam” karya Aris Kurniawan Basuki yang telah dipublikasikan di surat kabar Kompas.

  A.     Deiksis Orang
Deiksis orang (persona) adalah pemberi rujukan kepada orang atau pemeran serta dalam peristiwa berbahasa. Pembicaraan mengenai deiksis orang adalah mengacu kepada kata ganti orang pertama, kedua, maupun ketiga. Namun deiksis orang bukan merujuk kepada orang saja, melainkan deiksis yang merujuk kepada benda juga tergolong dalam deiksis orang.

Terkait dengan cerpen “Seragam” maka ada beberapa deiksis orang yang tercantum di dalamnya yaitu sebagai berikut.

1.         Deiksis Orang Pertama
Deiksis orang pertama adalah deiksis yang merujuk pada diri sendiri. Deiksis orang pertama mengacu pada sapaan yang digunakan si pembicara maupun si penulis. Deiksis orang pertama  dalam bahasa Indonesia adalah saya, aku, dan daku. Namun, selain sebutan-sebutan itu, orang-orang juga sering menggunakan namanya untuk menyebut dirinya sendiri. Contohnya saja kalimat berikut. (1) Doni pergi ke sekolah dulu ya Ma. dan (2) Indi mau makan, Mama masak apa?
Kata Doni dan Indi pada dasarnya berarti aku, saya, atau daku yakni mengacu pada diri si pembicara. Deiksis orang yang menggunakan nama hanya bisa digunakan dalam situasi nonformal. Apabila dalam situasi resmi atau formal, deiksis orang pertama yang tepat digunakan adalah saya. Namun, meskipun begitu tidak jarang saya digunakan dalam situasi nonformal termasuk karya sastra seperti puisi, cerpen, dan sebagainya.

a.          Orang Pertama Tunggal
Berkaitan dengan cerpen “Seragam” deiksis orang pertama tunggal yang terdapat di dalam cerpen ini adalah kata saya. Dalam cerpen ini terdapat 64 kata saya. Sudut pandang orang pertama yang digunakan untuk mengembangkan cerpen mengakibatkan sangat banyak disebutkan deiksis orang pertama tunggal yaitu saya. Berikut adalah beberapa kutipan yang menggunakan deiksis saya.
Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali saya.
Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk.
Tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan.
Jika dikaji dari segi sifatnya, deiksis saya merupakan deiksis sejati karena sudah pasti mengacu pada sesuatu yaitu orang. Dalam cerpen “Seragam” ini, deiksis saya merupakan laki-laki yang bekerja sebagai jaksa.
Selain deiksis  saya, dalam cerpen ini juga terdapat deiksis orang pertama tunggal yang lain yaitu aku dan klitik –ku. Berikut adalah beberapa kutipan yang menggunakan aku dan klitik –ku.
Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya.

Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya.

Aku percaya padanya, peduli padanya.

Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu.

Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu.

Seperti halnya, deiksis saya, deiksis aku dan –ku juga termasuk deiksis sejati karena sudah pasti mengacu pada sesuatu yaitu orang. Dalam cerpen “Seragam” ini, deiksis aku merupakan laki-laki yang bekerja sebagai pengrajin bambu yaitu sahabat dari seorang jaksa.


b.          Orang Pertama Jamak
Di samping orang pertama tunggal, bahasa Indonesia juga mengenal orang pertama jamak. Dua macam deiksis orang pertama jamak adalah kami dan kita. Namun, dalam cerpen “Seragam” ini hanya terdapat orang pertama jamak kami. Deiksis kami merupakan deiksis sejati karena sudah pasti mengacu pada orang yaitu si pengrajin bambu dan jaksa. Berikut adalah beberapa kutipan yang menggunakan deiksis orang pertama jamak yaitu kami.
Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga.
Kami akan bertahan.
Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan.

  2.       Deiksis Orang Kedua
Deiksis orang kedua adalah deiksis yang mengacu pada orang yang diajak bicara atau lawan bicara. Deiksis orang kedua memiliki beberapa bentuk yaitu orang kedua tunggal dan jamak. Deiksis orang kedua tunggal adalah engkau, kamu, Anda, kau-, dan –mu, sedangkan deiksis orang kedua jamak adalah kalian dan atribut sekalian. Dalam cerpen ini hanya terdapat deiksis orang kedua tunggal. yaitu kau, -ku dan -mu. Deiksis orang kedua tunggal ini merupakan deiksis sejati karena sudah pasti merujuk kepada orang yaitu si pengrajin bambu dan sahabatnya yang ekerja sebagai jaksa. Berikut adalah beberapa kutipan yang terdapat deiksis orang kedua tunggal.
Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu.
Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga.

Jadi, apa yang membawamu kemari?
Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.


  3.       Deiksis Orang Ketiga
Deiksis orang ketiga adalah deiksis yang mengacu pada orang yang dibicarakan. Seperti halnya orang kedua, deiksis orang ketiga juga memiliki beberapa bentuk yaitu orang kedua tunggal dan jamak.

    a.     Orang Ketiga Tunggal
Deiksis orang ketiga tunggal memiliki beberapa macam yaitu ia, dia, klitik –nya, dan beliau. Deiksis orang ketiga tunggal yang terdapat dalam cerpen “Seragam” ini adalah dia dan klitik –nya. Deiksis dia dan nya merupakan deiksis sejati karena rujukannya sudah jelas orang. Dalam cerpen ini, deiksis tersebut merujuk pada sahabat jaksa yaitu si pengrajin bambu. Berikut adalah beberapa kutipan yang terdapat deksis orang ketiga tunggal.
Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya.

Dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.

Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar.

Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis


    b.     Orang Ketiga Jamak
Di samping orang ketiga tunggal, terdapat pula orang ketiga jamak. Deiksis orang ketiga jamak adalah mereka. Namun, segala sesuatu yang sedang dibicarakan dan menunjukkan lebih dari satu maka deiksis tersebut tergolong deiksis orang ketiga jamak. Contohnya yang menggunakan kata para. Dalam cerpen “Seragam” terdapat beberapa deiksis orang ketiga jamak yaitu para pencari jangkrik, anak-anak, dan jangkrik-jangkrik. Deiksis-deiksis tersebut merupakan deiksis tidak sejati,. Hal itu disebabkan karena dalam cerpen ini tidak dijelaskan para pencari jangkrik itu laki-laki atau perempuan. Dalam cerpen ini juga tidak dijelaskan apakah anak-anak yang perempuan atau laki-laki. Dalam cerpen ini juga tidak disebutkan dengan jelas jangkrik-jangkrik merujuk terhadap jangkrik-jangkrik sebanyak apa, apakah 5 ekor, 10 ekor atau tak terhitung jumlahnya. Deiksis ini termasuk deiksis tak sejati skaligus termasuk deiksis kinestetik, karena memerlukan indra lain untuk dapat memahami maksud yang disampaikan dalam cerpen. Dalam hal ini indra yang dibutuhkan adalah penglihatan. Berikut adalah beberapa kutipan yang terdapat deiksis orang ketiga jamak.
Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami.

Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik.

Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebuah deiksis tergolong deiksis orang bukan saja karena deiksis tersebut merujuk kepada kata ganti orang, baik orang pertama, kedua, maupun ketiga, melainkan sebuah deiksis juga tergolong deiksis orang apabila deiksis tersebut merujuk kepada benda mati maupun suasana yang tercipta dalam cerpen. Dalam cerpen ini terdapat beberapa deiksis orang yang mengacu pada benda mati. Deiksis tersebut merupakan deiksis sejati karena sudah jelas rujukannya disebutkan dalam cerpen.
 Contoh dalam cerpen “Seragam” yang termasuk deiksis orang meskipun tidak merujuk ke persona adalah sebagai berikut. (1) Deiksis itu merujuk kepada peristiwa si Saya yang harus meninggalkan sahabatnya karena ayahnya yang pindah kerja. (2) Deiksis teplok merujuk kepada sutu benda berisi minyak tanah yang memilki sumbuh sebagai penerang di malam hari. (3) Deiksis jangkrik-jangkrik merujuk pada hewan kecil yang pada malah hari diburu oleh anak-anak desa. (4) Deiksis seragam pramuka merujuk pada pakaian yang wajib dipakai pergi ke sekolah. (5) Deiksis sertifikat rumah dan tanah merujuk pada pada surat berisi informasi kepemilikan rumah dan tanah. (6) Deiksis seragam dinas merujuk pada pakaian yang dipakai si saya sebagai jaksa di pengadilan.


Berikut adalah beberapa kutipan yang terdapat deiksis orang yang merujuk kepada benda mati.
Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya.
Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis.
Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang.
Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.


B.          Deiksis Tempat
Diksis tempat adalah pemberian rujukan kepada ruang atau tempat yang dipandang dari lokasi pemeran serta dalam peristiwa berbahasa. Deiksis tempat juga disebut dengan istilah keterangan tempat. Berkaitan dengan cerpen “Seragam”, deiksis tempat yang terdapat dalam cerpen ini adalah pintu, di amben, di seberang ruangan, di atas balai-balai bambu, ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh, kelas, ke kota tempat kerja ayah, di luar pulau, di kota kabupaten, 30 kilometer, dari sini, di antara, dari magasin, jauh, di sudut, rumah dan tanah, dari tangannya dan sebagainya. Dalam cerpen “Seragam” terdapat 45 deiksis tempat. Deiksis tempat bukan saja merujuk kepada keterangan tempat seperti di pintu maupun di luar pulau, melinkan juga keterangan jarak seperti 30 kilometer.
Beberapa rujukan deiksis tempat yang terdapat dalam cerpen ini adalah sebagai berikut. (1) Deiksis pintu merujuk pada bagian awal sebuah rumah yaitu tempat untuk masuk dan keluar. (2) Deiksis di amben merujuk pada sebuah tikar. (3) Deiksis di seberang ruangan merujuk pada sudut rumah. (4) Deiksis di atas balai-balai bambu merujuk pada tempat duduk yang terbuat dari bambu. (5) Deiksis ke luar jendela merujuk pada bagian luar rumah yang terlihat dari jendela terbuka. (6) Deiksis kelas merujuk pada sebuah ruangan yang digunakan untuk belajar. (7) Deiksis ke kota tempat kerja ayah merujuk pada sebuah tempat kerja baru yang berada di luar kota. (8) Deiksis 30 kilometer merujuk pada jarak atau tempat yang tergolong jauh dari rumah sahabat pengarang (saya). (9) Deiksis dari sini merujuk kepada lokasi yang tidak jauh dari posisi si pembicara. (10) Deiksis di antara merujuk kepada jarak tokoh si saya dan sahabatnya. (11) Deiksis ke sawah merujuk kepada tempat bercocok tanam di sebuah desa.
Sebagian besar deiksis tempat merupakan deiksis bersifat sejati karena rujukannya sudah pasti disebutkan dalam cerpen. Di samping bersifat deiksis sejati, deiksis tersebut sebagian merupakan deiksis kinestetik karena memerlukan bantuan indra lain untuk memahaminya. Dalam cerpen “Seragam” ini yang termasuk deiksis kinestetik adalah rumah dan tanah dalam kutipan berikut. “Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga”.
Untuk lebih memahami deiksis tempat, berikut adalah beberapa kutipan yang terdapat deiksis tempat dalam cerpen “Seragam”.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan.
Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet.
Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten.
Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.
Hanya sebentar kecanggungan di antara kami.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke Barat.

C.          Deiksis Waktu
Deiksis waktu adalah deiksis yang merujuk kepada keterangan waktu.  Waktu adalah rentetan saat yang telah lampau, sekarang, dan yang akan datang. Contoh deiksis waktu adalah sehari, 2 minggu, 3 jam, kemarin, besok, tahun depan, sekarang, dan sebagainya.
Berkaitan dengan cerpen “Seragam” deiksis waktu yang terdapat dalam cerpen ini berjumlah 42 yaitu tiba-tiba, kemudian, dahulu, tiap senin, masa kecil, 25 tahun lalu, yang baru, beberapa tahun kemudian, belum pernah, sejak itu, 10 tahun, setiap waktu, selalu, malam itu, sesekali, setiap malam, sering, isya, nanti, tidak pernah, hari jumat, sejak pagi, sehari lagi,  kapan saja, musim kemarau, beberapa menit, berkali-kali, belum terlalu lama, tiba-tiba, malam, selama hampir sebulan, beberapa kali, sabtu, sejak lama, hingga kini, dulu, dan sebagainya.
Beberapa rujukan deiksis waktu yang terdapat dalam cerpen ini adalah sebagai berikut. (1) Deiksis tiba-tiba merujuk pada suatu waktu yang tidak terstruktur. (2) Deiksis kemudian merujuk pada waktu yang belum diketahui batasnya. (3) Deiksis dahulu merujuk kepada waktu lampau yang tidak diketahui pula batasnya. (4) Deiksis tiap Senin merujuk pada waktu yang telah jelas ujungnya yaitu hari Senin. (5) Deiksis masa kecil meujuk pada waktu saat tokoh cerita kecil. (6) Deiksis yang baru merujuk kepada waktu yang belum lama terjadi. (7) Deiksis beberapa tahun kemudian merujuk pada waktu yang akan terjadi sekitar 2 atau 3 tahun berikutnya. (8) Deiksis belum pernah merujuk pada waktu dimana belum dikunjungi tetapi ada kemungkinan akan dikunjungi. (9) Deiksis sejak itu merujuk pada waktu sebuah peristiwa yang telah terjadi dan belum tergolong begitu lama. (10) Deiksis setiap waktu merujuk pada keterangan waktu sering atau selalu. (11) Deiksis isya merujuk pada pukul 19. 45. (12) Deiksis nanti merujuk pada waktu yang akan terjadi tetapi belum jelas ujungnya.
Sebagian deiksis swaktu seperti tiap Senin, setiap waktu, Jumat, dan Sabtu merupakan deiksis sejati karena sudah jelas rujukkannya. Namun sebagian deiksis yang lain seperti dahulu, beberapa tahun kemudian, nanti, dan sejak lama merupakan deiksis tidak seejati karena tidak jelas rujukannya.
Berikut adalah beberapa kutipan yang terdapat deiksis waktu dalam cerpen “Seragam”.
Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat dipersilakannya saya untuk masuk,
Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Senin.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 25 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja ayah.

D.          Deiksis Wacana
Deiksis wacana adalah deiksis yang merujuk kepada bagian-bagian tertentu dalam wacana, baik yang telah disebutkan maupun yang akan dikembangkan. Umumnya, kata maupun frasa yang digunakan untuk pengungkapn deiksis wacana adalah beginilah, begitulah, inilah, itulah demikianlah, berikut ini, di sanalah, di situlah, di sinilah, dan sebagainya. Namun, karena deiksis yang dianalisis berasal dari sebuah wacana yaitu cerpen, maka seluruh deiksis yang terdapat dalam cerpen “Seragam” adalah deiksis wacana. Deiksis wacana dalam cerpen ini adalah meliputi deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, dan deiksis sosial.
         Apabila penyebutan deiksis hanya dalam ungkapan maupun kalimat majemuk, maka deiksis tersebut dikaji berdasarkan keterangan yang dirujuk apakah deiksis orang, tempat, waktu, maupun sosial. Namun, deiksis-deiksis seperti saya, dia, ayahnya, keluarganya adalah termasuk deiksis wacana sekalipun menunjukkan keterangan orang. Hal itu disebabkan karena deiksis-deiksis tersebut merujuk pada segala sesuatu yang ada dalam wacana yaitu cerpen. Deiksis tempat yang terdapat dalam cerpen ini adalah pintu, di amben, di seberang ruangan, di atas balai-balai bambu, ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh, kelas, ke kota tempat kerja ayah, di luar pulau, di kota kabupaten, 30 kilometer, dari sini, dan sebagainya juga termasuk deiksis wacana. Seperti halnya deiksis orang dan deiksis tempat, deiksis malam hari, hari Jumat, belum pernah, sejak itu, 10 tahun, setiap waktu, selalu, malam itu, sesekali, setiap malam, sering, isya, nanti, tidak pernah, hari jumat, sejak pagi, sehari lagi,  kapan saja, musim kemarau, beberapa menit, dan sebagainya juga termasuk deiksis wacana.
Berkaitan sifat sejati maupun tidak sejati, deiksis-deiksis wacana telah disebutkan pada analisis deiksis-deiksis sebelumnya. Situasi dimana deiksis orang, tempat, waktu, dan sosial termasuk ke dalam deiksis wacana adalah hal yang wajar terjadi dalam kajian pragmatik. Beberapa kutipan yang terdapat deiksis wacana adalah sebagai berikut.
Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu.
Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar.
Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati.
Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.

E.          Deiksis Sosial
Deiksis sosial adalah deiksis yang merujuk kepada perbedaan ciri sosial yang dimilki oleh pemeran serta berbahasa, terutama aspek sosial si pembicara dan lawan bicara atau penulis dengan pembaca. Contoh perbedaan ciri sosial yaitu siswa dan mahasiswa, anak-anak dan ibu-ibu, cucu dan nenek, kakaknya dan sebagainya.
Deiksis sosial dalam cerpen “Seragam” adalah sahabat, remaja, orangtua, murid, anak-anak, jaksa, dan kakak. Deiksis sosial seperti sahabat merupakan deiksis bersifat sejati karena di dalam cerpen jelas disebutkan rujukannya. Berbeda dengan itu, deiksis remaja, murid, dan anak-anak merupakan deiksis tidak sejati karena tidak jelas disebutkan dalam cerpen, apakah remaja perempuan atau laki-laki demikian halnya dengan murid dan anak-anak. Berikut adalah beberapa kutipan yang terdapat deiksis sosial.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya.
Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya
Dia pun lalu turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Senin.
Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik.
Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga.
Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.



Komentar