ESAI SASTRA

 

EKSISTENSIALISME, FEMINISME, DAN AYU UTAMI
Yusniar Br Purba

Pemikiran terkait kesetaraan gender merupakan salah satu konflik yang dekat dengan Ayu Utami. Kritikan terhadap perlawanan perempuan yang sangat bergejolak dirasakan Ayu Utami disampaikannya melalui karya-karyanya. Perbedaan jenis kelamin banyak dihubungkan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia dan juga bicara tentang peran dan sifat antara perempuan dan laki-laki. Perbedaan-perbedaan inilah yang hampir selalu memicu adanya ketidakadilan gender. Ayu Utami mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarki di dalam kajian-kajian kesusastraan. Kritik ini meletakkan dasar bahwa ada gender dalam kategori analisis sastra sebagai suatu kategori yang fundamental. Kritik Ayu Utami juga merupakan gerakan pembebasan perempuan dari rasisme, seksisme dan juga penindasan perempuan.
Kritikan yang diangkat Ayu Utami sebagai feminis eksistensialis. Feminis eksistensialis yang mendasarkan pada keberadaan diri perempuan, baik dari keberadaan perempuan dalam dirinya sendiri maupun keberadaan perempuan dalam kaitannya dengan laki-laki dan kebudayaan yang ada.
Opini masyarakat pada umumnya menganggap perempuan hanya sebagai pihak yang selalu di bawah laki-laki. Laki-laki harus dididik dalam nilai-nilai keberanian, pengendalian diri, keadilan, dan kekuatan mental, sementara perempuan harus dididik dalam nilai-nilai kesabaran, kepatuhan, temperamen yang baik, dan kelenturan. Perempuan identik dengan keterampilan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Perempuan juga identik sebagai korban penindasan dan kekerasan laki-laki. Perempuan di negara manapun banyak yang mengalami pemerkosaan, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Perempuan juga selalu menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Laki-laki dibentuk menjadi pimpinan, sedangkan perempuan selalu menjadi pelayan.
Karya-karya Ayu Utami selalu membuat pupil mata para pembaca membesar. Bukan saja karena konflik yang tergolong berbeda dari pengarang biasanya, namun juga disebabkan keberanian Ayu Utami dalam menyampaikan kritikannya terkait ketidaksetaraan gender. Dia mengungkapkan pandangannya mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan dalam sebuah perilaku seks, pernikahan, serta keluarga. Salah satunya adalah Larung. Novel Larung merupakan dwilogi novel Saman.
Dalam penceritaannya di novel Larung, eksistensi perempuan paling tampak dari keberadaan Yasmin. Yasmin sebagai perempuan yang cerdas, berani, dan sukses. Sejak kecil telah tampak kecerdasan Yasmin. Dia rajin belajar piano, menari balet, dan berprestasi di sekolah. Yasmin juga bisa lulus ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hingga dia berhasil menjadi pengacara dan juga aktivis. Selain kesuksesan karir, pernikahan menurut pandangan eksistensialis adalah sebuah bentuk perbudakan bagi perempuan. Perbudakan yang dimaksud adalah perempuan tidak dapat memperoleh kebebasannya dan hanya menjadi objek dari laki-laki. Namun, melalui novel Larung ini, Ayu Utami ingin menyampaikan bahwa perempuan harus bebas sekalipun telah menikah. Bebas dalam artian perempuan bisa melakukan aktivitasnya di luar rumah, baik untuk bekerja maupun untuk melakukan kegiatan lainnya dan bukan hanya memasak di dapur maupun melayani suami. Hal itu terlihat dari tokoh Yasmin yang meskipun telah menikah, dia masih bekerja menjadi pengacara dan aktivis. Yasmin masih bebas melakukan aktivitasnya hingga ke luar negeri.
Bukan hanya Yasmin, eksistensi perempuan juga tampak pada tokoh Shakuntala. Dia sukses menjadi penari hingga ke luar negeri yaitu New York. Melalui kisah Shakuntala terlihat bahwa bukan hanya laki-laki yang dapat bekerja dan sukses, perempuan juga bisa melakukannya.
Ayu Utami bukan saja mengangkat eksistensialis perempuan, dalam novel Larung ini dia juga mengangkat feminisme. Hal itu terlihat dari kelihaiannya membalikkan anggapan umum tentang perempuan. Perbedaan yang begitu jelas antara laki-laki dan perempuan banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat. Laki-laki selalu di tempatkandi atas perempuan. Laki-laki selalu menjadi subjek, sedangkan perempuan menjadi objek. Pandangan umum dari segi fisik saja laki-laki dianggap kuat sedangkan perempuan lemah. Bukan hanya itu, dari segi intelegensipun laki-laki dianggap kaum cerdas sedangkan perempuan kaum bodoh yang selalu berada di bawah ketiak laki-laki.
Dilihat dari segi feminisme, tokoh-tokoh perempuan dalam novel Larung yaitu Yasmin, Shakuntala, Cok, dan Laila berhasil keluar dari anggapan orang pada umumnya yang menganggap perempuan bodoh. Tokoh-tokoh tersebut justru digambarkan Ayu Utami sebagai perempuan-perempuan cerdas dan sukses. Yasmin sebagai perempuan cerdas berhasil menjadi pengacara. Shakuntala yang pandai menari hingga sukses di New York. Selain itu, Cok juga berhasil mempunyai hotel yaitu di daerah Cempaka Putih. Laila juga sukses sebagai photografer. Keempat tokoh perempuan tersebut dapat berhasil atau sukses tanpa bantuan laki-laki. Hal itulah yang ingin disampaikan Ayu Utami, bahwa perempuan bukanlah kaum lemah, terbawah, maupun bodoh. Perempuan adalah kuat dan mandiri tanpa laki-laki. Perempuan juga dapat bekerja dan mencapai kesuksesan. Tanpa laki-laki, perempuan dapat mencapai puncak karirnya dan mandiri secara finansial.
Perempuan bukan saja dianggap lemah dari segi intelegensi, dalam hal seksualitas, perempuan selalu menjadi korban laki-laki. Ayu Utami menyampaikan kritikannya terhadap kesetaraan gender dalam novel Larung melalui tokoh Cok. Cok jelas-jelas menyebutkan kadang aku jengkel, apapun yang perempuan lakukan yang juga dilakukan laki-laki, kok kita mendapat cap jelek? Laki-laki tidur bergantian dengan banyak cewek akan dicap jagoan. Arjuna. Tapi perempuan yang tidur bergantian dengan banyak laki-laki akan dibilang piala bergilir. Pelacur. Apapun yang dilakukan cewek selalu dianggap objek. Inilah bukti pemberontakan Ayu Utami terhadap ketidakadilan gender di negeri ini. Laki-laki selalu menindas perempuan baik secara fisik maupun mental. Secara mental, jelas-jelas perempuan telah seolah-olah dikodratkan untuk menjadi korban laki-laki. Ayu Utami mencoba membalikkan kenyataan yang sering terjadi di masyarakat. Umumnya, laki-laki yang terlihat sangat menyukai perempuan. Laki-laki yang begitu menggilai keperawanan. Namun, melalui novel Larung ini, Ayu Utami menjadikan para perempuanlah yang menggilai laki-laki. Perempuanlah yang berbondong-bondong dengan nafsunya menghancurkan keperjakaan. Perempuanlah yang menghancurkan laki-laki. Sekalipun para laki-laki itu telah beristri, tokoh yang dihadirkan Ayu Utami yaitu Yasmin dan Laila dalam novel Larung tetap mengejar laki-laki itu.
Dalam cerita Larung diuraikan bagaimana kehidupan para tokoh perempuan mencoba lepas dari kungkungan budaya patriarki. Yang menjadi objek dalam penindasan terhadap perempuan adalah tubuh perempuan itu. Artinya dalam kaitannya dengan reproduksi dan seksualitas wanita reaksi terhadap pandangan bahwa laki-laki dan wanita secara kodrati memang berbeda. Dapat dilihat bagaimana tokoh Cok, Yasmin, Shakuntala berusaha lepas dari hal tersebut, baginya seksualitas sudah menjadi hal yang tabu bukan lagi karena ideologi patriarki dari laki-laki. Mereka kemudian bebas dalam hal tataran dan aturan. Mereka bertiga leluasa melakukan hubungan tanpa ada ikatan dengan laki-laki. Ada ikatan pun mereka bebas mencari pasangan lain. Seperti tokoh Yasmin, meskipun memiliki suami namun tetap bebas dalam menjalani hubungan dengan laki-laki yang lain. Artinya inilah bentuk kritikan yang disampaikan Ayu Utami. Meskipun secara sekilas sebenarnya Yasmin tetap tersubordinasi dengan sikap seperti itu, namun dalam kaitannya dengan feminisme, Yasmin sudah mencoba lepas dari ketergantungan kepada laki-laki.
Yang paling menarik dan jelas menggambarkan feminisme adalah keempat tokoh perempuan yaitu Yasmin, Shakuntala, Cok, dan Laila berhasil membantu Saman dalam misi untuk kabur dari Indonesia setelah ada demonstrasi besar-besaran yang diduga diakibatkan oleh Saman. Mereka meloloskan Saman ke luar negeri. Tidak hanya Saman, mereka juga meloloskan beberapa anak muda yang terlibat dalam gerakan-gerakan demonstrasi yang tengah diburu aparat polisi bersama Larung dan Saman. Berdasarkan kasus tersebut terlihat bahwa perempuan lebih kuat dan berani daripada laik-laki, karena perempuan berhasil menolong laki-laki.
Ayu Utami dapat disebut sebagai salah satu tokoh feminisme yang paling blak-blakan dalam mengkritik kesetaraan gender. Dalam novel Saman yakni sebelum terbitnya Larung juga telah disampaikan tentang Shakuntala bebas melakukan seksualitas. Hal itu disebabkan Shakuntala keberatan dengan definisi perkawinan seperti yang diwejangkan ayahnya kepadanya. Baginya pernikahan itu harus mengandung asas saling menguntungkan. Perempuan akan memberikan tubuhnya kepada laki-lakim yang memenuhi kriterianya. Harus ada pilihan atau memilih dan bukan sekedar dipilih oleh laki-laki. Keinginan diri harus menjadi kenyataan yang padanya segala pemaksaan dan sepihak harus dihapuskan.
 Ayu Utami ingin menyampaikan melalui novelnya Saman bahwa perempuan harus dibebaskan dari peran gender pada tingkat biologis (reproduksi), perempuan tidak perlu lagi pasif, reseptif, dan rentan, mengirimkan tanda kepada laki-laki untuk mendominasi, memiliki dan memasuki tubuh mereka, untuk menjaga agar roda prokreasi manusia terus berputar. Laki-laki dan perempuan akan memadukan feminin dan maskulin dalam keadaan yang mereka inginkan. Harus ada keselarasan dan keberduaan yang seimbang.
Melalui novelnya Larung, Ayu Utami ingin membrontak keberadaan perempuan yang selalu dianggap lemah dan di bawah laki-laki. Ayu Utami menghadirkan empat tokoh perempuan yang sukses tanpa terikat dengan laki-laki. Ayu Utami juga terlihat menentang konsep pernikahan yang mengharuskan perempuan mengikuti perintah laki-laki dan berada di bawah laki-laki. Melalui tokoh Yasmin dalam Larung Ayu Utami menyampaikan bahwa sekalipun telah menikah, perempuan harus bisa menentukan jalan hidupnya. Perempuan harus bebas mencapai karirnya. Perempuan bebas menuruti kemauannya bukan kemauan suaminya.
Karya sastra adalah cerminan kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebuah karya sastra lahir dari kehidupan yang paling dekat dengan pengarangnya. Berdasarkan karya-karya Ayu Utami terlihat bahwa dia selalu mengangkat persoalan kesetaraan gender khususnya menentang anggapan umum yang melemahkan perempuan, menomorduakan perempuan, dan menindas perempuan. Dalam karya-karya Ayu Utami selalu menghadirkan tokoh perempuan yang bertolak belakang dari anggapan umum. Itulah sebabnya, eksistensialisme dan feminisme selalu dekat dengan Ayu Utami.

Komentar