GANGGUAN BERBAHASA
A. Pengertian Gangguan Berbahasa
Gangguan adalah hal yang menyebabkan
ketidakwarasan atau ketidaknormalan dalam
kesehatan, jiwa, dan pikiran. Berbahasa adalah proses mengeluarkan atau
mengungkapkan pikiran dari otak dengan menggunakan bahasa lisan atau tulis.
Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya tentu dapat berbahasa dengan
baik. Sebaliknya, manusia yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya
akan sulit dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif.
Menurut Indah (2012:5), gangguan
berbahasa berdampak pada dua hal yaitu: 1) lambat dalam pemerolehan bahasa, contohnya
anak berusia lima tahun memiliki kompetensi bahasa setara dengan anak usia dua
tahun, dan 2) menyimpang dari bentuk baku pada anak yang memperoleh bahasa
dengan urutan yang berbeda dari kebanyakan anak, atau anak tersebut memiliki
kemampuan yang sangat berbeda dari penutur asli bahasanya sendiri.
B. Jenis Gangguan Berbahasa
Menurut Chaer (2009:148), gangguan berbahasa
dapat diakibatkan atas dua hal yaitu akibat faktor medis dan akibat faktor
lingkungan sosial. Yang dimaksud dengan faktor medis adalah gangguan berbahasa
akibat kelainan fungsi otak maupun fungsi alat bicara, sedangkan yang dimaksud
faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan manusia yang tidak alamiah
seperti terisolasi dari lingkungan masyarakat yang sewajarnya.
Selanjutnya secara medis menurut Sidharta
(dalam Chaer, 2009:148—150), gangguan berbahasa terdapat tiga jenis yaitu
gangguan berbicara, gangguan berbahasa, dan gangguan berpikir. Ketiga jenis
gangguan tersebut akan diuraikan satu per satu sebagai berikut.
1.
Gangguan Berbicara
Gangguan berbiara merupakan aktivitas motorik
yang mengandung modalitas psikis. Gangguan berbicara dapat dikelompokkan ke
dalam dua kategori yaitu gangguan mekanisme yang berimplikasi pada gangguan
organik dan gangguan berbicara psikogenik.
a.
Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses
produksi ucapan oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang
membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Oleh sebab itu
gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya dapat dirinci atas hal-hal yang
telah disebutkan sebelumnya yaitu sebagai berikut.
Pertama,
gangguan akibat faktor pulmonal (paru-paru) yakni gangguan berbicara yang
disebabkan kekuatan bernapas manusia yang sangat kurang. Hal itu mengakibatkan
manusia yang mengalami gangguan ini nada suaranya monoton, volume suara sangat
kecil dan terputus-putus.
Kedua, gangguan
akibat faktor laringal (pita suara) yakni gangguan yang terjadi pada pita
suara. Gangguan ini ditandai dengan suara yang serak atau hilang tanpa kelainan
semantik dan sintaksis.
Ketiga, gangguan
akibat faktor lingual (lidah) yakni gangguan yang terjadi di lidah seperti
karena sariawan dan stroke. Lidah
yang sariawan atau terluka akan tersa pedih kalau digerakkan. Oleh sebab itu,
untuk mencegah rasa sakit, manusia berbahasa tanpa menggerakkan lidah secara
bebas. Dalam keadaan seperti itu maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak
sempurna. Contohnya mengucapkan kata sudah,
dingin, nanti, dan sebagainya.
Keempat, gangguan
akibat faktor resonansi (rongga mulut dan kerongkongan) yakni gangguan yang
terjadi pada rongga mulut dan kerongkongan seperti pada orang sumbing. Gangguan
akibat resonansi menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Orang
sumbing suaranya menjadi bersengau karena rongga mulut dan rongga hidungnya
tidak berbentuk normal, sehingga yang digunakan berkomunikasi adalah melalui
defek di langit-langit keras (pelatum).
Hal ini terjadi juga pada orang yang mengalami kelumpuhan pada langit-langit
lunak (velum). Rongga langit-langit
itu tidak memberikan resonansi yang seharusnya, sehingga suaranya menjadi
bersengau.
b.
Gangguan Akibat Multifaktorial
Berbagai faktor bisa menyebabkan gangguan
berbicara yaitu sebagai berikut (Chaer, 2009:150—152).
Pertama, berbicara
serempangan atau sembrono yakni berbicara dengan cepat dan artikulasi yang
rusak sehingga apa yang diucapkan sulit dipahami. Gangguan berbicara seperti
ini disebabkan kerusakan di serebelum atau
bisa juga terjadi karena mengalami kelumpuhan ringan sebelah badan.
Kedua, berbicara
propulsif yakni berbicara yang volume suaranya kecil dan irama datar (monoton).
Orang yang mengalami gangguan berbicara propulsif mula-mula suaranya
tersendat-sendat, kemudian lancar, lalu tersendat-sendat kembali. Hal ini
disebabkan elastisitas otot lidah, otot wajah, dan pita suara sebagian besar
lenyap.
Ketiga, berbicara
mutis yakni seseorang yang tidak berbicara sama sekali. Mutisme bukan hanya tidak
dapat berkomunikasi secara verbal, melainkan juga tidak dapat berkomunikasi
secara visual maupun isyarat. Namun perlu ditekankan bahwa mutisme tidak bisa
disamakan dengan orang bisu maupun bisu-tuli. Ada tiga macam penderita bisu
yaitu: 1) orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi
sehingga tidak bisa memproduksi ujaran, tetapi alat dengarnya normal sehingga
masih dapat mendengar suara orang yang berbahasa, 2) orang yang bisu karena
kerusakan atau kelainan alat artikulasi dan alat pendengarannya, sehingga tidak
bisa memproduksi ujaran bahasa dan juga tidak bisa mendengar ujaran bahasa
orang lain, dan 3) orang bisu yang sebenarnya alat artikulasinya normal tidak
ada kelainan, tetapi alat pendengarannya rusak atau ada kelainan.
c.
Gangguan Psikogenik
Gangguan berbicara psikogenik disebut juga
sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi yang merupakan dari gangguan
di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian
besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intesitas suara, lafal, dan pilihan
kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan
sikap mental si pembicara. Gangguan berbicara psikogenik yaitu sebagai berikut
(Chaer, 2009:152—154).
Pertama, berbicara
manja yakni ujaran yang terkesan ingin diperhatikan. Berbicara manja umumnya
ditemukan pada anak-anak dan orang tua pikun yang menginginkan sesuatu. Contoh
kalimat yang seharusnya diungkapakan “Kakiku sakit.” Diungkapakan anak-anak
menjadi “Kakiku cakit.” Gejala ini mengesankan bahwa bahasa memiliki substrat serebral.
Kedua, berbicara
kemayu yakni berbicara yang dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik
perhatian dan lafal yang dilakukan secara sangat menonjol atau sangat lemah dan
sangat memanjang. Meskipun berbicara kemayu dianggap bukan suatu gangguan
ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang
mengungkapkan gangguan identitas kelamin terutama jika yang dilanda adalah kaum
pria.
Ketiga, berbicara
gagap yakni berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak
berhenti, lalu mengulang suku kata pertama, kata-kata berikutnya, dan setelah
berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan. Hal-hal yang
dianggap mempengaruhi seseorang gagap yaitu faktor stres dalam kehidupan
berkeuarga, didikan anak yang keras, adanya kerusakan pada belahan otak
(hemisfer) yang dominan, dan faktor neurotik famial. Kegagapan dianggap sebagai
disfasia yang ringan dan cenderung terjadi pada kaum laki-laki dan kaum remaja.
Keempat. berbicara
latah atau ekolalla yaitu perbuatan
membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain. Latah adalah suatu sindrom
yang terdiri atas curah verbal repetitif yang
bersifat jorok (koprolalla) dan gangguan lokomotorik yang dapat dipancing. Koprolalla pada latahini berorientasi pada
kelamin laki-laki. Yang sering mengalami penyakit latah adalah perempuan
berumur 40 tahun ke atas. Umumnya dikatakan bahwa latah ini mulai dialami
setelah orang-orang bermimpi melihat banyak penis lelaki sebesar dan sepanjang
belut. Latah mempunyai hubungan dengan kepribadian histeris. Kelatahan
merupakan alasan untuk dapat berbicara dan bertingkah laku porno yang pada
hakikatnya berimplikasi invitasi seksual.
2.
Gangguan
Berbahasa
Chaer (2009:154)
mengatakan bahwa berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu
bahasa. Kanak-kanak yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang normal
akan dapat mendengar kata-kata dengan telinganya dengan baik dan juga akan
dapat meniru kata-kata tersebut. Pada mulanya ucapan tiruannya itu Cuma mirip,
tetapi lambat laun akan menjadi tegas dan jelas. Proses memproduksi kata-kata
itu berlangsung terus sejalan dengan proses pengembangan pengenalan dan
pengertian (gnosis dan kognisis). Proses belajar berbicara dan mengerti bahasa
adalah proses serebral, yang berarti proses ekspresi verbal dan komprehensi
auditorik itu dilaksanakan oleh sel-sel saraf di otak yang disebut neuron.
Proses neuron di otak ini sangat rumit untuk bisa dipahami.
Menurut Chaer
(2009:155). “Berbahasa memerlukan kemampuan mengeluarkan. Ini berarti, daerah
Broca dan Wernicke harus berfungsi
dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan
terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia,
dalam hal ini Broca sendiri menamai afemia.”
Perkembangan
gerakan voluntary pada tak yang pada mulanya bersifat kaku dan kasar, kemudian
menjadi luwes, ternyata tidak terjadi pada dua belah otak (hemisferium) secara
sama. Mekanisme neuronal yang mendasari penyempurnaan gerakan voluntary itu
ternyata lebih lengkap dan lebih rumit hanya pada satu belahan otak saja. Orang Oleh karena itu, terdapatlah
orang-orang yang lebih mampu menggunakan anggota gerak yang sebelah kiri daripada
sebelah kanan dan sebaliknya. Belahan otak (hemisferium) yang memiliki
organisasi neuronal yang lebih sempurna dikenal sebagai hemisferium yang
dominan. Dalam pertumbuhan dan perkembangan otak pembentukan daerah Broca dan
Wernicke terjadi pada hemisferium yang dominan.
Kajian tentang
afasia dan afasiologi dalam perkembangannya menghasilkan berbagai taksonomi
yang sangat membingungkan seperti yang dibuat oleh Benson (1975), Rapin dan
Allen (psikolinguis). Chaer (2009:157—158) menjelaskan tiga jenis afasia
sebagai berikut.
a.
Afasia
Motorik
Kerusakan pada
belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik bisa
terletak pada lapisan permukaan (lesikortikal) daerah Broca. Pada lapisan di
bawah permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca atau juga daerah otak antara
daerah Broca dan Daerah Wernicke (lesi transkortikal). Oleh karena itu,
didapati adanya tiga macam afasia motorik.
1.
Afasia
Morotik Kortikal
Tempat penyumpanan
sandi-sandi perkataan adalah di korteka daerah Broca. Maka apabila gudang
penyimpanan itu munah, tidak aka nada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan.
Jadi, afasia motorik kortikal berarti hilangnya kemampuan untuk mengutarakan
isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderita afasia motorik kortikal ini
masih bisa menegrti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
2.
Afasia
Mototrik Subkortikal
Sandi-sandi
perkataan disimpan din lapisan permukaan (korteks) daerah Broca, maka apabila
kerusakan terjadi pada bagian bawahnya (subkortikal) semua perkataan masih
tersimpan uhtuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan
karena hubungan terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan itu
tidak tersampaikan. Penderita afasia motorik subkortikal tidak dapat
mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan; tetapi masih bisa
mengeluarkan perkataan dengan cara membeo.
3.
Afasia
Motorik Transkortikal
Afasia motorik
transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan anatar daerah Broca dan
Wernicke. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa
terganngu. Pada umumna afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal
yang merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderita afasia motorik
transkortikal dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih
mungkin menggunakan subtisusinya.
b.
Afasia
Sensorik
Penyebab
terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada leksikortikal di
daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu terletaak di
kawasan asosiatif antara daerah visual,
daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan daerah
Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang dilihat ikut
terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan curah verbal meskipun
hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
Curah verbal
merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapapun. Curah
verbalnya itu terdiri dari kata-kata, ada yang mirip, ada yang tetap dengan
perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan
perkataan bahasa apa pun.
Neologisme diucapkan
dengan irama, nada, dan melodi yang
sesuai dengan bahasa asing ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja, seakan-akan
dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak
tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun yang
didengarnya (bahasa verbal yang normal)keduanya sama sekali tidak
dipahami.
3.
Gangguan
Berpikir
Chaer (2009: 159)
menjelaskan bahwa ekspresi verbal yang terganggu bersumber atau disebabkan oleh
pikiran yang terganggu. Gangguan ekspresinverbal sebagai akibat dari gangguan
pikiran dapat berupa hal-hal berikut ini.
a.
Pikun
(Demensia)
Chaer (2009:159) menjelaskan bahwa orang
yang pikun menunjukkan banyak sekali ganggguan seperti agnosia, apraksia, amnesia, perubahan kepribadian, perubahan
perilaku, dan kemunduran dalam segala macam intelektual. Semua gangguan itu
menyebabkan kurangnya berpikir, sehingga ekspresi verbalnya diwarnai dengan
kesukaran menemukan kata-kata yang tepat.
Menurut Martina (Chaer, 2009:
159),”Kepikunan atau demensia adalah suatu penurunan fungsi memori atau daya
ingat dan daya pikir lainnya yang dari hari kehari semakin buruk.” Gangguan
kognitif ini meliputi terganggunya ingatan jangka pendek, kekeliruan mengenali
tempat, orang, dan waktu. Juga gangguan kelancaran berbicara.
Penyebab pikun ini antara lain karena
terganggunya fungsi otak dalam jumlah besar, termasuk menurunnya jumlah zat-zat
kimia dalam otak. Selain itu dapat juga disebabkan oleh penyakit seperti stroke, tumor otak, depresi, dan
gangguan sistemik. Pikun yang disebabkan oleh depresi dan gangguan sistemik
dapat pulih kembali; tetapi kebanyakan kasus demensia lainnya tidak dapat
kembali ke kondisi sebelumnya.
Menurut Martina (dalam Chaer, 2009:159),”Hal
pertama yang harus dilakukan untuk mengobati demensia adalah mencari tahu
penyebab gangguan perilaku tersebut.” Apakah karena adanya nyeri fisik akibat
luka atau ada hubungannya dengan depresi. Penanggulangan gangguan perilaku pada
demensia dapat dilakukan melalui metode non-obat atau pun dengan obat.
b.
Sisofrenik
Chaer (2009:160) menjelaskan bahwa
gangguan berbahasa akibat gangguan berpikir. Dulu para penderita sisofrenik
kronik juga dikenal istilah schizophrenik
word salad. Para penderita ini dapat mengucapkan word- salad ini dengan lancar, dengan volume yang cukup, ataupun
lemah sekali. Curah verbalnya penuh dengan kata-kata neologisme. Irama serta
intonasinya menghasilkan curah verbal yang melodis.
Seorang penderita sisofrenia dapat
berbicara terus menerus. Ocehannya hanya merupakan ulangan curah verbal semula
dengan tambahan sedikit-sedikit atau dikurangi beberapa kalimat. Gaya bahasa
sisiofren dapat dibedakan dalam beberapa tahap dan menurut berbagaikriteria.
Yang utama adalah diferensiasi dalam gaya bahasa sisofrenia halusinasi dan
panca halusinasi.
Sebelum diganggu halusinasi, bahasa para
penderita sisofrenik ini tampak terganggu. Pada tahap awal penderita sisofrenia
ini mengisolasi pikirannya. Tidak banyak berkomunikasi dengan dunia luar,
tetapi banyak berdialog dengan diri sendiri. Ekspresi verbal terbatas, tatapi
kegiatan dalam dunia bahasa internal (berbahasa dalam pikiran diri sendiri)
sangat ramai. Oleh karena itu, gangguan ekspresi verbal sisofrenia tahap awal
ini menyerupai mutisme elektif. Pada tahap prahalusinasi ini gaya bahasa verbal
dan tulisnya dicoraki dengan penggunaan kata ganti”aku” yang berlebihan. Pada tahap berikutnya, penderita malah
mendeteksi bahwa kata-kata yang tidak hendak digunakan justru secara tidak
snegaja digunakan.
c.
Depresif
Menurut Chaer (2009:160—161),”orang yang tertekan jiwanya
memproyeksikan penderitaannya pada gaya bahasanya dan makna curah verbalnya.
Volume curah verbalnya lemah lembut dan kelancarnnya terputus-putus oleh
interval yang cukup panjang. Namun, arah arus isi pikiran tidak terganggu.
Kelancaran bicaranya terputus oleh tarikan napas dalam, serta pelepasan napas
keluar yang panjang. Perangai emosional yang terasosiasi dengan depresi itu
adalah universal. Curah verbal yang depresif dicoraki oleh topik yang
menyedihkan, menyalahi, dan mengutuk diri sendiri, kehilangan gaiirah bekrja
dan gairah hidup, tidak mampu menikmati kehidupan, malah cenderung
menghakirinya.
Berbeda dengan Sidharta, menurut Indah (2012:5), adapun jika ditinjau dari asalnya,
gangguan berbahasa dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Pertama, gangguan
berbahasa yang berkembang, artinya gangguan akibat kelainan yang dibawa sejak
lahir. Pada sebagian anak, terjadi kesulitan dalam pemerolehan bahasa akibat
kelainan tumbuh kembang. Kedua, gangguan berbahasa yang diperoleh, artinya
gangguan akibat operasi, stroke, kecelakaan atau penuaan. Gangguan berbahasa
dan berkomunikasi dapat diakibatkan faktor medis dan faktor lingkungan.
Faktor medis berimplikasi pada gangguan berbicara, gangguan
berbahasa dan gangguan berpikir. Contoh faktor medis yaitu gangguan sebagai
akibat cidera otak yang menyebabkan kerusakan sistem syaraf, gangguan
psikogenik, dan gangguan pada sistem mekanisme organ wicara. Demikian pula
halnya dengan kerusakan sistem saraf yang menyebabkan terputusnya jaringan
antara wilayah auditori dan produksi tutur sehingga pesan ujaran tidak
tersampaikan. Permasalahan berbicara sebagaimana yang dijelaskan di atas
bersifat permanen yang menyebabkan ketidakmampuan berbahasa secara baik dan
benar. Adapun beberapa gangguan lain bersifat temporer sehingga mengakibatkan
kekurangmampuan berbahasa. Disebut kurang karena tidak mengacu pada kata
“tidak” melainkan “belum”. Misalnya pada penderita gagap yang disebabkan pengaruh
perasaan afektif sehingga pikiran dan ucapan tidak bersambung dengan baik,
kesukaran melafalkan kata‐kata tertentu dan kurang
menguasai topik pembicaraan (Gleason dan Ratner dalam Indah, 2012:7).
Kekurangmampuan berbahasa sebagaimana dijelaskan di atas pada
hakikatnya dapat terjadi pada tiga tahapan rekonstruksi ingatan kebahasaan yang
membangun proses pemerolehan bahasa secara lengkap. Tahapan pertama yaitu masukan. Pada saat seseorang mendengar atau
membaca suatu wacana ia membuat catatan mengenai isi atau pesan kebahasaan
sekaligus membuat interpretasi. Pada penderita gangguan neurologis tahap ini
mempersulit proses interpretasi sehingga menghalangi keberlangsungan proses
selanjutnya. Tahapan kedua yaitu
penyimpanan. Para ahli membedakan dua konsep penyimpanan yaitu penyimpanan
jangka pendek dan jangka panjang. Penyimpanan jangka pendek berupa kata‐kata atau angka sejumlah maksimal 7 frase sehingga orang dapat
mengingat 7 digit nomor telepon dalam jangka waktu pendek. Adapun penyimpanan
jangka panjang menyangkut pesan kalimat yang dapat dipelihara untuk jangka waktu
lama yang berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Yang terakhir yaitu
tahap hasil dimana terjadi kontras
antara kedua jenis ingatan, artinya makin lama seorang pendengar mendapat
kesempatan mengingat suatu ujaran, makin sedikit bentuk yang diingat,
sebaliknya makin banyak makna yang diingat.
Baik ketidakmampuan maupun kekurangmampuan berbahasa yang
diartikan sebagai gangguan bicara permanen dan temporer dapat dikategorikan ke
dalam tiga jenis. Pertama, gangguan dalam mengkondisikan ketidaksempurnaan
organ. Kedua, gangguan berkognisi. Ketiga, gangguan mengolah informasi
linguistik. Contoh kategori pertama di atas yaitu yang dialami tunarungu,
tunanetra dan penyandang gangguan mekanisme berbicara.
Ketidaksempurnaan organ menyebabkan pendidikan tunarungu diprioritaskan
pada pengajaran bahasa isyarat. Dengan menggunakan bahasa isyarat sebagai
bahasa ibu, tunarungu kemudian memahami bahasa lisan dan tulis sebagai bahasa
kedua. Dewasa ini mengajarkan pemahaman membaca gerak bibir lebih ditekankan.
Namun demikian bagi penderita tunarungu dengan kerusakan pendengaran yang
sangat parah hanya dapat diajari dengan bahasa isyarat. Mengingat rumitnya fase
belajar bahasa anak tunarungu yang bertingkat dari bahasa isyarat dan membaca
gerak bibir, sebagai imbasnya dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar
membaca dan menulis. Oleh karenanya kemampuan baca tulis anak tunarungu lebih
lambat dibandingkan anak normal. Keterampilan komunikasi yang dicapai terbatas
pada komunikasi tatap muka atau face to face, dengan demikian tanpa
teknologi visual sulit dilakukan percakapan pertelepon. Secara umum
perkembangan bahasa pada anak tunarungu ditentukan oleh 3 (tiga) factor mendasar,
yaitu: 1) tingkat kerusakan pendengaran, 2) status pendengaran orang tua
(apakah normal atau tunarungu), dan 3) usia diperkenalkan pada sistem
komunikasi tertentu serta konsistensi latihan berkomunikasi. Pada penderita
tunanetra beberapa keraguan mengenai kemampuannya berbahasa kerap dilontarkan.
Salah satu pertanyaan yang sering muncul yaitu apakah kelainan visual
mengakibatkan keterlambatan dalam memperoleh bahasa? Hal ini mengingat kondisi
anak yang tidak terbantu dengan ekspresi wajah, bahasa tubuh atau pandangan
pada obyek disekitarnya.
Riset membuktikan bahwa anak tunanetra ternyata memperoleh
sistem fonologi lebih lambat daripada anak normal. Anak tunanetra kadang‐kadang bingung dengan fonem yang mirip dalam pengucapan,
misalnya /n/ dan /m/. Kemampuan anak tunanetra sama dengan anak normal ketika
mulai meracau dan mengatakan kata‐kata pertama. Namun
demikian terdapat perbedaan pada isi kosakata awal mereka. Anak tunanetra
umumnya kurang memvariasikan kata kerja, hal ini menunjukkan bahwa mereka
memiliki keterbatasan pengkategorian yang berdampak pada keberagaman
kosakatanya. Ketidaksempurnaan organ wicara menghambat kemampuan seseorang
memproduksi ucapan (perkataan) yang sejatinya terpadu dari pita suara, lidah,
otot‐otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru‐paru. Hal ini disebut gangguan mekanisme berbicara.
Gangguan berbahasa juga disebabkan karena pikiran. Gangguan
berbahasa karena kognisi yang lebih umum ditemui yaitu pada penderita Down
Syndrome dan Autisma. Pada penderita Down Syndrome kemampuan
intelektualnya sangat beragam dan salah jika kita menganggap kemampuan berbahasa
semua penderitanya sama. Tingkatan IQ terbagi atas: ringan (IQ 53‐68), sedang (IQ 36‐52), berat (IQ 20‐35) dan parah (IQ di bawah 20). Dengan demikian kemampuan
linguistiknya mengacu pada kelainan kognitif yang dialaminya. Kajian tentang Down
Syndrome atau keterbelakangan mental menunjukkan adanya hubungan antara
kelainan kognitif dengan kegagalan memperoleh kompetensi linguistik sepenuhnya.
Secara umum perkembangan fonologisnya lambat. Hanya sedikit kosakata dapat
dikuasai dan ucapannya cenderung pendek dan telegrafis (tanpa imbuhan
dan kata sambung, mirip bahasa dalam telegram).
Anak down sindrom juga bermasalah dengan
pelafalan. Dengan suaranya yang khas parau, intonasinya tergolong abnormal.Komunikasi
dengan menggunakan bahasa tubuh (gesture) lebih dipilih oleh anak dengan
sindroma down berat dan parah. Adapun kemampuan sintaksisnya dapat dicapai pada
usia dewasa, meskipun mereka lebih dapat menangkap kontruksi kalimat afirmatif
daripada negasi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa gangguan berbahasa, yang
dialami penderita sindroma down baik anak‐anak maupun dewasa,
hanya bersifat terlambat (bukan bersifat kurang atau tidak mampu). Artinya
dengan perkembangan yang berlangsung lamban, proses pemerolehan bahasa yang dilaluinya
mirip dengan urutan normal meskipun pada sebagian penderita tidak dapat
mencapai kompetensi penuh sebagai mana pembicara dewasa normal. Hal ini
tergantung tingkat parahnya kelainan yang diderita.
Pada kasus Autisma terjadi kombinasi antara kelainan kognitif
dan sosial. Penyandang autism bisa jadi membisu hingga usia 5 tahun, atau hanya
membeo kata‐kata orang dewasa yang didengarnmya.
Hal ini mengindikasikan bahwa penyandang autisma memiliki keterbatasan alam pikir,
artinya mereka tidak mampu memahami dunia dari sudut pandang orang lain. Segala
aspek komunikasi sulit dicapai penyandang autisma, kecuali aspek fonologis yang
pada sebagian penyandang tetap dapat dikuasai. Perkembangan ketrampilan
bahasanya tidak saja mengalami keterlambatan tetapi juga penyimpangan. Secara
fonologis, artikulasinya cukup jelas meskipun sering muncul beragam kesalahan
dalam penyebutan obyek. Misalnya substitusi atau menyebut dengan kata lain,
menghilangkan suku kata tertentu, asimilasi dengan kata lain, menambahkan
dengan suku kata yang salah., intonasinya cenderung datar dan salah dalam
membuat penekanan ucapan. Kemampuan sintaksisnya sangat lamban karena sering
muncul kalimat peniruan atau echolalia,
yaitu mengulang‐ulang kalimat yang tidak
relevan dengan konteks. Kemampuan memahami semantik juga lamban, misalnya membedakan
antara “The girl feeds the baby” dengan “The baby feeds the girl”.
Pada kategori ketiga, anak dapat mengalami gangguan berbahasa
secara linguistik yaitu ketidakmampuan dalam pemerolehan dan pemrosesan
informasi linguistik. Misalnya masalah kefasihan yang terjadi pada anak yang
gagap dan latah atau pada penderita gangguan fisiologis yang menyangkut kesalahan
formasi dan pengolahan organ artikulasi (seperti mulut, lidah, langit‐langit, pangkal tenggorok dll.). Selain itu anak dapat
menghadapi masalah baca tulis.
Di sini perlu dibedakan antara disleksia dan disgrafia.
Disleksia atau kesulitan membaca kerap diikuti dengan disgrafia atau kesulitan
menulis. Tingkat kelainan dan gejalanya bervariasi antar individu. Sebagian
penderita disleksia juga mengalami keterbatasan fonologis misalnya tidak bisa
menduga bagaimana membedakan ejaan kata atau bukan kata. Penderita lain sekedar
menghafal ejaan kata dan tidak dapat mengingat ejaan kata‐kata lain. Secara umum penderita disleksia mengalami kesulitan
pada area kognitif tertentu, termasuk membedakan kiri/kanan, barat/timur; juga
konsep waktu seperti hari, tanggal, bulan, tahun; serta pengolahan secara matematis.
C.
Produksi
Kalimat
1. Senyapan
dan Kilir Lidah
Dardjowidjojo (2010:142)
mengemukakan yang dipakai untuk menyimpulkan proses mental yang terjadi pada
waktu kita berujar ada dua macam, yakni senyapan (pause) dan kekeliruan (errors).
a. Senyapan
(Pauses)
Pengujaran yang ideal
terwujud dalam suatu bentuk ujaran yang lancar ejak ujaran itu dimulai sampai
ujaran itu selesai. Kata-katanya terangkai dengan rapi, diujarkan dalam suatu
urutan yang tak terputus, dan kalau pun ada senyapan, senyapan itu terjadi pada
konstituen-konstituen yang memang memungkinkan untuk disenyapi. Intonasinya pun
merupakan suatu kesatuan dari awal sampai akhir. Akan tetapi, ujaran ideal
semacam ini tidak selamanya dapat kita buat. Tidak semua orang dapat berbicara
selancar ini untuk semua topik pembicaraan. Pada umumnya orang berbicara sambil
berpikir sehingga semakin sulit topik yang dibicarakan maka akan semakin besar
jumlah senyapan yang muncul (Dardjowidjojo, 2010:142).
1) Macam-macam
Senyapan
Menurut Aitchison
(dalam Dardjowidjojo, 2010:143), pada umumnya orang senyap sebentar, entah
untuk bernafas entah untuk keperluan yang lain. pada waktu berbicara, senyap
untuk mengambil nafas sebenarnya tidak banyak hanya sekitar 5% .senyapan yang
paling sering terjadi adalah waktu orang ragu-ragu. Kecuali ujaran tersebut
telah merupakan klise hafalan, atau ujaran itu telah dipersiapkan dengan baik
sebelumnya, umunya 30-50% ujaranditandai oleh senyapan.
Di dalam kebanyakan
hal, kita sering senyap waktu berbicara. Ada berbagai alasan mengapa orang
senyap. Pertama, orang senyap karena ia telah terjlanjur mulai dengan
ujarannya, tetapi sebenarnya ia belum siap untuk seluruh kalimat itu. Karena
itu, dia senyap sejenak untuk menjari kata-kata untuk melanjutkan ujarannya.
Kedua, bisa juga kesenyapan seperti ini terjadi karena ia lupa dengan kata-kata
yang ia perlukan. Kemungknan ketiga adalah, bahwa ia harus sangat berhati-hati
dalam memilih kata agar dampaknya pada pendengar atau publik tidak, misalnya
menghebohkan. Tipe ketiga ini umumnya terjadi pada pejabat publik atau kaum
politikus yang harus berhati-hati memilih kata-katanya (Dardjowidjojo,
2010:144).
Dardjowidjojo
(2010:144) menjelaskan ketidaksiapan maupun keberhati-hatian dalam berujar
seperti ini terwujud dalam dua senyapan yaitu, senyapan diam dan senyapan
repetisi. Pada senyapan diam pembicara berhenti sejenak dan diam saja kemudian
setelah menemukan kata-kata yang dicari dia melanjutkan kalimatnya.
2) Letak
Senyapan
Menurut Boomer (dalam
Dardjowidjojo, 2010:146), senyapan keraguan tidak terletak di sembarang tempat.
Akan tetapi, di mana persisnya belum ada kesepakatan yang mantap di antara para
ahli. Ada yang mengatakan bahwa senyapan seperti itu terdapat terutama sesudah
kata pertama dalam suatu klausa atau kalimat, tetapi ada pula yang menyatakan
bahwa senyapan terdapat terutama sebelum bentuk leksikal yang penting. Namun
demikian, menurut Clark (dalam Dardjowidjojo, 2010:146) tampakya ada
tempat-tempat di mana para ahli sepakat, yakni jeda gramatikal, batas
konstituen yang lain, dan sebelum kata utama pertama dalam konstituen.
Jeda gramatikal adalah
tempat senyap untuk merencanakan kerangka maupun konstituen pertama dari
kalimat yang akan diujarkan. Senyapan seperti ini cenderung lama dan sering.
Senyapan ini tidak termasuk ke dalam tpe keraguan. Selanjutnya pada batas
antara konstituen dengan konstituen yang lain orang juga bisa senyap karena di
sinilah orang merencanakan rincian dai konstituen utama berikutnya. Tempat
ketga untuk senyapan ada;ah sebelum kata utama dalam konstituen. Setelah
kerangka terbentuk, maka konstituen harus diisi dengan kata-kata (Clark dalam
Dardjowidjojo, 2010:146).
b. Kekeliruan
Menurut Dardjowidjojo
(2010:147), kekeliruan dalam wicara dapat disebabkan oleh kilir lidah atau oleh
penyakit afasia. Pada yang pertama, kekeliruan itu terjadi karena kita tidak
memproduksi kata yang sebenarnya kita kehendaki. Kita memproduksi bahasa lain,
kita memindah-mindahkan bunyi, atau kita mengurutkan kata secara keliru. Ini
berbeda dengan kekeliruan afasik. Kekeliruan afasik muncul karena otak kita
terganggu sehingga kita menjadi tidak mampu untuk mengujarkan kata yang kita
inginkan.
1) Kilir
lidah
Kilir lidah adalah
suatu fenomena dalam memproduksi ujaran di mana pembicara terkilir lidahnya
sehingga kata-kata yang diproduksi bukanlah kata yang dia maksudkan.
a) Kekeliruan
Seleksi
Menurut Dardjowidjojo
(2010:147), pada tipe semantik yang keliru yang sering juga diseut sebagai
“Freudian Slips” orang meretrif kata yang bukan yang diinginkan. Kekeliruan seperti
ini bukan acak sifatnya, tetapi ada alasannya. Manusia menyimpan kata
berdasarkan antara lain sifat-sifat kodrati yang ada pada kata-kata itu.
b) Kekeliruan
Asembling
Dardjowidjojo
(2010:149) menjelaskan kekeliruan asembling adalah bentuk kekeliruan di mana
kata-kata yang dipilih sudah benar, tetapi asemblingnya keliru. Salah satu
bentuk kekeliruan ini adalah apa yang dinamakan transportasi. Pada kekeliruan
ini orang memindahkan kata atau bunyi dari suatu posisi ke posisi yang lain.
2) Afasia
Menurut Dardjowidjojo
(2010:151) afasia adalah suatu penyakit wicara di mana orang tidak dapat
berbicara dengan baik karena adanya penyakit pada otak. Penyakit ini umumnya
muncul karena orang tadi mengalami stroke, yakni sebagian dari otaknya
kekurangan osigen sehingga bagian tadi mencadi cacat.
c. Unit-unit
pada Kilir Lidah
Menurut Dardjowidjojo
(2010:151—153), unit-unit pada kilir lidah ada bermacam-macam, yaitu sebagai
berikut.
1) Kekeliruan
Fitur Destingtif
kilir lidah yang
unitnya adalah fitur destingtif terjadi bila yang terkilir bukannya suatu
fonem, tetapi hanya fitur destingtif dari fonem itu saja. Kategori kilir lidah
pada fitur destingtif sangat jarang terjadi, kurang dari 5%.
2) Kekeliruan
Segmen Fonetik
Kekeliruan yang lebih
umum adalah kekeliruan yang jumlah fiturnya lebih dari satu. Kekeliruan segmen
fonetik merupakan kekeliruan yang paling umum, ia dapat mencapai 60-90%. Dari
jumlah ini 80% menyangkut konsonan yang merupakan onset pada kata.
3) Kekeliruan
Sukukata
Di dalam kekeliruan
suku kata hampir selalu yang tertukar itu adalah konsonan pertama dari suatu
suku dengan konsonan pertama dari suku lain.
4) Kekeliruan
Kata
Kekeliruan kata terjadi
apabila yang tertukar tempat adalah kata. Pada umumnya orang menyadari bahwa
dirinya telah berbuat kekeliruan seperti ini dan mengoreksinya. Akan tetapi,
kadang-kadang kekeliruan itu berlalu tanpa pembicara menyadarinya.
2. Lupa-lupa
Ingat dan Latah
Dardjowidjojo
(2010:153) berpendapat lupa-lupa ingat adalah eadaan di mana kadang-kadang
manusia ingat sepenuhnya akan suatu kata yang mungkin sudah lama tidak dipakai.
Akan tetapi, dia tidak lupa benar dengan kata itu. Di dalam gejala lupa-lupa
ingat tampaknya ada pola tertentu yang diikuti orang, yakni:
a) jumlah
suku kata selalu benar,
b) bunyi
awal kata itu juga benar,
c) hasil
akhir kekeliruan itu mirip dengan kata yang sebenarnya.
Menurut Dardjowidjojo
(2010:154), gejala lain yang unik adalah gejala latah. Latah adalah suatu
bentuk kebahasaan di mana seseorang, waktu terkejut atau dikejutkan,
mengeluarkan kata-kata secara spontan dan tidak sadar dengan apa yang dia
katakan. Latah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
a) Konon
latah hanya terdapat di Asia Tenggara.
b) Pelakunya
hampir selalu wanita.
c) Kata-kata
yang terkeluarkan pada umumnya berkaitan dengan seks atau alat kelamin pria
atau jantan.
d) Kalau
keutannya berupa kata, maka si latah juga bisa hanya mengulang kata itu saja.
3. Proses
Pengujaran
Perwujudan kata dari
tahap konseptualisasi sampai dengan artikulasi digambarkan oleh Roelos (dalam
Dardjowidjojo, 2010:155) dengan model WEAVER++. Contoh yang dipakai adalah
bagaimana mengujarkan kata Belanda cigaar
‘rokok’. Katakanlah ada seorang belanda yang melihat rokok dan mau
mengatakan kata untuk benda itu. Akses leksikal akan mulai dari pembentukan
konsep untuk benda ini yang disimpulkan dengan cigar sampai ke wujud fonetiknya. Berikut adalah
langkah-langkahnya.
a) Peretrif
lama menerima konsep cigar dna
sekaligus juga memunculkan pula kategori sentaktik nomina, gender tak netral,
dan bentuk tunggal.
b) Kemudia
berkas itu dikirim ke word-from encoding.
Pada tahap morphological encoding, ihwal
yang berkaitan dengan morfologi, seperti bentuk tunggal dan kategorinya,
diproses sehingga muncullah morfem /sidar/, bukan /sidare/.
c) Pada
tahap phonological encoding morfem
ini diwujudkan bunyi-bunyinya, sukukatanya bagaimana, dan tekanan katanya
bagaimana. Dengan demikian maka terbentuklah kata fonologis, mana onsetnya,
mana nukleusnya, dan mana kodanya.
d) Hasil
dari phonological encoding ini
dikirim ke bagian phonetic encoding untuk diproses fitur-fitur fonetiknya.
e) Hasil
dari itu dikirim ke tahap terakhir, yakni program artikulasinya.
4. Artikulasi
Kalimat
Menurut Dardjowidjojo
(2010:158) proses artikulasi untuk bunyi disesuaikan dengan keadaan aparatus
ujaran kita saat itu. Kecepatan ujaran tentu saja mempengaruhi proses ini
karena semakin cepat seseorang berbicara, maka sedikitlah waktu yang
dimilikinya untuk memproses semua instruksi ini. Sebagai akibatnya, bunyi-bunyi
itu makin tidak akurat, dan bahwa bisa pula terjadi kekeliruan.
5. Bagaimana
Kekeliruan Terjadi
Dardjowidjojo
(2010:160) berpendapat karena kecepatan ujaran atau karena alasan-slasan yang
lain bisa saja kata atau kalimat yang diujarkan itu menjadi keliru. Proses
munculnya kekeliruan ini mengikuti urutan tertentu
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik
Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Indah, Nur Rohmaini. 2012. “Proses Pemerolehan Bahasa: dari Kemampuan Hingga
Kekurangmampuan Berbahasa”. http//UIN.Malang.ac.id. diunduh 24 April 2016.
Komentar
Posting Komentar