HIPOTESIS PEMEROLEHAN
BAHASA DAN PEMEROLEHAN SEMANTIK
A. Hipotesis Pemerolehan Bahasa
1.
Hipotesis Nurani
Ahli yang mencetuskan hipotesis nurani adalah
Chomsky pada tahun 1950. Hipotesis nurani (innateness
hypothesis) disebut juga hipotesis pembawaan sejak lahir. Gagasan atau ide
yang mengemukakan bahwa bayi manusia berkecendrungan untuk memperoleh suatu
bahasa disebut hipotesis nurani (Tarigan, 1985:256). Aspek-aspek organisasi
linguistik merupakan dasar bagi otak manusia untuk menerima atau memperoleh kompetensi
berbahasa tanpa instruksi dari orang lain.
Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan
yang dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa kanak-kanak. Hasil
pengamatan itu adalah sebagai berikut (Chaer, 2009:168).
a.
Setiap
anak yang normal akan menguasai bahasa ibunya apabila dia dibesarkan oleh
keluarganya menggunakan bahasa ibunya.
b.
Pemerolehan
bahasa ibu seorang anak tidak dipengaruhi kecerdasannya.
c.
Kalimat-kalimat
yang didengar seorang anak sering kali tidak gramatikal, tidak lengkap, dan jumlahnya
sedikit.
d.
Hanya
manusia yang dapat berbahasa.
e.
Pemerolehan
bahasa ibu setiap anak berkaitan dengan pematangan jiwa anak tersebut.
f.
Anak-anak
dapat menguasai bahasa dalam waktu yang relatif singkat.
Berdasarkan pengamatan tersebut, Chomsky dan
Miller menyimpulkan bahwa setiap anak dapat menguasai bahasa dengan mudah dan
cepat karena mereka dibekali alat yang dinamai LAD (Language Acquisition Device).
Menurut Simanjuntak (dalam Chaer, 2009:169),
terdapat dua macam hipotesis nurani yaitu hipotesis nurani bahasa dan hipotesis
nurani mekanisme. Hipotesis nurani bahasa berasumsi bahwa bahasa tidaklah
dipelajari tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organisme
manusia, sedangkan hipotesis nurani mekanisme berasumsi bahwa proses pemerolehan
bahasa ditentukan oleh perkembangan kognitif dan mekanisme nurani umum yang
berinteraksi dengan pengalaman-pengalaman manusia. Perbedaan kedua hipotesis
nurani tersebut terlihat pada alat (LAD) yang membuat manusia mampu menguasai
bahasa. Hipotesis nurani bahasa menekankan bahwa ada alat khusus yang dibawa
manusia sejak lahir untuk menguasai bahasa, sedangkan hipotesis nurani
mekanisme menekankan bahwa alat tersebut berbentuk mekanisme yang umum untuk semua
kemampuan manusia.
2.
Hipotesis Tabularasa
Ahli yang mengemukakan hipotesis tabularasa adalah Jhon Locke. Hipotesis tabularasa disebut juga hipotesis kertas
putih. Hipotesis kertas putih menyatakan bahwa akal setiap anak merupakan
sehelai kertas putih yang akan diisi pengalaman-pengalaman dari lingkungannya
(Tarigan, 1985:260). Hipotesis ini merupakan hipotesis kaum behavioris.
Berbeda dengan istilah Tarigan, Chaer
(2009:172) menyebut hipotesis tabularasa
sebagai hipotesis kertas kosong atau kertas yang belum ditulis apa-apa.
Sekalipun istilah yang digunakan kedua ahli tersebut berbeda, makna yang
dimaksudkan tetaplah sama. Sejak lahir anak tidak dibekali apa-apa untuk
menguasai bahasa tetapi akan diisi atau dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman
yang dia dapatkan dari lingkungannya. Manusia mampu berbahasa karena dia
mengalami dan mengamati orang-orang di sekitarnya berbahasa. Kaum behavioris
beranggapan bahwa pengetahuan linguistik terdiri atas rangkaian-rangkaian S – R
(Stimulus – Respon). Cara pembelajaran S – R dimodifikasi menjadi teori-teori pembelajaran
bahasa.
Menurut Chaer (2009:173), “Teori pembelajaran
bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa perilaku berbahasa seseorang dibentuk
oleh serentetan ganjaran yang beragam yang muncul di sekitar orang itu.” Setelah
seorang anak mampu berceloteh, perlahan dia akan menirukan bahasa yang dia
dengar dari ibunya tetapi tidak meniru sepenuhnya. Jika tiruan si anak
mendekati ucapan sebenarnya, si ibu akan memberikan hadiah berupa senyuman,
ciuman, tawa, dan sebagainya. Hasil kegiatan meniru tersebut yang selalu
diingat si anak hingga dituliskan di kertas kosong otak manusia.
Teori yang juga disebutkan dalam hipotesis
tabularasa adalah teori mediasi atau penengah yang disebut rantaian respon (response chaining). Teori ini menyatakan
bahwa faktor penengah atau mediasi yang dimainkan oleh otak memegang peranan
yang sangat penting dalam proses pembelajaran rantaian respon (Chaer, 2009:174). Namun, teori ini dianggap tidak dapat
menjelaskan kreativitas manusia dalam membuat kalimat-kalimat baru. Oleh sebab
itu, para ahli lebih menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa seseorang akan
dapat mengeluarkan kalimat apabila orang lain mengeluarkan stimulus.
3.
Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Ahli yang mengemukakan hipotesis kesemestaan kognitif adalah Jean Piaget (Chaer, 2009:178).
Dalam hipotesis kesemestaan kognitif disebutkan bahwa bahasa diperoleh
berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor yang diperoleh anak-anak
melalui interaksi dengan benda-benda atau orang-orang di sekitarnya. Menurut
Chaer (2009:178), urutan pemerolehan bahasa yaitu sebagai berikut.
a.
Anak
usia 0 sampai 1,5 tahun mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi
terhadap alam sekitarnya. Pola-pola itu kemudian diatur menjadi mental.
Artinya, anak-anak mulai membangun dan mengenal benda-benda yang kekal.
Contohnya, ketika si anak diberi topi lalu topi itu diambil kembali, si anak
dapat mengerti bahwa topi itu tidak hilang dari dunia melainkan hanya hilang
dari pandangannya pada saat itu dan dapat ditemukan dengan memandang ke arah
lain.
b.
Anak
usia 2 sampai 7 tahun mulai memasuki representasi kecerdasan dan mampu
membentuk representasi simbolik benda-benda seperti permainan simbolik,
peniruan, banyangan mental, gambar-gambar, dan lain-lain.
c.
Setelah
tahap representasi kecerdesan dan representasi simbolik berakhir, bahasa si
anak semakin berkembang dan mendapat nilai-nilai sosialnya. Struktur-struktur
linguistik mulai dibentuk berdasarkan bentuk-bentuk kognitif umum yang telah
ada ketika berusia kurang lebih dua tahun.
Piaget berpendapat bahwa anak-anak lebih dahulu
mengembangkan proses-proses kognitif yang bukan linguistik, barulah sesudah itu
mereka memperoleh lambang-lambang linguistik.
B.
Pemerolehan Semantik
Pada tahun pertama dalam
kehidupannya, seorang bayi menghabiskan waktunya untuk mengamati dan
mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi yang ada di sekitar kehidupannya.
Pada saat itulah si bayi memperoleh semantik bahasa dunianya. Berdasarkan hal
itu, linguistik generatif transformatif lebih mengedepankan komponen semantik
yang dahulu diperoleh anak daripada komponen yang lain.
Dalam perkembangan psikolinguistik,
ada empat teori mengenai proses pemerolehan semantik yaitu: teori hipotesis
fitur semantik, teori hipotesis hubungan-hubungan gramatikal, teori hipotesis
generalisasi, dan teori hipotesis primitif-primitif universal (Chaer,
2009:195). Keempat teori tersebut akan diuraikan satu per satu sebagai berikut.
1.
Teori Hipotesis Fitur Semantik
Menurut Neil dan Clark, kanak-kanak memperoleh
makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik kata itu satu demi
satu sampai semua fitur semantik itu dikuasai seperti yang dikuasai oleh orang
dewasa. Asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesis fitur-fitur semantik yaitu
sebagai berikut.
a.
Fitur-fitur
yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan sebagian fitur makna yang
digunakan oleh orang dewasa.
b.
Pengalaman
kanak-kanak mengenai dunia dan bahasa masih sangat terbatas, sehingga mereka
menggunakan dua atau tiga fitur makna saja untuk sebuah kata sebagai masukan
leksikon.
c.
Fitur
yang digunakan kanak-kanak didasarkan pada informasi persepsi atau pengamatan.
Orang dewasa yang mengucapkan kata-kata baru
dalam konteks dan situasi yang dikenal kanak-kanak akan menolong kanak-kanak
tersebut untuk memperoleh makna kata-kata baru berdasarkan bentuk, ukuran,
bunyi, rasa, gerak, dan sebagainya. Contoh kata susu yang memiliki fitur semantik [+cair] dan [+manis]. Fitur
seperti ini didasarkan pada wujud dan rasa, oleh kanak-kanak akan digunakan
juga pada benda cair seperti teh manis, sirup, dan sebagainya. Selain
memperoleh makna kata secara terpisah sebagai butir leksikal, kanak-kanak juga
memperoleh makna kata-kata yang berada dalam satu medan makna atau medan
semantik, yakni kata-kata yang maknanya saling berkaitan. Contoh kata buku, pensil, rautan, dan penghapus adalah kata-kata yang berada
dalam satu medan makna alat-alat belajar.
Secara umum, perkembangan pemerolehan semantik
di kelompokkan Clark menjadi empat tahap yaitu: tahap penyempitan makna, tahap
generalisasi berlebihan, tahap medan semantik, dan tahap generalisasi.
2.
Teori Hipotesis Hubungan-hubungan
Gramatikal
Teori ini diperkenalkan oleh Neil. Menurutnya,
kanak-kanak lahir dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam yang
nurani. Oleh karena itu, pada awal proses pemerolehan bahasanya telah berusaha
membentuk satu “kamus makna kalimat” (sentence-
meaning-dictionary), yaitu setiap butir leksikal dicantumkan dengan semua
hubungan gramatikal yang digunakan secara lengkap pada tahap holofrase. Pada
awal pemerolehan semantik, hubungan-hubungan gramatikal yang paling penting
karena telah tersedia secara nurani sejak lahir.
Penyesuian kamus makna merupakan perkembangan
kosakata kanak-kanak yang dilakukan secara horizontal dan vertikal. Secara
horizontal artinya pada mulanya kanak-kanak hanya memasukkan beberapa fitur
semantik untuk setiap butir leksikal ke dalam kamusnya. Kemudian dalam
perkembangan selanjutnya barulah terjadi penambahan fitur-fitur lainnnya secara
berangsur-angsur. Secara vertikal artinya kanak-kanak secara serentak
memasukkan semua fitur semantik sebuah kata ke dalam kamusnya, tetapi kata-kata
itu terpisah satu sama lain. Hal itu berarti fitur semantik kanak-kanak itu
sama dengan fitur semantik orang dewasa.
3.
Teori Hipotesis Generalisasi
Teori ini diperkenalkan oleh Anglin.
Menurutnya, perkembangan semantik kanak-kanak mengikuti satu proses
generalisasi, yakni kemampuan kanak-kanak melihat hubungan-hubungan semantik
antara nama-nama benda mulai dari yang konkret sampai pada yang abstrak. Pada
tahap ini kanak-kanak hanya mampu menyadari hubungan-hubungan konkret yang
khusus di antara benda-benda itu. Bila usianya bertambah, kanak-kanak akan
membuat generalisasi terhadap kategori-kategori abstrak yang lebih besar.
Contohnya pada awal pemerolehan semantik,
kanak-kanak telah mengetahui kata-kata mangga
dan jeruk melalui hubungan yang
konkret antara kata-kata itu dengan buah-buahan tersebut. Pada tahap
berikutnya, setelah kanak-kanak semakin matang, mereka akan menggolongkan kata-kata
tersebut dengan butir leksikal yang lebih tinggi kelasnya melalui generalisasi buah. Selanjutnya setelah usia
kanak-kanak semakin bertambah, mereka akan memasukkan buah ke
dalam kelas yang lebih tinggi yaitu tumbuh-tumbuhan.
4.
Teori Hipotesis Primitif-primitif
Universal
Awalnya teori ini diperkenalkan oleh Postal
kemudian dikembangkan oleh Bierwisch. Menurut Postal, semua bahasa yang ada di
dunia dilandasi oleh satu perangkat primitif-primif semantik universal dan
rumus-rumus untuk menghubungkan primitif-primitif semantik ini dengan
butir-butif leksikal. Setiap primitif semantik itu mempunyai satu hubungan yang
sudah ditetapkan sejak awal dengan dunia yang ditentukan oleh struktur biologi
manusia. Menurut Bierwisch, fitur-fitur semantik itu tidak mewakili ciri-ciri
fisik luar dari benda itu, tetapi mewakili keadaan psikologi berdasarkan
bagaimana manusia memproduksi keadaan sosial dengan fisiknya.
Bierwisch juga berpendapat bahwa yang perlu
dipelajari dalam pemerolehan semantik kanak-kanak adalah hubungan
komponen-komponen makna dengan “milik-milik” fonologi dan sintaksis bahasanya.
Hal ini berarti, manusia menafsirkan semua yang diamatinya berdasarkan
primitif-primitif semantik yang telah tersedia sejak lahir.
Referensi
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Komentar
Posting Komentar