HUBUNGAN BAHASA,
BERBAHASA, DAN OTAK
A.
Bahasa
dengan Otak
Para pakar mendefinisikan bahwa bahasa
adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan dalam komunikasi
manusia dan berbahasa
adalah penyampaian pikiran atau perasaan menggunakan bahasa.
Bahasa diproses di dalam otak manusia. Menurut
Chaer (2009:115), otak
adalah salah satu komponen dalam sistem susunan saraf manusia. Otak terdiri
dari dua hemisfer, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan, yang dihubungkan
oleh korpus kolosum. Selanjutnya, menurut Sastra (2011:33) struktur-struktur otak
berasal dari neural plate. Neural plate adalah sebuah lapisan
tunggal sel yang berkembang di bagian tengah belakang embrio manusia dalam masa
kehamilan. Otak
berperan dalam setiap tahapan ekspresi linguistik yang dilalui walaupun belum
secara penuh dimengerti. Kajian mengenai interkoneksi dan komunikasi antara
struktur yang berbeda dalam setiap hemisfer (belahan) otak menjadi sangat
menarik dilakukan karena dapat
menjelaskan perbedaan yang mendasarkan antara struktur kortikal dan subkortikal
mengenai rancangan dan perpindahan
reaksi neural.
Menurut Aristoteles
(dalam Sastra, 2011:61), otak
terdiri dari atas hemisfri kiri yang ditugasi mengelola ihwal bahasa dan
hemisfri kanan ditugasi untuk hal lain.” Volpe (dalam Chaer, 2009:118)
menjelaskan bahwa perkembangan atau pertumbuhan otak manusia terdiri atas enam
tahap, yaitu sebagai berikut.
1. Pembentukan
tabung neural.
2. Profilasi
selular untuk membentuk calon sel neuron dan glia.
3. Perpindahan
selular dari germinal subependernal ke korteks.
4. Deferensiasi
selular menjadi neuron spesifik.
5. Perkembangan
akson daan dendrite yang menyebabkan bertambahnya sinaps .
6. Elimenisi
selektif neuron, sinaps, dan sebagainya untuk spesifikasi.
B.
Proses
Bahasa di Otak
Menurut Sastra
(2011:64), berbahasa adalah proses yang ditampilkan manusia dalam kemampuan dan
perilakunya berpikir, bercakap-cakap, bersuara dan mengungkapkan segala
sesuatunya dengan suara. Apabila proses ini berjalan dengan baik, maka
seseorang dapat menggunakan isyarat komunikasi. Proses berbahasa produktif dan proses berbahasa reseptif dapat
dianalisis dengan pendekatan perilaku (behaviorisme) dan pendekatan kognitif.
Dalam kaitannya dengan psikolinguistik, maka proses reseptiflah yang banyak
disorot dan dibicarakan oleh pakar psikolinguistik, seperti yang terdapat pada
pemerolehan bahasa atau akuisisi (Parera dalam Sastra, 2011:64).
Pandangan behaviorisme
menyatakan bahwa proses pemerolahan bahasa pertama dikendalikan dari luar si
anak, yaitu oleh ransangan yang diberikan melalui lingkungan. Anak dianggap
sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang
aktif di dalam proses perkembangan
perilaku verbalnya. Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak
menguasai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakkan cirri-ciri
penting dari bahasa di lingkungannya. Perkembangan bahasa dipandang sebagai
suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai kepada
kemampuanyang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S-R.
Pandangan kognitivisme
yang sangat dikenal adalah mengenai “perseteruan” Piaget dengan Chomsky dalam
memandang alam terhadap proses berbahasa anak. Piaget menyatakan bahwa struktur yang kompleks dari bbahasa
bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam, dan bukan pula sesuatu yang
dipelajari dari lingkungan. Selanjutnya Piaget menegaskan sebuah proses yang
berlangsung pada tahap ini, yaitu proses sensory-motory
yang terjadi saat anak lahir sampai berusia 18 bulan. Anak-anak pada proses ini
memahami dunia melalui alat indranya dan gerakk kegiatan yang dilakukannya.
C.
Fungsi
Kebahasaan Otak
Chaer (2009:120)
menjelaskan bahwa kedua hemisfer otak mempunyai peranan yang berbeda bagi
fungsi kortikal. Fungsi bicara bahasa dipusatkan pada hemisfer kiri bagi orang
yang tidak kidal. Hemisfer kiri disebut juga dengan hemisfer dominan bagi
bahasa, dan korteksnya dinamakan korteks bahasa. Hemisfer dominan atau superior
secara morfologis memang agak berbeda dari hemisfer yang tidak dominan atau
inferior. Hemisfer kiri yang terutama mempunyai arti penting bagi bagi
bicara-bahasa, juga berperan untuk fungsi memori yang bersifat verbal.
Sebaliknya, hemisfer kanan penting untuk fungsi emosi, lagu isyarat, baik yang
emosional maupun verbal.
Hemisfer kiri memang
dominan untuk fungsi bicara bahasa, tetapi tanpa aktifitas hemisfer kanan, maka
pembicaraan seseorang akan menjadi monoton,
tak ada prosodi, tak ada lagu kalimat;
tanpa menampakkan adanya emosi, dan tanpa disertai isyarat-isyarat bahasa.
Berikut ini secara jelas fungsi hemisfer kanan dan hemisfer kiri.
Hemisfer Kanan
|
Hemisfer kiri
|
Ideasi bukan bahasa
|
Ideasi Bahasa
|
Kebolehan kontruksi
|
Membaca
|
Proses kegiatan gestalt, pengenalan muka dan
garis-garis gambar yang rumit
|
Menulis
|
Musik dan lagu
|
Mengira
|
Idiom-idiom bahasa automatis
|
Sains
|
|
Teknologi
|
|
Berbahasa
|
|
Berpikir analitis dan rasional
|
Menurut Maksan
(1993:55), “Belahan otak manusia dibagi atas dua bagian. Bagian itu dinamakan
hemisfer kiri dan hemisfer kanan. Tugas-tugas kebahasaan dikoordinasikan oleh
hemisfer kiri. Bagian dari hemisfer kiri pun adalah bagian yang ada kaitan
tugasnya dengan masalah kebahasaan.“ Hemisfer kiri otak memiliki
bagian-bagiannya. Berikut ini bagian-bagian dari hemisfir kiri otak manusia
manusia.
1. Daerah
Broca
2. Daerah
Wernicke
3. Central
Cephalic System
4. Korteks
Superior/ Motor Korteks/ Deretan Orlandic
5. Penggerak
alat ucap
6. Pusat
Pendengaran
7. Pusat
Penglihatan
8. Pusat
Perabaan
Daerah Broca bertugas
dalam mengkoordinasikan masalah pengungkapan atau ekspresi bahasa. Semua hal
yang akan diekspresikan dalam bentuk bahasa terlebih dahulu harus melalui
daerah Broca. Sebaliknya, daerah Wernicke bertugas dalam mengkoordinasikan
hal-hal yang masuk melalui bahasa. Atau dengan kata lain, pemahaman bahasa
koordinasikan oleh daerah Wernicke. Pemahaman hal-hal yang didengar dan hal-hal
yang tertulis semuanya harus melalui daerah Wernicke terlebih dahulu.
Sistem Pusat Otak
(Central Cephalic System) merupakan bagian otak yang mempunyai fungsi sentral
atau pusat. Ia mempunyai fungsi untuk mengontrol atau mengkoordinasikan daerah
Broca, daerah Wernicke dan Korteks Superior serta Penggerak Alat Ucap.
Penggerak Alat Ucap berfungsi dalam mengkoordinasikan alat ucap muali dari pita
suara, rongga mulut dan hidung, serta semua alat ucap manusia yang berada di
rongga mulut. Penggerak alat ucap ini, di samping dinkontrol oleh Pusat Sistem
Otak juga ikut dikontrol oleh Motor Korteks atau Korteks Superior.
D.
Teori
Lateralisasi
Chaer (2009:124)
menjelaskan bahwa dari teori Broca dan Wernicke sebenarnya sudah dapat ditarik
suatu kesimpulan yang menyatakan adanya spesialisasi atau semacam pembagian kerja
pada daerah-daerah otak serebrum manusia. Satu teori yang dapat ditarik secara
jelas adalah belahan korteks dominan (hemisfer kiri) bertanggung jawab untuk
mengatur penyimpanan pemahaman dan produksi bahasa alamiah. Dalam studi
neurolinguistik disebut lateralisasi.
Banyak pakar psikologi
yang meragukan teori laterasi, bahwa pusat-pusat bahasa dan ucapan berada pada
hemisfer kiri. Mereka berpendapat bahwa seluruh otak bertanggungjawab dan
terlibat dalam proses pemahaman dan produksi bahasa (Simanjuntak, dalam Chaer,
2009:124). Bukti-bukti eksperimental yang dilakukan terhadap otak yang normal,
kebenaran teori lateralisasi bisa dipertimbangkan. Chaer (2009, 125–128)
menjelaskan beberapa eksperimen yang pernah dilakukan untuk menyokong
teori lateralisasi, yaitu sebagai berikut.
1.
Tes
Menyimak Rangkap (Dichotic Listening)
Tes ini pertama kali
diperkenalkan oleh Broadbent (1954). Tes ini didasarkan pada teori bahwa
hemisfer kiri menguasai kerja anggota tubuh sebelah kanan, dan hemisfer kanan
mengusai kerja anggota tubuh sebelah kiri. Tes menyimak rangkap ini dilakukan
oleh Kimura (1964) untuk menyelidiki bunyi-bunyi yang bukan ujaran bahasa,
seperti pola-pola melodi (lagu), dan sebagainya. Ternyata pola-pola lagu, bukan
ujaran bahasa ini, diproses di hemisfer kanan, karena telinga kiri lebih tepat
dari pada telinga kanan.
Ling juga melakukan tes
yang sama terhadap sejumlah anak-anak yang pekak dan anak yang normal. Hasilnya
juga sama, yakni lateralisasi (dominasi
serebrum) terdapat pada hemisfer kiri.
2.
Tes
Stimulus Elektris (Electrical Stimulation
of Brain)
Tes stimulus elektris
ini memusatkan bahasa pada otak yang distimuluskan dengan aliran listrik
melalui talamus lateral kiri (talamus = satu struktur jaringan jauh di dalam
otak) sehingga menimbulkan anomia, di mana subjek yang diteliti tidak dapat
menyebutkan nama benda yang ada di depannya, meskipun dia masih lancar
bercakap-cakap. Tes stimulus elektris ini membuktikan bahwa lateralisasi
hemisfer kiri untuk bahasa telah merupakan satu kenyataan yang tidak dapat
dibantah. Tes stimulus elektris pertama kali dilakukan oleh Penfield dan
Rasmussen (1951), lalu oleh Penfield dan Robert (1959). Tes stimulus elektris dilakukan
oleh Ojemann dan ward.
3.
Tes
Grafik Kegiatan Elektris (Electris-Encephalo-Graphy)
Tes ini dilakukan untuk
mengetahui adakah aliran listrik pada otak apabila seseorang sedang
bercakap-cakap dan pada bagian manakah yang giat mendapatkan aliran listrik
ini. Tes ini pertama kali diperkenalkan oleh Schafer (1967) dan yang pertama
kali menggunakan adalah Whitaker (1971). Namun, yang pertama kali yang
melaporkan telah merekam grafik kegiatan elektris itu adalah Mc. Adam dan
Whitaker. Keduanya mencatat bahwa kegiatan elektris itu terdapat pada hemisfer
kiri dan lokasinya terdapat pada medan Broca, yang mereka sebut sebagai daerah
frontal inferior hemisfer kiri otak. Grafik kegiatan elektris seperti ini tidak
terdapat pada hemisfer kanan. Tes grafik kegiatan elektris ini telah
membuktikan bahwa lateralisasi untuk bahasa adalah pada hemisfer kiri,
sedangkan hemisfer kanan fungsi-fungsi lain yang bukan bahasa.
4.
Tes
Wada (Tes Amysa)
Tes wada ini pertama
kali diperkenalkan oleh pakar Jepang bernama J. Wada. Dalam tes ini obat sodium amysal
diinjeksikan ke dalam sistem peredaran salah satu belahan otak. Belahan otak
yang mendapatkan obat ini menjadi lumpuh untuk sementara. Jika hemisfer kanan
dilumpuhkan dengan sodium amysal ini maka anggota-anggota badan sebelah kiri
tidak berfungsi sama sekali. Namun, fungsi bahasa tidak terganggu sama sekali,
dan orang yang diteliti ini dapat bercakap-cakap dengan normal seperti biasa. Apabila
hemisfer kiri yang diberi sodium amysal maka anggota kanan sebelah kanan
menjadi lumpuh termasuk fungsi bahasa. Jadi, tes ini membuktikan bahwa pusat
bahasa berada pada hemisfer kiri.
5.
Teknik
Fisiologi Langsung (Direc Physiological
Technique)
Teknik ini telah
dilakukan oleh Cohn (1971) untuk memperkuat hasil-hasil yang dilakuakn dengan
teknik psiko-psiologi, yaitu teknik atau tes menyimak rangkap seperti yang
telah diterangkan pada bagian pertama. Teknik psiologi ini merekam secara
langsung getaran-getaran elektris pada otak dengan cara tes grafik kegiatan
elektris.
6.
Teknik
Belah Dua Otak (Bisected Brain Technique)
Pada teknik ini kedua
hemisfer sengaja dipisahkan dengan memotong korpus kalosum (organ yang
menghubungkan kedua hemisfer kiri dan kanan), sehingga kedua hemisfer itu tidak
mempunyai hubungan (Gazzaniga, dalam Chaer, 2009:128). Kemudian pada tangan kiri pasien (orang yang
diteliti) yang matanya ditutup dengan kain, diletakkan sebuah benda misalnya
anak kunci. Ternyata subjek mengenal benda itu dengan melakukan gerak membuka
pintu dengan menggunakan anak kunci itu; tetapi dia tidak dapat menyebutkan
nama benda itu. hal itu terjadi karena penyebutan nama benda dilandasi oleh
hemisfer kiri, sedangkan tangan kiri yang memegang benda itu dilandasi dengan
hemisfer kanan. Dengan kata lain, hemisfer kiri tidak mengetahui apa yang
dikerjakan hemisfer kanan karena hubungan keduanya telah diputuskan. Jadi,
dengan pemutusan korpus kalosum itu, pasien tidak lagi mempunyai satu akal (mind) melainkan mempunyai dua akal.
E.
Teori
Lokalisasi
Teori lokalisasi atau lazi disebut dengan
pandangan lokalisasi berpendapat bahwa pusat-pusat bahasa dan ucapan berda di
daerah Broca dan daerah Wernicke seperti sudah disebut sebelumnya. Selain
laporan medis Paul Broca dan Charl Wernicke yang menyatakan bahwa pusat bahasa
terdapat pada hemisfer kiri, ada satu lagi laporan medis dari Geschwind (1968)
yang menyatakan bukti yang sama. Chaer (2009:129 –131) menjelaskan bahwa ada
beberapa cara lain untuk menunjukkan teori lokalisasi, yaitu sebagai berikut.
1.
Teknik
Stimulus Elektrik
Teknik ini dilakukan
dengan cara menstimulasi bagian-bagian tertentu permukan korteks dengan aliran
listrik seperti yang dilakukan oleh dua ahli bedah saraf, Penfield dan Robert
pada waktu proses pengobatan bedah saraf pasien-pasien otak. Semua bagain
permukaan korteks hemisfer kiri secara bergiliran telah mereka stimulasi dengan
aliran listrik. Mereka menemukan hanya pada tiga bagian saja yang terdapat
kelainan-kelainan yang merusak bahasa. Ketiga tempat itu adalah berikut ini.
a. Bagian
depan girus tengah sebelah bawah lobus depan kiri, yaitu bagian yang sekarang
dikenal dengan daerah (medan) Broca.
b. Bagian
atau medan temporo-parietal posteriol, yaitu yang sekarang dikenal dengan
daerah Wernicke.
c. Medan
motor suplementer yang terdapat pada permukaan tengah belahan korteks sebelah
kiri, yang dikenal sebagai korteks motor.
2.
Teknik
Perbedaan Anatomi Otak
Geschwind dan Levistsky
telah menganalisis secara terperinci 100 otak manusia normal setelah mereka
meninggal. Keduanya menemukan planun temporale yaitu daerah di belakang girus
Heschl jauh lebih besar dari hemisfer kiri. Bahkan perbedaan ini dapat dilihat
langsung dengan mata.
Penemuan ini diperkuan
dengan penemuan Wada (1969) setelah melakukan analisis posmortem (setelah
meninggal pada otak bayi-bayi, yang membuktikan bahwa ketidaksimetrisan
oatak-otak ini telah terdapat sejak lahir dan tidak ketidaksimetrisan ini
sebagai akibat dari adanya pusat-pusat tertentu pada hemisfer kiri yang khusus
mengatur bahasa.
3.
Cara
Melihat Otak dengan PET (Positron
Emission Tomography)
Cara lain untuk
membuktikan teori lateralisasi dan lokalisasi adalah dengan cara melihat otak
secara langsung dengan menggunakan dengan menggunakan alat yang disebut dengan
PET. Dengan PET ini kita melihat bagian-bagian otak, terutama bagian-bagian
korteks, pada waktu bagian-bagian itu sedang berfungsi. Caranya, setengah jam
sebelum kepala pasien dimasukkan ke dalam PET, cairan glukosa beradio aktif
diinjeksikan ke lengannya. Jika sutu bagian otak bekerja aktif, dia memerlukan
glukosa yang banyak. Maka dengan pertolongan glukosa ini proses-proses
pemikiran dalam otak yang bekrja dan memerlukan glukosa akan tampak bersinar,
bewarna merah, dan bergerak-gerak.
F.
Hamisfer yang Dominan
Menurut Yule (dalam Chaer, 2009:131) fungsi bagian tertentu pada satu
daerah otak yang mengalami kerusakan akan digantikan oleh penggantinya di
bagian otak lain. oleh karena itu, sangat diperukan kecermatan untuk menyatakan
hubungan-hubungan antara aspek-aspek perilaku linguistik dan letaknya dalam
otak. Sedangkan Whitaker (dalam Chaer, 2009:131) menyatakan kandungan dalam
otak yang menyususn perilaku manusia melibatkan keterkaitan beberapa wilayah
otak. Dalam hal ini produksi ujaran itu bukanlah sekedar masalah pengurutan
kegiatan saraf. Saluran suara tidak hanya diperankan oleh bagian otak yang
disebut dengan speech, melainkan juga
melibatkan susunan fonologi, program pengucapan, masukan yang terlihat dan
terdengar mengenai konsep ujaran itu, susunan sintaksis ujaran, dan parameter
lainnya yang melibatkan beberapa bagian otak. Selain itu ada juga bagian yang
mampu melibatkan lebih dari satu fungsi.
Krashen (dalam Chaer, 2009:131) berpendapat bahwa meskipun terdapat
keunggulan [ada hamisfer kiri, tetapi tidak semua aspek bahasa dibatasi pada
hamisfer kiri itu. Krashen lebih jauh mengatakan bahwa cara kerja hamisfer
tertentu pada setiap orang dapat bervariasi dalam dua hal berikut. Pertama, sebagian
orang kurang mendapat leteralisasi daripada sebagian orang yang lain.
maksudnya, untuk orang-orang tertentu kemampuan berbahasa dikendalikan oleh
hamisfer kiri dan orang-orang tertentu lain oleh hamisfer kanan. Kedua, sebagian
orang lebih cenderung pada penggunaan salah satu hamisfer, kiri atau kanan,
secara lebih siap untuk fungsi kognitif.
Adanya kerja sama di antara bagian otak ditunjukkan oleh cara otak
mengubah kata menjadi bahasa. Sebuah teori menyatakan bahwa otak mempunyai
daerah konvergensi bahasa. Teori mengenai daerah konvergensi bahasa itu antaea
lain mengatakan berikut ini.
1.
Setiap
orang memiliki pola otak yang unik yang mendasari kemampuan berbahasa yang
dimilikinya. Hal ini dibuktikan dengan hasil temuan bahwa ternyata wanita
memiliki pola otak yang membuat IQ verbalnya lebih besar dibandingkan pria.
2.
Bahasa
pertama (bahasa ibu) seseorang berkaitan erat dengan jaringan sel saraf,
sedangkan bahasa kedua berkaitan dengan otak. Ini dibuktikan dari hasil
penelitian terhadap orang terserang stroke yang dwibahasawan. Stroke yang
menyerang salah satu bagian otak dapat membuat
hilangnya kemampuan berbahasa pertama, sedangkan bahasa kedua (yang sedang
dipelajari) masih melekat atau dpat juga sebaliknya yang hilang bahasa kedua,
sedangkan bahasa pertama masih ada.
3.
Aspek-aspek
lain dari kemampuan berbahasa seperti nomina dan verba ternyata diproses pada
bagian otak yang berbeda.
Damasio (dalam Chaer, 2009: 132) mengatakan otak memang mempunyai
lokasi khusus untuk memproses bahasa, tetapi lokasi itu tidak merupakan organ
bahasa yang mandiri dengan kotak-kotak tempat memproses bahasa. Ada lokasi yang
penting dalam pemrosesan bahasa yang dikenal dengan wilayah konvergensi. Dalam
wilayah itu tersimpan kunci untuk memadukan komponen-komponen kata dan objek
yang sudah tersebar luas dalam otak.
G.
Otak Wanita
1.
Otak Wanita Lebih Seimbang
Gur (dalam Chaer, 2009:133—134) psikiater dari Universitas California
mengatakan bahwa memang tidak ada seorang ahli pun bisa menyodorkan kesimpulan
apa arti perbedaan fisik otak pria dan wanita (dalam ukuran, struktur, dan
kepekaan) itu. Namun, yang jelas meskipun otak pria dan wanita melakukan
pekerjaan yang sama, tetapi cara kerja keduanya berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lepas dari soal ukuran, daerah
tertentu otak wanita lebih kaya akan neuron dibandingkan otak pria. Perlu
dicatat semakin banyak jumlah neuron di suatu daerah, semakin kuat fungsi otak
di sana. Selain itu, jika kanak-kanak perempuan lebih cepat pandai bicara,
membaca, dan jarang mengalami gangguan belajar dibandingkan kanak-kanak
laki-laki, para ahli memperkrakan ada kaitannya dengan kemampuan wanita
menggunakan kedua belah hemisfernya (kiri dan kanak) ketika membaca atau
melakukan kegiatan verbal lainnya. Sedangkan pria hanya menggunakan salah satu
hemisfernya (biasanya sebelah kiri) (Chaer, 2009:134).
Chaer (2009:134) berpendapat bahwa penggunaan otak kiri dan kanan
secara serentak membuat wanita dewasa lebih lincah dalam soal verbal
dibandingkan dengan pria. Di dalam tes terbukti dalam waktu yang sama wanita
dapat menyebut lebih banyak dari suatu huruf serta jauh lebih cepat dalam
mengingat huruf-huruf dibandingkan pria. Begitu juga, bila wanita terserang
stroke atau cedera otak maka kemampuan bahasanya tidak terlalu terganggu,
kalaupun terganggu akan lebih cepat pulih dibandingkan pria.
George (dalam Chaer, 2009:134) mengatakan apapun yang dilakukan wanita
bagian otaknya yang bekerja selalu lebih luas dibandingkan dengan pria. Hal ini
dikarenakan serat-serat yang menyumbat antardaerah di otak wanita lebih tebal
dibandingkan pada pria. Dengan keadaan seperti ini para peneliti menyimpulkan
bahwa wanita memiliki kemampuan memadukan banyak aspek kognitif dalam berpikir.
Bukan hanya rasio, tetapi emosi dan instingnya juga terlibat. Ada yang
mengatakan kemampuan ini sebagai intelegensi emosional, atau juga intuisi
wanita, meskipun kesimpulan ini masih kontroversial.
Chaer (2009:135) menyatakan kemampuan intuitif ini sepintas tampaknya
membuat wanita tidak tegas dalam membuat keputusan. Namun sebenarnya dia lebih
peka dan bisa melihat hal-hal yang tidak tampak oleh pria. Jadi, dengan adanya
kerja sama emosi, rasio, dan intuisi menyebabkan wanita tidak melihat segala
sesuatu secara apa adanya seperti yang dilakukan pria.
2.
Otak Wanita Lebih Tajam
Crook (dalam Chaer, 2009:135) berpendapat ingatan pria kurang tajam
bila dibandingkan dengan ingatan wanita. Setelah meneliti dan mengetes lebih
dari 50.000 wanita dari berbagai negara bagian Amerika Serikat, Crook menemukan
bukti bahwa wanita lebih banyak mengingat detail, asosiasi, dan pengalaman
pribadinya dibandingkan pria. Daya ingat wanita akan kosakata dan nama jenis
jauh lebih awet dibandingkan pria karena otak wanit mempunyai cara unik dalam
menyimpan informasi ke dalam bank memorinya, yakni dengan cara menyangkutkannya
pada daerah emosi. Menurut Crook, wanita ebih banyak menggunakan hemisfer
kanannya (yang memproses emosi), maka mengaitkan data ke wilayah memori itu
sudah dilakukannya secara otomatis.
Ketajaman otak wanita bukan hanya pada inderanya, tetapi juga pada
perasaannya. Hal ini terbukti ketika diminta mengenang pengalaman emosionalnya
dengan bantuan MRI, tampak wanita lebih responsif daripada pria.hal ini
terdeteksi pada perbedaan gian menyala yang lebih luas pada daerah neuron yang
mengaktifkan perasaan melankolis itu. Ini juga menjadi bukti bahwa mengapa
wanita lebih banyak menderita depresi daripada pria (Chaer, 2009:135).
3.
Lebih Awet dan Selektif
Di dalam jurnal kedokteran Archieves
of Neorolpgy terbitan tahun 1998 diungkapkan temuan bahwa otak pria
mengerut lebih cepat daripada otak wanita. Menurut Ruben Gur, yang meneliti sendiri
cara kerja otak pria dan wanita dari berbagai usia, jaringan otak pria menyusut
tiga kali lebih cepat daripada otak wanita. Ketika sama-sama muda memang ota
pria lebih besar daripada otak wanita, tetapi ketika keduanya mencapai usia
empat puluh tahun, otak pria menyusut sehingga besarnya sama dengan otak
wanita.
Ruben (dalam Chaer, 2009: 136—137) berpendapat wanita meskipun juga
mengalami penyusutan jaringan secara menyeluruh ketika bertambah tua tubuhnya
punya kecendrungan untuk menghemat apa yang ada, termasuk otaknya. Ini pula
menurut aruben yang membuat harapan hidup wanita rata-rata lebih panjang
daripada pria. Dalam keadaan aktif pria cenderung ke arah agresi dan gerak
fisik, sedangkan bila sedang aktif wanita lebih ke arah yang lebih beradab yaitu
bergerak dan berbicara. Maka tidak usah heran bila dalam keadaan ekstrem,
misalnya marah, pria lebih suka berkelahi daripada bertengkar. Sebaliknya,
wanita lebih siap betengkar dengan kata-kata.
H.
Peningkatan
Kemampuan Otak : Membaca dengan Kedua Belah Otak
Chaer (2009: 137 – 139)
mengemukakan teori teori lateralisasi dan lokalisasi berpendapat bahwa
wilayah-wilayah tertentu di dalam otak memiliki fungsi-fungsi tertentu, seperti
idiasi bahasa berada pada hemisfer kiri dan kemampuan berbicara ada pada daerah
Broca sedangkan kemampuan memahami ada pada daerah Wernicke. Kesimpulan yang
diajukan telah dibuktikan berdasarkan hasil penelitian terhadap pasien-pasien
yang mengalami kerusakan otak; juga hasil penelitian terhadapa sejumlah orang
yang tidak mengalami kerusakan otak. Namun, hasil penelitian lebih jauh
menunjukkan bahwa teori lokalisasi itu mulai goyah kedudukannya karena
kerusakan pada satu daerah fungi otak tertentu dapat digantikan oleh daerah
lain. Ini berarti bahwa teori lokalisasi itu tidak 100% benar. Lalu, dalam
psikologi bahwa kecerdasan adalah kemampuan bawaan; artinya, kecerdasan itu
sudah terpatri pada otak sejak kanak-kanak itu lahir.
Orang dewasa rata-rata
dapat membaca 250 kata per menit namun, setelah 36 jam daya ingat yang tersisa
dari yang dibaca itu yang tertinggal 10%. Jadi, orang yang membaca selama 1 jam
hanya menguasai bahan yang dibaca selama 6 menit. Diane Alexander seorang ahli
saraf di Amerika Serikat adalah yang pertama kali memperkenalkan metode ini.
Selama tahun 1980-an dia telah melakukan penelitian pada sejumlah anak yang
mengalami geger otak pada daerah California,AS. Dia menemukan anak-anak yang
mengalami luka pada otak kiri mengalami kesulitan berbicara. Maka dia mencaba
melakukan uji coba untuk mengganti fungsi verbal otak sebelah kanan. Hasilnya,
anak-anak tersebut dapat berbicara kembali. Beberapa anak-anak malah dapat
membaca kecepatan luar biasa dengan menggunakan otak sebelah kanan.
Menurur Diane
Alexander, lambannya kecepatan-kecepatan membaca dan minimya daya ingat
seseorang terhadap yang dibacanya adalah karena tidak terfokusnya mata pada apa
yang dibaca. Seringkali ketika menghadapi sebuah halaman buku mata lari
kederetan kata di seluruh halaman dan bukan pada suatu deret kalimat yang
dibaca. Sedangkan membaca secara zigzag atau melafalkan kata di dalam hati pada
saat bersamaan juga merupakan faktor penyebab memperlambat waktu baca. Olah
karena itu, menurut Diane Alexander langkah pertama untuk mengubah kebiasaan
itu adalah membaca dengan runtut dari samping kiri ke samping kanan halaman,
dengan bantuan jari tangan untuk mengikuti baris demi baris kalimat tersebut.
Mata harus dibiasakan untuk mengikuti rute ini secara tertib. Metode ini boleh
dikatakan sepenuhnya bergantung pada koordinasi mata, jari, dan otak.
Berdasarkan penelitian
yang dikerjakan oleh Diane Alexander dan kawan-kawannya dapat disimpulkan bahwa
teori lokalisasi yang menyatakan tiap wilayah otak memiliki fungsi-fungsi
tertentu tidak 100% persen benar sebab ternyata hemisfer kanan pun dapat dilatih
untuk tugas-tugas kebahasaan.
I.
Pemberbahasaan Hewan
Manusia dapat berbahasa karena memiliki
bagian-bagian khusus yang bersifat manusiawi, sedangkan hewan tidak (Chaer,
2009:139). Namun, dalam kehidupan sehari-hari terdapat hewan-hewan tertentu
seperti anjing, burung beo, kuda, dan gajah yang bisa melakukan perintah
manusia atau meniru bahasa manusia. Hal itu menandakan seolah-olah hewan-hewan
tersebut mengerti atau bahkan bisa berbahasa.
Terkait dengan hewan yang seolah-olah dapat
berbahasa tersebut dirasa perlu untuk diperhatikan bahwa mengerti bahasa,
meniru bahasa, dan dapat berbahasa adalah tiga hal yang berbeda. Anjing, kuda,
dan gajah hanya dapat mengerti bahasa yang diucapkan pawangnya, tetapi tidak
dapat berbahasa seperti manusia. Burung beo hanya dapat meniru bahasa yang
pernah didengarnya. Pada dasarnya, memang hanya manusia yang dapat berbahasa,
yakni mengungkapkan ide atau gagasan melalui sistem lambang bunyi yang arbitrer
dan mimiliki makna.
Meskipun demikian, ada pakar yang mencoba
mengajarkan bahasa manusia kepada hewan yakni simpase. Terkait pengajaran
berbahasa pada hewan yang dilakukan para pakar tersebut akan diuraikan satu per
satu sebagai berikut (Chaer, 2009:140).
1.
Keith J. Hayes dan Catherine Hayes
Keith dan Catherine adalah sepasang suami istri
yang memelihara simpase betina selama enam tahun. Mereka mengajarkan simpase
betina mengucapkan kata mama, papa, up, dan
cup sambil merawatnya di rumah.
Setelah pengajaran dan pelatihan berlangsung selama enam tahun, ternyata
simpase betina itu hanya dapat mengucapkan kata-kata mama, papa, up, dan cup apabila
Keith dan Catherine mengucapkannya dan memberi hadiah kepada simpase.
Berdasarkan hal itu, disimpulkan bahwa hewan memang tidak dapat berbahasa.
2.
R. Allen Gardner dan Beatrice T.
Gardner
Sebelumnya telah disebutkan bahwa Keith dan
Catherine mengajarkan simpase betina berbahasa dengan menggunakan suara. Namun,
dengan simpase betina yang berbeda Allen dan Beatrice mengajarkan simpase
berbahasa dengan menggunakan bahasa isyarat atau gerakan tubuh. Hasilnya,
simpase betina yang diasuh Allen dan Beatrice memang dapat berbahasa isyarat
setelah dilatih selama tiga setengah tahun, yakni mampu mengungkapkan 132 buah
kata. Namun, kata-kata yang dapat diisyaratkan simpase itu tampaknya tiruan
dari pelatihnya.
3.
David Premack dan Ann Premack
Seperti halnya pasangan suami istri yang
sebelumnya, David dan Ann juga mengajarkan simpase berbahasa. Namun, kali ini
pasangan ini menggunakan media berupa lempengan plastik. Hasilnya, simpase yang
dirawat pasangan ini memang dapat berbahasa (dalam hal ini meminta sesuatu).
Tetapi kemungkinanannya, simpase itu hanya menebak-nebak dan menukar-nukar
lempengan plastik untuk mendapatkan sesuatu.
Berdasarkan beberapa pelatihan yang dilkukan
pasangan suami istri terhadap simpase, disimpulkan bahwa hewan memang tidak
dapat berbahasa. Hewan hanya dapat mengerti dan meniru bahasa. Menurut Chaer
(2009:144), hal yang menyebabkan hewan tidak dapat berbahasa adalah kondrat
otak hewan yang memang memiliki berat dan fungsi yang berbeda dengan manusia.
Terlebih lagi sudah disebutkan para ahli bahwa sejak lahir manusia telah
memiliki LAD dalam otaknya yang khusus menangani permasalahan bahasa, sedangkan
hewan tidak memilikinya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik
Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik.
Padang: IKIP Padang Press.
Sastra, Gusri. 2011. Neurolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: Alfabeta.
Komentar
Posting Komentar