HUBUNGAN BAHASA DAN KEBUDAYAAN

 

HUBUNGAN BAHASA DAN KEBUDAYAAN

A.    HAKIKAT KONTAK BAHASA

Menurut Nababan (1993: 46) bahasa dapat dikaji dari dua aspek, yaitu: hakekatnya dan fungsinya. Hakekat bahasa dikaji dan diperikan oleh ahli-ahli linguistik. Secara garis besar, bahasa ialah suatu sistem perisyaratan (semiotik) yang terdiri dari unsur-unsur itu. aspek kedua dari pengkajian bahasa ialah fungsinya. Fungsi bahasa yang paling mendasar ialah untuk komunikasi, yaitu alat pergaulan dan perhubungan sesama manusia. Komunikasilah yang memungkinkan terjadinya suatu sistem sosial atau masyarakat , atau seperti yang dikatakan Lindgren (dalam Nababan, 1993: 48) “komunikasi ialah perekat ... yang mengikat orang-orang dalam sisitem-sistem kemasyarakatan”. Tanpa komunikasi tidak ada masyarakat; masyarakat (atau sistem sosial) manusia didasarkan atas, dan bergantung pada, komunikasi kebahasaan; tanpa bahasa tidak ada sistem kemasyarakatan manusia, dan akan lenyaplah kemanusiaan.
Alwasilah (1993: 70) mengatakan bahwa bahasa sebagai suatu sistem simbol untuk berkomunikasi akan benar-benar berfungsi apabila pikiran, gagasan, konsep yang diacu atau diungkapkan lewat kesatuan dan hubungan yang bervariasi dari sitem simbol itu dimiliki bersama oleh penutur dan penanggap tutur. Bahasa itu sendiri sebagai sistem yang kita warisi atau peroleh dari kebudayaan/ masyarakat tempat kita tumbuh.

B.     HAKIKAT KEBUDAYAAN
Adapun penjelasan hakikat kebudayaan yang disampaikan oleh Chair sebagai berikut.
1.      Hakikat Kebudayaan
Kroeber dan Kluckhon (dalam Chair, 1995: 214) telah mengumpulkan berpuluh-puluh definisi mengenai kebudayaan dan mengelompokkannya menjadi enam golongan menurut sifat definisi itu, yakni (1) definisi yang deskriptif, yakni definisi yang menekankan  pada unsur-unsur kebudayaan; (2) definisi yang historis, yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan; (3) definisi normatif, yakni definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku; (4) definisi yang psikologis, yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan, dan belajar hidup; (5) definisi yang struktural, yakni definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan teratur; (6) definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasilk karya manusia.
Selain Kroeber dan Kluckhon, Nababan (dalam Chaer, 1995: 214-215) juga menunjukkan bahwa kebudayaan itu melingkupi segala aspek dan unsur kehidupan manusia. Nababan mengelompokkan definisi kebudayaan atas empat golongan,yaitu (1) definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat; (2)  definisi yang  melihat kebuayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar dan pendidikan (nurture); (3) definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia; dan (4) definis yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia. Selain pengelompokkan definisi di atas, Nababan (dalam Chaer, 1995: 216) secara gamblang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan silestarikan.
Menurut Koentjaraningrat (dalam Chaer, 1995: 16-217) yang mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia, dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Untuk memahaminya Koentjaraningrat menggunakan sesuat yang disebutkan “kerangka kebudayaan”, yang memiliki dua aspek tolak yaitu (1) wujud kebudayaan dan (2) isi kebudayaan. Yang disebut wujud kebudayaan itu berupa (a) wujud gagasan, (b) perilaku, dan (c) fisik atau benda. Ketiga wujud  itu secara berurutan disebutnya juga (a) sistem budaya, yang bersifat abstrak; (b) sistem sosial, yang bersifat agak konkret; dan (c) kebudayaan fisik, yang bersifat sangat konkret.  Sedangkan isi kebudayaan itu terdiri dari tujuh unsur yang bersifat universal, artinya ketujuh unsur itu terdapat dalam setiap masyarakat manusia yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur itu adalah (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencaharian hidupatau ekonomi, (4) organisasi sosial,(5) sistem pengethuan,(6) sistem religi, dan (7) kesenian.
Nababan (1993: 49) menjelaskan bahwa semua sisitem semiotik atau komunikasi disebut kebudayaan, yaitu keseluruhan sistem komunikasi yang mengikat dan memungkinkan bekerjanya suatu himpunan manusia yang disebut masyarakat. Dengan demikian dapat didefinisikan kebudayaan sebagai “sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan”. Kebudayaan itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia; dan adalah makna-makna kebudayaan ini yang menusia sampaikan satu sama lin dalam hidup masyarakat.
    
C.     HUBUNGAN BAHASA DAN KEBUDAYAAN
Menurut Chaer (1995: 213) ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat eat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada  yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, seingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan, dan cara berpikir manusia atau masyarkat peuturnya.
Koentjaraningrat (dalam Chaer, 1995: 217) menjelaskan bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkungan kebudayaan. Jadi hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, yakni bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Sedangkan Masinambouw (dalam Chaer, 1995: 217-218) menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang “melekat” pada manusia. Jika kebudayaan adalah satu sistem yang mengatur interaksi menusia di dalam masyarakat, berarti kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi tersebut. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku sebagai: kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana  keberlangsungan sarana itu.
Menurut Nababan (1993: 50) bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau subsistem, dari sistem kebudayaan – justru bagian yang inti dan terpenting dari kebudayaan. Kebudayaan manusia tidak akan dapat terjadi tanpa bahasa; bahasalah faktor yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan. Jadi, bahasa adalah sine qua non (yang harus ada) bagi kebudayaan dan masyarakat manusia.
Selanjutnya Nababan (1993: 50) menjelaskan hubungan lain dari bahasa dengan kebudayaan ialah bahwa bahasa, sebagai sistem komunikasi, mempunyai makna hanya dalam kebudayaan yang menjadi wadahnya. Hubungan lain antara bahasa dan kebudayaan, yaitu bahwa kunci bagi pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan ialah melalui bahasanya. Semuanya yang dibicarakan dalam suatu bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang kita anggap universal, adalah tentang hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa itu. oleh karena itu, maka perlu mempelajari sesuatu bahasa jika kita ingin mendalami kebudayaan atau masyarakat dari bahasa itu.
Silzer (dalam Chaer, 1995: 218) menjelaskan mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, ada yang mengatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terikat erat, seperti hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lain pada sekeping mata uang logam: sisi yang satu adalah sistem kebahasaan dan sisi yang lain adalah sistem kebudayaan. Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Jadi sejalan dengan konsep Masinambouw hal lain yang menarik dalam hubungan koordinatif adalah adanya hipotesis yang sangat kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Di dalam hipotesisi itu dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia, dan oleh karena itu mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dnajalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya.

Komentar