HUBUNGAN BERBAHASA,
BERPIKIR, DAN BERBUDAYA
A.
Bahasa
dan Berbahasa
1.
Hakikat
Bahasa dan Berbahasa
Menurut Keraf (dalam Maksan, 1994:1), “Bahasa adalah
suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal yang arbitrer
yang dapat diperbuat dengan gerak-gerak badaniah yang nyata.” Sejalan dengan
pendapat tersebut Ronald Wardhaugh (dalam Maksan, 1994: 2) menjelaskan bahwa
bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan dalam
komunikasi manusia.
Setiap
anggota masyarakat berinteraksi dengan anggota masyarakat yang lain dengan cara
berbahasa. Chaer (2009:51) menjelaskan bahwa berbahasa adalah penyampaian
pikiran atau perasaan dari orang yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi
dalam kehidupan budayanya. Berbahasa dapat disebut sebagai kegiatan menggunakan
bahasa. Berbahasa dapat dilakukan secara lisan maupun tulis. Intinya, berbahasa
adalah penyampaikan gagasan kepada orang lain dengan menggunakan bahasa.
2.
Asal-usul
Bahasa
Menurut
Chaer (2009:31—32 ), ada teori-teori yang telah dikemukakan para pakar mengenai
asal-usul bahasa yaitu sebagai berikut.
a. F.B
Condillac
F.B
Condillac adalah seorang Filsuf bangsa Perancis yang berpendapat bahwa bahasa
itu berasal dari teriakan-teriakan dan gerak-gerik badan yang bersifat naluri
yang dibangkitkan oleh perasaan atau emosi yang kuat. Kemudian
teriakan-teriakan ini berubah berubah menjadi bunyi-bunyi yang bermakna, dan
lama kelamaan semakin panjang dan rumit.
b. Von
Herder
Von
Herder adalah seorang adalah seorang filsuf dari bangsa Jerman yang berpendapat
bahwa bahasa itu terjadi dari proses onomatope, yaitu peniruan bunyi alam.
Bunyi-bunyi alam yang ditiru ini merupakan benih yang tumbuh menjadi bahasa
sebagai akibat dari dorongan hati yang sangat kuat untuk berkomunikasi.
c. Von
Schlegel
Von
Schlegel adalah seorang filsuf bangsa Jerman yang berpendapat bahwa
bahasa-bahasa yang ada di dunia ini tidak mungkin bersumber dari satu bahasa.
Asal-usul bahasa itu sangat berlainan tergantung pada faktor-faktor yang
mengatur tumbuhnya bahasa itu. Ada bahasa yang lahir dari onomatope, ada yang
lahir dari kesadaran manusia, dan sebagainya.
d. Brooks
Menurut
Brooks bahasa itu lahir pada waktu yang sama dengan kelahiran manusia.
Berdasarkan penemuan-penemuan antropologi, arkeologi, biologi, sejarah purba,
manusia, bahasa dan kebudayaan secara bersamaan lahir di bagian tenggara Afrika
kira-kira dua juta tahun yang lalu. menurut hipotesis Brooks, bahasa pada
mulanya berbentuk bunyi-bunyi tetap untuk menggantikan atau sebagai simbol bagi
benda , hal, atau kejadian tetap di sekitar yang dekat dengan bunyi-bunyi itu.
Kemudian bunyi-bunyi itu dipakai bersama oleh orang-orang di tempat itu.
e. Philip
Lieberman
Philip
Lieberman mengemukakan satu teori mengenai asal-usul bahasa. Menurut Philip
Lieberman bahasa lahir secara evolusi sebagai yang dirumuskan oleh Darwin
(1859) dengan teori evolusinya. Semua hukum evolusi Darwin , menurut Philip
Lieberman telah berlaku dan dilalui juga oleh evolusi bahasa.
3.
Fungsi-fungsi
Bahasa
Chaer
(2009:33) menjelaskan bahwa fungsi bahasa adalah sebagai alat interaksi sosial
dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga
perasaan. Menurut Wardhaugh (dalam Chaer, 2009:33), “Fungsi bahasa adalah
sebagai alat komunikasi manusia, baik lisan maupun tulisan. Kedua fungsi di
atas telah mencakup lima fungsi dasar yang menurut Kinneavy disebut fungsi
ekspresi, fungsi informasi, fungsi eksplorasi, fungsi persuasi, dan fungsi
entertaimen.
Pertama,
fungsi ekspresi adalah fungsi yang menyatakan perasaan senang, benci, marah,
jengkel, sedih, dan kecewa. Kedua,fungsi
informasi adalah fungsi untuk menyampaikan pesan atau amanat kepada orang lain.
Ketiga, fungsi eksplorasi adalah
penggunaan bahasa untuk menjelaskan suatu hal, perkara, dan keadaan. Keempat, fungsi persuasi adalah penggunaan
bahasa yang bersifat mempengaruhi atau mengajak orang lain untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu secara baik-baik. Kelima,fungsi
entertaimen adalah penggunaan bahasa dengan maksud menghibur, menyenangkan,
atau memuaskan perasaan batin.
B.
Hubungan
Bahasa dengan Pikiran
Menurut
Maksan (1993:72), pengembangan daya berpikir seseorang tidak tergantung pada
bahasa ataupun secara khusus lagi kepada berbicara. Orang bisu yang sama sekali
tidak dapat menggunakan bahasa atau orang bisu yang tidak pernah berbahasa,
tetap memiliki pikiran.Orang tuli dan bisu tetap memiliki kemampuan untuk
menyampaikan pikirannya itu kepada orang lain. Di samping itu, orang yang
menguasai bahasa lebih dari satu bahasa (dwibahasawan atau multibahasawan)
tidak pernah merasakan bahwa pikiran mereka terpengaruh oleh bahasa yang mereka
kuasai.
Menurut
Steinberg (dalam Maksan, 1993:74), “Dalam hubungan penggunaan bahasa dengan
aspek pikiran, terdapat tiga pokok pikiran yang penting, yaitu: 1) bahasa untuk
memperoleh sesuatu yang baru, 2) bahasa dapat digunakan untuk mengubah tata
nilai, dan 3) bahasa dapat digunakan
untuk membantu daya ingatan.“Mengetahui suatu bahasa mungkin tidak akan
mempengaruhi cara berpikir kita, melainkan mungkin hanya dapat menambah isi
dari pikiran kita. Jadi, mengetahui suatu bahasa atau lebih tidak akan
menyebabkan perubahan atau memberikan pengaruh terhadap pikiran kita, melainkan
hanya sekedar menambah perolahan sesuatu. Bahasa sebenarnya dapat digunakan
untuk membantu daya ingatan seseorang. Dengan bahasa kita dapat mengingat
secara lebih baik, teratur, dan sistematis. Jadi, bahasa membantu kita untuk
dapat mempertajam ingatan kita kepada sesuatu, tetapi bahasa tidak
mengendalikan pemikiran kita.
Maksan
(1993:73) menjelaskan bahwa bahasa menentukan atau mempengaruhi cara kita
melihat alam sekitar. Hal ini berarti bahwa orang yang mempunyai kemampuan
berbahasa yang lebih dari satu, seperti dwibahasawan dan multibahasawan akan
memiliki pandangan yang banyak pula terhadap alam sekitarnya. Kenyataannya
tidaklah demikian. Dwibahasawan atau multibahasawan sekalipun tetap mempunyai
satu macam pandangan terhadap alam atau lingkungannya. Bahasa yang mereka
kuasai tidak memberikan dampak terhadap pandangan mereka.
Chaer (2009:51) mengemukakan teori
dari beberapa ahli mengenai hubungan bahasa dengan pikiran. Teori-teori
tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Teori Wilhelm Von
Humboldt
Humboldt sarjana Jerman abad ke-19,
menenkankan adanya ketergantungann pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya,
pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat
bahasa itu sendiri. Anggota masyarakat tidak dapat menyimpang lagi dari
garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya. Bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran adalan bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar,
sedangkan bentuk-dalam bahasa berada di dalam otak.
2. Teori Edward Sapir
Edward Sapir linguis Amerika
mengatakan bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian “didirikan” di atas
tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah, tidak ada dua buah
bahasa yang sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Benjamin Lee Whorf (dalam Chaer, 2009:52)
menolak pandangan klasik mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan
bahasa dan berpikir merupakan dua hal yang
berdiri sendiri. Pandangan klasik juga mengatakan meskipun setiap bahasa
mempunyai bunyi yang berbeda-beda, tetapi semuanya menyatakan rumusan-rumusan
yang sama didasarkan pada pemikiran dan pengamatan yang sama. Dengan demikian
bahasa itu merupakan cara-cara pernyataan pikiran yang sejajar dan saling
dappat diterjemahkan satu sama lain. Whorf melanjutkan bahwa bahasa menentukan
pikiran seseorang sampai kadang-kadang bisa membahayakan dirinya sendiri.
3. Teori Jean Piaget
Piaget (dalam Chaer, 2009:54)
berpendapat justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak
akan ada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa
bukan sebaliknya. Mengenai hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan intelek
(pikiran) Piaget mengemukakan dua hal penting sebagao berikut.
a. Sumber
kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa, tetapi dalam periode
sensomotorik, yakni satu sistem skema, dikembangkan secara penuh, membuat lebih
dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur golongan-golongan,
hubungan-hubungan benda dan bentuk dasar penyimpanan dan operasi pemakaian
kembali.
b. Pembentukan
pikiran yang tepat dikemukakan dan terbentuk terjadi pada waktu yang bersamaan
dengan pemerolehan bahasa. Keduanya milik suatu proses yang lebih umum, yaitu
konstitusi fungsi lambang pada umumnya.
Piaget
menegaskan bahwa kegiatan intelek (pemikiran) sebenarnya adalah aksi atau
perilaku yang telah dinuranikan dan dalam kegiatan-kegiatan sensomotor termasuk
juga perilaku bahasa. Yang perlu diingat adalah bahwa dalam jangka waktu
sensomotor ini kekekalan benda merupakan pemerolehan umum.
4.
Teori
L.S. Vygotsky
Vygotsky sarjana bangsa Rusia berpendapat adanya tahap
perkembangan bahasa sebelum adanya pikiran, dan adanya satu tahp perkembangan
pikiran sebelum adanya bahasa. Kemudian, kedua garis perkembangan ini saling
bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa berpikir.
Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara
terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikiran berkembang
tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu, pada tahap
berikutnya, keduanya bertemu dann bekerja sama, serta saling mempengaruhi.
Begitulah kanak-kanak berpikir dengan mengunakan bahasa dan berbahasa dengan
menggunakan pikiran.
5.
Teori
Noam Chomsky
Chomsky
mengajukan teori klasik mengenai hubungan bahasa dan pemikiran yang disebut
hipoteisi nurani. Secara tidak langsung membicarakan hubungan bahasa dengan
pemikiran, tetapi dapat ditarik kesimpulan bahwa pengkajian bahasa membukakan
perspektif yang baik dalam pengkajian proses mentak (pemikiran) manusia.
Hipotesis nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-dalam adalah nurani. Artinya,
rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Bahasa dan pemikiran adalah dua buah sistem
yang berasingan, dan mempunyai otonomi masing-masing.
C.
Hubungan
Bahasa dengan Ingatan/Memori
Menurut
Maksan (1993:75) salah satu kemampuan mental yang dimiliki manusia untuk
bermacam-macam tujuan adalah ingatan. Ingatan yang utama merupakan faktor
bawaan ini sangat besar pengaruhnya terhadap proses belajar yang dilakukan oleh
seseorang. Ada pandangan baru yang menyatakan bahwa proses belajar mengajar
merupakan proses penyimpanan informasi. Pemyimpanan informasi merupakan
sebagian dari kegiatan ingatan. Lebih lanjut, Su’udi (dalam Maksan, 1993:75)
menyatakan bahwa dalam struktur ingatan sebenarnya terdapat tiga kegiatan
proses informasi yang masing-masingnya adala proses penyediaan, proses
penyimpangan ingatan itu, dan proses pengingatan kembali.
Penyediaan
adalah proses ditangkapnya sinyal-sinyal oleh panca indera kita. Penyediaan
penglihatan merupakan ditangkapnya sinyal-sinyal suatu benda oleh mata. Sinyal
itu ditafsirkan oleh mata ke dalam sandi-sandi yang akhirnya mata menyimpulkan
bahwa benda yang dilihat itu adalah seeokor anjung atau seeokor bayi atau
mungkin juga sebuah papan pengumuman, dan lain-lain. penyandian lain dilakukan
oleh telinga. Telinga manusia menangkap sinyal-sinyal yang berupa getaran
benda-benda, getaran itu ditafsirkan oleh telinga sebagai getaran dari suara. Di samping ada materi informasi yang masuk
melalui panca indera yang lain, yaitu melalui indera penciuman, perabaan, dan
rasa (Su’udi dalam Maksan, 1993:75)
Sinyal-sinyal
yang masuk melalui panca indera, maka akan diproses oleh pusat penglihatan
untuk benda yang dilihat, dan akan diproses oleh pusat pendenganran untuk
sesuatu yang didengar. Untuk materi rabaan snyal tersebut diproses oleh pusat
perabaan. Hasil proses pusat penglihatan atau pusat pedengaran dan pusat
perabaan itu barulah bersifat untuk mengetahui sinyal apa yang masuk. Begitu
juga dengan tugas pusat pendenganran dan pusat perabaan. Tugasnya semata-mata
mengubah sandi dari sinyal-sinyal apa yang masuk. Materi informasi yang
disandikan oleh alat-alat panca indera tidak bertahan lama. Apabila tidak mendapat
pengertian dan tidak diperlakukan secara lebih khusus maka ingatan ini akan
hilang dalam waktu yang cepat (Su’udi dalam Maksan, 1993:75—76).
Ada tiga
faktor yang mempengaruhi daya simpan seseorang. Su’udi (dalam Maksan,
1993:77—780) mengemukakan tiga faktor itu adalah pribadi seseorang, jenis
informasi, dan tingkat pembelajaran. Pertama,
faktor pribadi adalah faktor yang bersifat indiviual yang dibawa sejak
lahir. Setiap orang mempunyai kemampuan mengingat dalam kadar yang tidak sama.
Ada yang mempunyai daya ingat yang tajam dan sekali saja ia melihat atau
mendengar sesuatu maka ia tidak pernah lupa lagi. Ada pula orang yang mudah
mengingat informasi ikonik saja, sedangkan dalam hal informsi ekhoik ia sering
lupa, begitu juga ada orang yang sering lupa dengan apa yang dilihatnya, namun
ingatan sangat setia terhadap hal-hal yang pernah didengarkannya. Kedua, adalah jenis informasi itu
sendiri. Ada informasi verbal dan ada pula informasi nonverbal. Informasi
nnverbal adalah informasi yang tidak dapat divisualisasikna dengan kata-kata,
sepeti suara jangkrik di tengah malam. Sedangkan informasi verbal adalah segala
jenis informasi yang dpat disampaikan dengan menggunakan bahasa (lisan dan
tulis). Informasi ini terbagi atas dua yaitu yang bermakna dan yang tidak bermakna.
Informasi verbal yang bermakna adalah seluruh ujaran atau tulsan yang mempunai
makna yang ingin disampaikan oleh seseorang kepada orang lian. Sedangkan
informasi verbal yang tidak bermakna dapat berbentuk lisan maupun tulis,
misalnya mendengar orang berkata abrakadabra,
jelas tidak ada maknanya. Namun demikian informsai verbal yang tidak bermakna
ada yang dapat diasosiasikan atau dihubungkan dengan hal-hal yang mempunyai
makna (Su’udi dalam Maksan, 1993:78—79).Ketiga,
yang mempengaruhi daya simpan seseorang adalah tingkat pembelajaran orang itu.
Pembelajaran disini dimaksudkan sejak masuknya informasi melalui indera sampai
dengan penyimpanan informsai itu. Kegiatan ini haruslah dilakukan dengan sadar,
terarah, dan terencana dengan baik. Semua informsai pat disimpan dengan baik
kalau seseorang mempunyai ketiga syarat atau faktor yang memungkinkan ia untuk
menyimpan informasi itu.
Lepage
(dalam Dardjowidjojo, 2010:274) mengatakan bahwa memori tidak berada di suatu
tempat khusus di otak. Kapur dan Cabeza (dalam Dardjowidjojo, 2010:274)
berpendapat bahwa penyimpanan memori dan retrival memori tidak berada pada
tempat yang sama. Mereka dapati bahwa penyimpanan memori dilakukan oleh
hamisfir kiri, khususnya di korteks prafrontal, korteks cingulate anterior, dan
girus parahippocampal. Sementara itu, retrival memori dilakukan oleh hemisfir
kanan pada tiga daerah yang sama ini. Memori tidak hanya ada satu macam.
Panfield
dan Robert (dalam Dardjowidjojo, 2010:274) menyebut adanya memori pengalaman,
memori konseptual, dan memori kata. Memori pengalaman adalah memori yang
berkaitan dengan masa lalu. Semakin bermakna suatu pengalaman, maka akan
semakin lama memori itu disimpan atau diingat. Memori konseptual adala memori
yang dipakai untuk membangun konsep berdasarkan fakta-fakta yang masuk. Memori
kata adalah memori yang mengaitkan konsep dengan wujud bunyi dari konsep
tersebut.
Sementara
itu, Squire dan Kandel (dalam Dardjowidjojo, 2010:274) membagi memori menjadi
memori deklaratif dan memori nondeklaratif. Memori nondeklaratif berasal dari
pengalaman tetapi terwujud dalam bentuk perubahan perilaku, bukan rekoleksi
terhadap peristiwa masa lalu. Berbeda dengan memori deklaratif, memori
nondeklaratif bersifat instingtif. Sementara itu, memori deklaratif adalah memori
untuk peristiwa, fakta, kata, muka, musik, dan segala bentuk pengetahuan yang
telah kita peroleh selama hidup. Bagaimana
memori macam ini diperoleh ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu unsur
keseringa, faktor relevansi, faktor signifikansi, faktor gledi kotor, dan
faktor keteraturan.
Dardjowidjojo
(2010:275) menjelaskan bahwa memori bisa terbentuk tanpa kita mengadakan suatu
usaha khusus untuk memperolehnya. Kalau seseorang menceritakan kejadian yang
terjadi padanya tadi pagi, kejadian itu akan dapat masuk ke dalam memori kita
hanya dari mendengarkan cerita itu. Sebaliknya, hafalan hanya akan menjadi
memori dengan suatu usaha atau tindakan yang khusus. Sesuatu akan dapat dengan
mudah dihafalkan apabila bahan itu bermakna. Suatu kalimat yang tidak karuan
tidak aakan mudah untuk dihafal.
D.
Hubungan
Bahasa dengan Budaya
Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang
arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri. Bahasa digunakan masyarakat dalam berbudaya. Bahasa
melahirkan kebudayaan. Terkait dengan budaya,Nababan
(dalam Chaer dan Agustina, 2004:214) berpendapat bahwa kebudayaan melingkupi
segala aspek dan unsur kehidupan manusia. Nababan mengelompokkan definisi kebudayaan
atas empat golongan,yaitu: 1) definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur
dan pengikat masyarakat, 2) definisi
yang melihat kebuayaan sebagai hal-hal
yang diperoleh manusia melalui belajar dan pendidikan (nurture), 3) definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan
perilaku manusil, dan 4) definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem
komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan
kelangsungan hidup masyarakat manusia.
Kroeber
dan Kluckhon (dalam Chaer dan Agustina, 2004:214) mengelompokkan kebudayaan menjadi
enam golongan menurut sifat definisinya yaitu: 1) definisi yang deskriptif,
yakni definisi yang menekankan pada
unsur-unsur kebudayaan, 2) definisi yang historis, yakni definisi yang
menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan, 3) definisi
normatif, yakni definisi yang menekankan hakikat kebudayaan sebagai aturan
hidup dan tingkah laku, 4) definisi yang psikologis, yakni definisi yang
menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam penyesuaian diri kepada lingkungan,
pemecahan persoalan, dan belajar hidup, 5) definisi yang struktural, yakni
definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola dan
teratur, dan 6) definisi yang genetik, yakni definisi yang menekankan pada
terjadinya kebudayaan sebagai hasilk karya manusia.
Berdasarkan
pengertian-pengertian kebudayaan tersebut, disimpulkan bahwa kebudayaan adalah
segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan manusia sejak terbentuknya
masyarakat hingga terjadinya hubungan antaranggota masyakat tertentu.
Terkait
dengan hubungan bahasa dengan budaya,
menurut Chaer dan Agustina (2004:213) ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan
kebudayaan yang perlu diperhatikan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan
bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan
kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat
erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan, seingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan
tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa
sangat mempengaruhi kebudayaan, dan cara berpikir manusia atau masyarkat
peuturnya.
Koentjaraningrat
(dalam Chaer dan Agustina, 2004:217) menjelaskan
bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan,
atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkungan kebudayaan. Jadi hubungan
antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, yakni bahasa
berada di bawah lingkup kebudayaan, sedangkan Masinambouw (dalam Chaer dan
Agustina, 2004:218) menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem
yang melekat pada manusia. Jika kebudayaan adalah satu sistem yang mengatur
interaksi menusia di dalam masyarakat, berarti kebahasaan adalah suatu sistem
yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi tersebut.
Menurut Nababan (dalam Chaer dan Agustina,
2004:214) bahasa sebagai suatu sistem komunikasi adalah suatu bagian atau
subsistem dari sistem kebudayaa. Kebudayaan manusia tidak akan dapat terjadi
tanpa bahasa. Bahasa adalah faktor yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan.
Jadi, bahasa adalah sine qua non
(yang harus ada) bagi kebudayaan dan masyarakat manusia.Selanjutnya Nababan juga
menjelaskan hubungan lain dari bahasa dengan kebudayaan yaitu bahwa bahasa
sebagai sistem komunikasi mempunyai makna hanya dalam kebudayaan yang menjadi
wadahnya. Hubungan lain antara bahasa dan kebudayaan yaitu bahwa kunci bagi
pengertian yang mendalam atas suatu kebudayaan ialah melalui bahasanya.
Semuanya yang dibicarakan dalam suatu bahasa, terkecuali ilmu pengetahuan yang
kita anggap universal, adalah tentang hal-hal yang ada dalam kebudayaan bahasa
itu. Oleh karena itu, maka perlu mempelajari sesuatu bahasa jika ingin
mendalami kebudayaan atau masyarakat dari bahasa itu.
Silzer
(dalam Chaer dan Agustina, 2004:218) menjelaskan mengenai hubungan bahasa dan
kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ada yang mengatakan hubungan
kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam yakni dua buah fenomena
yang terikat erat. Kedua, bahasa dan
budaya seperti hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yang lain pada
sekeping mata uang logam. Sisi yang satu adalah sistem kebahasaan dan sisi yang
lain adalah sistem kebudayaan. Jadi, Silzerberpendapat bahwa kebahasaan dan
kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga
tidak dapat dipisahkan.
Sejalan
dengan pendapat Silzer, Masinambouw (dalam Chaer dan Agustina, 2004:219) mengemukakan
bahwa hal lain yang menarik dalam hubungan koordinatif antara bahasa dan budaya
adalah adanya hipotesis yang sangat controversial yakni hipotesis dari dua
pakar linguistik ternama, yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Di dalam
hipotesisinya dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya,
tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia, dan oleh karena itu
mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya
dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang
berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu
bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak
mempunyai pikiran sama sekali. Kalau bahasa itu mempengaruhi kebudayaan
dnajalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan
tercermin pada sikap dan budaya penuturnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul
dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian
Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo,
Soenjono. 2010. Psikolinguistik:
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Maksan,
Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang:
IKIP Padang Press.
Komentar
Posting Komentar