KRONOLOGIS PEMEROLEHAN BAHASA
A.
Pemerolehan Fonologi
Pemerolehan fonologi ialah proses seorang anak
menguasai bunyi bahasa. Menurut Dardjowidjojo (2010:244), pada waktu
dilahirkan, anak memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya dan baru mampu mengeluarkan bunyi-bunyi yang
mirip vokal dan konsonan setelah berumur 6 minggu. Bunyi-bunyi itu disebut
dekutan atau cooing yang berarti bunyi yang belum terdengar jelas
bagaimana bentuknya. Setelah seorang anak mendekut, barulah pada umur 6 bulan
anak tersebut berceloteh atau babbling. Celoteh
adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan anak dengan cara menghasilkan konsonan
dengan vokal. Contoh papapa mamama
bababa.
Dardjowidjojo menjelaskan pemerolehan fonologi
dengan cara mengamati cucunya bernama Echa. Echa baru mampu mengucapkan kata
pertama saat berumur 1;6. Echa mengucapkan kata dengan mengambil suku terakhir
saja. Contohnya untuk menyebut mobil, Echa
mengucapkan /bI/saja. Pengucapan suku kata terakhir ini berlangsung hingga umur
sekitar 2 tahun. Kemudian sekitar umur 2;6, Echa mulai mampu mengucapkan kata
secara utuh tetapi mengganti konsonan awal suku kata. Contoh untuk menyebutkan jam, Echa mengucapkan /tam/ atau /dam/.
Setelah berumur sekitar 4 tahun, barulah seorang anak mampu mengucapkan bunyi
afrikat /t∑/ dan /Dz/. Namun, patokan umur tidaklah menjadi
sesuatu yang mutlak, karena seorang anak mampu menguasai bunyi bahasa tidak
diukur atas tahun kelender melainkan tahun neurobiologisnya.
Banyak ahli yang
tertarik mengkaji pemerolehan fonologi anak-anak. Salah satunya adalah Chaer. Chaer
(2009:202) menjelaskan pemerolehan fonologi dengan cara mengemukakan lima
teori. Kelima teori tersebut akan diuraikan satu per satu sebagai berikut.
1.
Teori
Struktural Universal
Teori struktural universal dikemukakan dan dikembangkan oleh
Jakobson. Chaer (2009:202) menjelaskan bahwa intinya teori struktural universal
menjelaskan pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal
linguistik, yakni hukum-hukum struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi.Jakobson
(dalam Chaer, 2009:202) melalui penelitiannya menemukanbahwa pengeluaran bunyi
oleh bayi-bayi pada tahap membabel yang normal mengeluarkan berbagai ragam
bunyi dalam vokalisasinya baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Namun ketika
bayi mulai memperoleh ‘kata’ pertamanya maka kebanyakan bunyi-bunyi ini
menghilang. Sebagian dari bunyi-bunyi itu baru muncul kembali beberapa tahun
kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menyimpulkan adanya dua tahap dalam
pemerolehan fonologi, yaitu tahap membabel prabahasa dan tahap pemerolehan
bahasa murni. Jakobson memprediksi bahwa bayi-bayi akan memperoleh kontras atau
oposisi antara hambat bilabbial dengan hambat dental atau hambat alveolar lebih
dahulu daripada kontras-kontras di antara bilabial dan velar atau di antara
dental dengan velar. Lebih jauh, Jakobson juga meramalkan bahwa konsonan hambat
akan dahulu diperoleh daripada frikatif dan afrikat dan yang terakhir diperoleh
adalah bunyi-bunyi likuida seperti [l] dan [r] dan bunyi luncuran (glide) [y]
dan [w] (Chaer, 2009:204).
2.
Teori
Generatif Struktural Universal
Teori struktural iniversal yang diperkenalkan oleh Jakobson
telah diperluas oleh Moskowitz dengan cara menerapkan unsur-unsur fonologi generatif
yang diperkenalkan oleh Chomsky dan Halle. Yang paling menonjol dari teori
Moskowitz ini adalah ‘penemuan konsep’ dan ‘pembentukan hipotesis’ berupa
rumus-rumus yang dibentuk oleh kanak-kanak berdasarkan data linguistik utama
(DLU), yaitu kata-kata dan kalimat-kalimat yang didengarnya sehari-hari.
Moskowitz (dalam Chaer, 2009:206) berpendapat bahwa sejak
awal proses pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara
bunyi bahasa manusia dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia. Hal ini
termasuk ‘kemampuan nurani’ yang dimiliki bayi sejak dilahirkan. Kemudian pada
masa membabel bayi mengembangkan kemampuan inguistiknya dengan cara
menyesuaikan ucapan-ucapannya dengan persepsi bunyi yang didengarnya. Hal ini
membuat si bayi semakin mampu mengenal dirinya sebagai anggota masyarakat
manusia di sekitarnya. Selanjutnya Moskowitz juga mengatakan sejak awal proses
pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara bunyi bahasa
manusia dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia.
Sesudah kanak-kanak menemukan unit kalimat ditandai oleh
kontur intonasi, maka kanak-kanak akan menemukan unit utama kedua yaitu unit
suku kata, yakni bagian dari kata yang merupakan satu satuan bunyi di bawah
kata ini. Unit suku kata ini dipahami kanak-kanak sebagai satu fitur suku kata,
bukan sebagai fitur-fitur fonem atau fon. Setelah menguasai unit suku kata
barulah kanak-kanak menguasai unit segmen, yakni konsonan atau vokal. Urutan
pemerolehan segmen ini tidak sama antara seorang kanak-kanak dengan kanak-kanak
lain. pemerolehan unit segmen segera diikuti oleh pemerolehan unit yang lebih
kecil yaitu unit fitur distingtif berupa oposisi atau kontras-kontras yang bisa
membedakan makna. Urutan pemerolehannya teratur dan sesuai dengan urutan menurut
teori Roman Jakobson. Moskowitz juga memperkenalkan apa yang disebut
idiom-idiom fonologi. Menurut perkembangannya idiom-idiom fonologi ini terdiri
dari idiom progresif dan idiom regresif. Yang dimaksud dengan idiom progresif
adalah apabila bentuk bunyi suatu kata pada tahap awal telah menyamai bentuk
yang sebenarnya menurut fonologi orang dewasa. Kemudian dalam perkembangan
selanjutnya, bentuk semakin dekat, dan seterusnya menjadi tepat. Sedangkan yang
dimaksud dengan idiom regresif adalah apabila bentuk yang telah menyamai bentuk
orang dewasa itu berubah kebentuk yang lebih primitif (Moskowitz dalam Chaer,
2009:208).
3.
Teori
Proses Fonologi Alamiah
Teori proses fonologi alamiah diperkenalkan oleh David
Stampe, yakni suatu teori yang disusun berdasarkan teori fonologi alamiah yang
juga telah diperkenalkan sejak 1965. Menurut Stampe proses fonologi kanak-kanak
bersifat nurani yang harus mengalami penindasan (supresi), pembatasan dan
pengaturan sesuai dengan penuranian representasi fonemik orang dewasa (Chaer,
2009:208—209).
Menurut Chaer (2009:209) suatu proses fonologi terdiri dari
kesatuan-kesatuan yang saling bertentangan. Umpamanya, terdapat suatu proses
yang menjadikan semua bunyi hambat menjadi tidak bersuara dalam semua konteks,
karena halangan oralnya menghalangi arus udara yang diperlukan untuk
menghasilkan bunyi-bunyi ini. Namun, bagaimanapun bunyi-bunyi ini akan menjadi
bersuara oleh proses lain dengan cara asimilasi tertentu. Jika kedua proses ini
terjadi bersamaan, maka keduanya akan saling menindih, dna saling bertentangan.
Sebuah bunyi hambat tidak akan mungkin secara serentak bersuara dan tidak
bersuara pada lingkungan yang sama. Masalahnya yang bertentangan ini dapat
dipecahkan dengan iga cara berikut.
a. Menindas,
salah satu dari kedua proses yang bertentangan itu. Umpamanya bila kanak-kanak
telah menguasai bunyi-bunyi hambat bersuara dalam semua konteks, maka beraarti
dia telah berhasial menindas proses penghilangan suara yang ditimbulkan oleh
halangan oral bunyi itu.
b. Membatasi
jumlah segmen atau jumlah konteks yang terlibat dalam proses itu. Misalnya,
proses penghilangan suara dibatasi hanya pada bunyi-bunyi hambat tegang saja,
sedangkan bunyi-bunyi hambat longgar tidak dilibatkan.
c. Mengatur
terjadinya proses penghilangan bunyi suara dan proses pengadaan bunyi suara
secara berurutan. Urutannya boleh dimulai dengan proses penghilangan bunyi
suara, lalu diikuti dengan proses pengadaan bunyi bersuara. Kedua proses ini
tidak mungkin terjadi secara bersamaan.
4.
Teori
Prosodi-Akustik
Teori parodi-akustik diperkenalkan oleh Waterson setelah dia
merasa tidak puas dengan pendekatan fonemik segmental yang dikatakannya tidak
memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai pemerolehan fonologi. Pendekatan
fonemik segmental menganggap bahwa kanak-kanak memperoleh fonologi berdasarkan
fonem, sehingga banyak bahan fonetik yang berkaitan telah dikesampingkan.
Karena kelemahan tersebut maka Weterson menggunakan pendekatan nonsegmental,
yaitu pendekatan persodi yang dianggapnya lebih berhasil. Pendekatan ini diperkuat
dengan analisis akustik sebab analisis persodi hanya melihat dari analisis
artikulasi saja.
Menurut Waterson (dalam Chaer, 2009:211) “Pemerolehan bahasa
oleh kanak-kanak dimulai dari pemerolehan semantik dan fonologi, kemudian baru
ada pemerolehan sintaksis.” Selanjutnya, Waterson (dalam Chaer, 2009:212)
mengatakan bahwa:
Ia menemukan adanya hubungan akustik antara
bentuk-bentuk ucapak kanak-kanak dengan fitur-fitur bentuk ucapan orang dewasa.
Kanak-kanak anya mengucapkan kembali bagian ucapan yang makan waktu kurang 0,2
detik, dan bagian yang diucapkan kembali adalah elemen vokal dan konsonan yang
mencapai artikulasi kuat.
Satu hal lagi dari pemerolehan fonologi adalah masalah sejauh
mana kanak-kanak dihambat oleh pembatasan-pembatasan dalam persepsi dan
pengeluaran bunyi. Karena masalah ini menyangkut pengeluaran dan persepsi, maka
pengkajian pemerolehan fonologi haruslah pula dari sudut artkulasi dan akustik.
Namun, dari sudut akustik sangat sukar karena kita tidak tahu apa sebenarnya
yang diamati kanak-kanak sedangkan kita tidak bisa bertanya kepadanya.
Umpamanya seorang anak-anak mengucapkan <plate> yang berbunyi [pleit]
menjadi berbunyi [beip], apakah dia bisa membedakan tempat artikulasi [p] dan
[b], kita tidak tahu. Apakah dia mengucapkan [pleit] menjadi [beip]. Karena
lebih mudah mengucapkannya atau karena dia tidak tahu perbedaannya. Untuk
memecahkan masalah ini, Waterson merujuk pada pengucapan orang dewasa: orang
dewasa lebih banyak ‘membuat kesalahan’ dalam tempat artikulasi daripada cara
artikulasi. Kanak-kanak tidak menaruh perhatian pada tempat artkulasi untuk
setiap pengucapan karena mereka tidak mampu menghadapi segala-galanya pada
waktu yang sama pada setiap peringkat (Chaer, 2009:212).
5.
Teori
Kontras dan proses
Teori kontras dan proses diperkenalkan oleh Ingram, yakni
suatu teori yang menggabungkan bagian-bagian penting dari teori Jakobson dengan
bagian-bagian penting dari teori Stampe, kemudian menyelaraskan hasil
penggabungan dengan teori perkembangan dari Piaget. Menurut Ingram (dalam
Chaer, 2009:212) “Kanak-kanak memperoleh sistem fonologi orang dewasa
dengancara menciptakan strukturnya sendiri dan kemudian mengubah struktur ini
jika pengetahuannya mengenai sistem orang dewasa semakin baik. Perkembangan
fonologi ini melalui asimilasi dan akomodasi yang terus menerus mengubah
struktur untuk menyelaraskannya dengan kenyataan.”
Ingram (dalam Chaer, 2009:213) menegaskan kita harus mengakui
adanya ketiga peringkat perkembangan fonologi kanak-kanak. Perkembangan
fonologi kanak-kanak harus dapat menerangkan tiga peringkat yaitu, persepsi,
organisasi, dan pengeluaran. Karena fonologi membicarakan kontras-kontras dan
berusaha memberikan satu pengucapan pada tiap morfem, maka kanak-kanak haruslah
berusaha memperoleh kontras-kontras dalam pengucapan-pengucapan itu.
Tahap-tahap pemerolehan fonologi yang dibuat Ingram sejalan
dengan tahap-tahap perkembangan kognitif dari Piaget. Pada tahap persepsi yang
belum prosuktif itu terdapat dua subtahap yaitu tahap vokalisasi praucapan dan
tahap fonologi primitif (Chaer, 2009:213).
Menurut Chaer (2009:214) tahap vokalisasi praacuan adalah
tahap sebelum kata-kata pertama muncul yang dimulai dengan mendekut ketika
berumur empat bulan. Kemudian diikuti dengan membabel. Menurut Ingram membabel
ini bukanlah kegiatan semaunya, melainkan merupakan suatu kegiatan yang agak
teratur dan maju berkelanjutan. Membabel ini bukan merupakan satu latihan,
melainkan ada hubungannya dengan seluruh [roses pemerolehan fonologi.
Chaer (2009:214) menjelaskan tahap fonologi primitif muncul
pada tahap satu kata (holofrasis) dlam pemerolehan sintaksis. Tahap ini pun
belum produktif karena kanak-kanak belum memperoleh rumus-rumus fonologi yang
sebenarnya. Sesudah menganalisis data ucapan dari sejumlah kanak-kanak, Ingram
menyimpulkan bahwa teori Jakobson tidak seluruhnya benar. Umpamanya, menurut
teori Jakobson bentuk suku kata pertama yang muncul adalah KV atau
reduplikasinya KVKV; tetapi menurut data bentuk VK juga banyak muncul.
Begitupun bentuk pengulangan yang ditemukan sangat berlainan antara kanak-kanak
yang satu dengan kanak-kanak yang lain.
Pada tahap pengeluaran yakni tahpa pengeluaran yang aktif,
yang dimulai ketika berusia satu tahun setengah terdapat dua peristiwa penting
yaitu terjadinya pertumbuhan kosakata dengan cepat dan munculnya ucapan-ucapan
dua kata. Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengembangkan kemampuannya untuk
menentukan bunyi-bunyi ucapan yang dapat dipakai untuk menyatakan perbedaan
makna. Tahap ini berlangsung sampai kanak-kanak berumur tiga tahun enam bulan (Chaer,
2009:214).
Menurut Chaer (2009: 214—215) pemerolehan setiap bunyi tidak
terjadi secara tiba-tiba dan sendiri-sendiri, melainkan secara perlahan-lahan
dan berangsur-angsur. Ucapan kanak-kanak selalu berubah antara ucapan yang
benar dan tidak benar secara progresif sampai ucapan seperti orang dewasa
tercapai. Pemerolehan fonologi kanak-kanak terjadi melalui bebrapa proses
penyederhanaan umum yang melibatkan semua kelas bunyi.
B.
Pemerolehan Sintaksis
Pemerolehan sintaksis terjadi ketika seorang
anak berumur 2;0. Para ahli menganggap pemerolehan sintaksis anak dimulai sejak
anak tersebut dapat menggabungkan dua kata atau lebih. Jika seorang anak telah
mencapai tahap dua kata atau lebih, ucapan-ucapannya akan semakin banyak dan
mudah ditafsirkan.
Ada lima teori mengenai pemerolehan
sintaksis yaitu: teori tata bahasa pivot, teori hubungan tata bahasa nurani,
teori hubungan tata bahasa dan informasi situasi, teori kumulatif kompleks, dan
teori pendekatan semantik (Chaer, 2009:183--191). Kelima teori tersebut akan
diuraikan satu per satu sebagai berikut.
1.
Teori Tata Bahasa Pivot
Ahli yang pertama mulai mengkaji
pemerolehan sintaksis anak adalah Braene, Bellugi, Brown, Fraser, Miller, dan
Ervin. Hasil dari kajian mereka menyebutkan bahwa ucapan dua kata kanak-kanak
terdiri dari dua jenis kata menurut posisi dan frekuensi munculnyanya kata-kata
itu dalam kalimat. Dua jenis kata itu disebut kelas pivot dan kelas
terbuka. Umumnya, kata-kata yang termasuk kelas pivot adalah kata-kata
fungsi, dan yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata isi atau kata penuh seperti
kata berkategori nomina dan verba.
Teori tata bahasa pivot menyatakan
bahwa pemerolehan sintaksis kanak-kanak dimulai dengan kalimat-kalimat yang
terlihat pada kata pivot. Dalam bahasa Indonesia contoh kata pivot adalah mau, akan, sudah, dan belum. Pembagian kata-kata pivot dan
kelas terbuka hanya mencerminkan bahasa Inggris.
Teori tata bahasa pivot menyimpulkan
bahwa ucapan dalam kalimat dua kata oleh anak-anak telah menunjukkan penggunaan
bahasa yang lebh produktif dibandingkan dengan penggunaan bahasa pada tahap
holofrasis.
2.
Teori Hubungan Tata Bahasa Nurani
Ahli yang mencetuskan teori hubungan tata
bahasa nurani adalah Chomsky dan Neil. Mereka berpendapat bahwa sejak lahir
anak telah dibekali pengetahuan tata bahasa. Hal itu akan mempengaruhi
pemerolehan sintaksis anak. Contoh hubungan tata bahasa yang telah dimiliki
anak secara nurani adalah subject-of yang
dirumuskan menjadi K→FN + FV (K= Kalimat, FN= Frasa Nomina, FV= Frasa Verba).
Neil mengemukakan bahwa ucapan-ucapan dua kata atau lebih dari anak dapat
diananlisis berdasarkan hubungan-hubungan yang digambarkan dalam ucapan itu.
Ucapan-ucapan dua kata yang diungkapkan anak telah mempunyai struktur dan bukan
lahir sewenang-wenang.
Neil mengelompokkkan ucapan-ucapan dua kata
anak menjadi tiga kelas yaitu nomina, verba, dan pivot. Kemudia gabungan ketiga
kelas tersebut adalah P+FN, N+N, V+N. dan N+V.Neil juga berpendapat bahwa besarnya
struktur sintaksis menentukan urutan pemerolehan sintaksis anak dan rumus
subjek predikat akan lebih dulu dikuasai anak-anak.
Teori hubungan tata bahasa nurani ini mendapat
kritik dari sejumlah pakar. Schlesinger mengkritik bahwa hubungan tata bahasa
dalam ucapan dua kata anak mungkin saja cermin dari konsep-konsep pelaku dan
tindakan dan bukan hubungan tata bahasa subjek-of
dan verb-of. Selanjutnya,
Bowerman menyatakan bahwa usaha anak-anak menggabungkan kata-kata merupakan
temuan anak-anak tersebut dalam menyampaikan hubungan-hubungan semantik dan
bukan merupakan kemampuan anak secara nurani.
3.
Teori Hubungan Tata Bahasa dan Informasi
Situasi
Ahli yang mencetuskan teori hubungan tata bahsa
dan informasi situasi ini adalah Bloom. Menurutnya, hubungan tata bahasa tanpa
merujuk pada informasi situasi (konteks) belum cukup untuk menganalisis ucapan
dua kata anak-anak, melainkan perlu diperhatikan informasi situasinya. Contoh
ketika seorang anak menyebutkan “Ibu kue”, dalam situasi yang berbeda-beda
dapat diartikan si anak meminta kue, si anak memberi kue kepada ibunya, si anak
memakan kue, dan sebagainya.
Bloom berpendapat bahwa gabungan-gabungan kata
yang digunakan anak tidak muncul secara nurani. Ha itu disebabkan karena
gabungan kata yang digunakan anak tidak banyak jumlahnya. Menurut Bloom,
gabungan kata yang muncul dalam ucapan anak-anak meruakan hubungan-hubungan
yang menjadi bagian dari bahasa kanak-kanak.
Gabungan kata-kata anak yang tidak dikaitkan
dengan situasi akan bermakna ganda. Oleh sebab itu, untuk menganalisis gabungan
yang meragukan itu harus dilakukan representasi yang berlainan yang disesuaikan
dengan situasi digunakannya ucapan anak.
Seperti halnya teori-teori yang telah
disebutkan sebelumnya, teori Bloom ini juga memiliki kekurangan. Neil belum
dapat menjelaskan dari mana anak-anak mendapatkan gabungan-gabungan kata yang
bisa digunakan dalam situasi berlainan.
4.
Teori Kumulatif Kompleks
Teori kumulatif kompleks dikemukakan oleh Brown.
Menurutnya, urutan pemerolehan sintaksis anak ditentukan oleh kumulatif
kompleks semantik morfem dan kumulatif kompleks tata bahasa yang sedang
diperoleh.
Brown meneliti tiga orang anak berusia dua
tahun yang sedang memperoleh bahasa Inggris. Dari hasil penelitiannya
didapatkan bahwa si anak lebih dulu menguasai bahasa yang jarang muncul dalam
ucapan orang dewasa. Sebaliknya, si anak baru menguasai bahasa yang sering
diucapkan orang dewasa pada tahap 8.
5.
Teori Pendekatan Semantik
Teori ini mengemukakan bahwa struktur dasar
memberi masuka kepada komponen semantik, dan struktur luar memberi masukan
kepada komponen fonologi. Salah satu teori
tata bahasa yang didasarkan pada komponen semantik diperkenalkan oleh
Fillmore dengan nama tata bahasa kasus (case
grammar). Fillmore mengemukakan bahwa transformasi tata bahasa tidak diatur
oleh rumus sintaksis melainkan oleh hubungan semantik yang ditandai oleh
kategori-kategori kasus itu. Jadi merupakan suatu keharusan menyertakan
semantik dan hubungan-hubungan semantik dalam menganalisis pengetahuan tata
bahasa. Teori pendekatan semantik menemukan struktur ucapan berdasarkan
hubungan-hubungan semantik.
C.
Pemerolehan Leksikon
Tangis dan gestur adalah alat yang diigunakan
anak untuk menyampaikan sesuatu sebelum dia mampu mengucapkan kata. Menurut
Dardjowidjojo (2010:258), saat anak senyum dan menjulurkan tangannya untuk
meminta sesuatu sebenarnya anak tersebut telah memakai “kalimat” yang protedeklaratif dan protoimperatif.
Seperti halnya pemerolehan fonologi,
Darjowidjojo meneliti cucunnya bernama Echa untuk meneliti pemerolehan
leksikon. Echa baru mampu mengeluarkan bunyi yang dapat dikenal sebagai kata
sekitar umur 1;5. Agar lebih jelas mengenai pemerolehan leksikon ini,
Dardjowidjojo menjelaskan tiga hal dalam bukunya yaitu: macam kata yang
dikuasai, cara anak menentukan makna, dan cara anak menguasai makna kata.
Ketiga hal tersebut akan dijelaskan satu per satu sebagai berikut.
1.
Macam Kata yang Dikuasai
Macam kata yang dikuasai anak dipengaruhi
lingkungan sekitarnya. Dardjowidjojo menyebutnya prinsip sini dan kini. Apabila
seorang anak tinggal di perkotaan dan dirawat oleh orangtua yang berkecukupan.
Si anak akan memperoleh kata-kata nomina yang berada dekat dengannya seperti bola, kucing, anjing, sepatu, kelinci, dan
sebagainya. Sebaliknya, apabila seorang anak dibesarkan di lingkungan pedesaan,
anak tersebut akan memperoleh kata padi,
bebek, sawah, cangkul, sapi,dan sebagainya.
Anak-anak lebih dulu menguasai kata utama
(nomina, verba, dan adjektiva). Dari hasil peneliatian Dardjowidjojo terhadap
cucunya, Echa lebih banyak menguasai nomina daripada verba. Selama lima tahun
Echa memiliki kemampuan menguasai nomina rata-rata 49%, verba menduduki posisi
kedua dengan rata-rata 29%, adjektiva menduduki posisi ketiga dengan rata-rata
13%, dan kata fungsi paa urutan terakhir dengan rata-rata 10%.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa anak
memperoleh hirarki kata kategori dasar, yakni tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu rendah. Contoh untuk menyebutkan perkutut Bangkok, anak tidak akan
menyebutnya binatang atau makhluk, perkutut Bangkok, atau perkutut sekalipun.
Anak lebih memilih menyebut perkutut Bangkok dengan burung. Input penyebutan tersebut berasal dari bahasa ibu si anak.
2.
Cara Anak Menentukan Makna
Menurut Dardjowidjojo, dalam hal penentuan
makna suatu kata, anak mengikuti prinsip-prinsip universal yang di antaranya overextension (penggelembungan makna).
Anak-anak cenderung mengambil salah satu fitur makna ketika diperkenalkan
dengan konsep baru. Contohnya Echa yang diperkenalkan dengan semut, dia
mengambil fitur ukuran untuk mengenali semut tersebut yaitu berukuran kecil.
Hal itu menyebabkan, pada saat Echa melihat nyamuk, dia juga menyebut nyamuk
tersebut dengan semut karena sama-sama berukuran kecil.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa
penggelembungan dapat berdasarkan bentuk, ukuran, gerakan, bunyi, dan tekstur.
Di samping penggelembungan, anak juga memakai underextension(penciutan makna). Anak akan mebatasi makna hanya
pada referen yang dirujuk sebelumnya. Contohnya Echa yang melihat boneka
beruang di rumahnya dinamai dengan Tedy Bear, tetapi beruang yang dia lihat di
buku atau televisi dinamai beruang.
3.
Cara Anak Menguasai Makna Kata
Dardjowidjojo menemukakan bahwa anak tidak
menguasai makna kata secara sembarangan melainkan menggunakan strategi.
Misalnya ketika anak menggunakan strategi pertama yaitu strategi referensi
dengan menganggap bahwa kata pastilah akan merujuk pada benda, perbuatan,
proses, atau atribut. Contoh bila kata cabai,
anak akan melekatkan kata cabai dengan
benda berwarna merah.
Strategi kedua adalah strategi cakupan objek.
Pada strategi ini, kata yang merujuk pada suatu objek akan merujuk pada
keseluruhan objek itu. Contoh sepeda akan
merujuk pada benda yang yang memiliki roda, rantai, ban, tempat duduk, dan
sebagainya.
Strategi ketiga adalah strategi peluasan.
Strategi ini mengasumsikan bahwa kata tidak hanya merujuk pada pada objk
aslinya tetapi juga pada objek-objek lain dalam kelompok yang sama. Contoh anak
yang diperkenalkan dengan kucing yang berbulu hitam akan menyebut kucing yang
berbulu putih sebagai kucing.
Strategi keempat adalah cakupan ketegorial.
Strategi ini menyatakan bahwa kata dapat diperluas pemakaiannya untuk
objek-objek yang termasuk dalam kategori dasar yang sama. Contoh burung
perkutut sebagai burung yang memiliki sayap, maka ketika melihat beo, merpati,
dan jenis burung lainnya akan tetap disebut si anak sebagai burung.
Strategi kelima adalah nama baru-kategori tak
bernama. Strategi ini adalah strategi yang digunakan si anak ketika ia
mendengar kata baru tetapi belum menemukan rujukannya, maka si anak akan
menganggap kata tersebut sebagai kata baru dan menempelkan maknanya kepada
objek, perbuatan, atau proses yang dirujuk kata itu.
Strategi keenam adalah konvensionalitas.
Strategi ini digunakan untuk mengenalkan hal-hal di sekitarnya dengan bahasa
yang kira-kira mudah dipahami anak. Contoh ketika mengenalakan burung perkutut
Bangkok, anak akan dikenalkan dengan sebutan burung yang nerujuk pada perkutut Bangkok tersebut.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa anak-anak
lebih mudah menguasai kata-kata yang bermakna konkret daripada bermakna abstrak.
Anak akan lebih mudah mengenali kata kursi
daripada agama. Selain itu, anak
juga akan sulit memahami kata-kata yang memiliki pengertian relatif seperti besar, kecil, keras, pelan, luas, sempit, dan
sebagainya.
D.
Pemerolehan Morfologi
Santoso dalam Putri (2014:6) menyatakan morfem berdasarkan
bentuknya ada dua macam yaitu morfem bebas dan terikat. Morfem bebas adalah
morfem yang mempunyai potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan dapat
langsung membentuk kalimat sedangkan morfem terikat merupakan morfem yang belum
memiliki arti, maka morfem ini belum mempunyai potensi sebagai kata. Untuk
membentuk kata, morfem harus digabung dengan morfem bebas. Morfem terikat ada
dua macam morfem terikat morfologis dan morfem terikat sintaksis. Morfem
terikat morfologis yakni morfem yang terikat pada sebuah morfem dasar yaitu
prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran) dan konfiks (imbuhan
gabungan). Pada anak-anak usia dini sudah dapat membentuk beberapa morfem yang
menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan
gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan
apa yang ingin dia sampaikan.
Putri (2014:6) menyebutkan bahwa ujaran pada anak-anak yang
berumur 2-3 tahun belum muncul morfem yang memeroleh afiksasi, bahkan banyak
morfem yang sebagian seperti /dah/ /yum/ /ma/ /nali/ yang seharusnya /sudah/,
/belum/, /bersama/, /menali/. Namun pada anak yang berumur 4-5 tahun sudah
muncul morfem yang mendapatkan proses afiksasi, mendapat prefiks maupun sufiks,
namun infiks maupun konfiks belum muncul. pada anak yang berumur 4-5 tahun
terdapat morfem yang mengalami reduplikasi. Pada anak yang berusia dua tahun
belum menunjukkan pemerolehan afiksasi. Pada usia tiga tahun, pemerolehan
morfologi kebanyakan kata-kata yang monomorfemik. Bentuk pasif di- juga mulai
muncul pada umur tiga tahun. Pada usia empat tahun prefiks formal {ber-} dan
{meN-} sudah mulai muncul walaupun masih jarang muncul. Pada usia lima tahun
anak sudah mencapai perkembangan verba, netralisasi sufiks {-kan} dan {-i} yang
menjadi {-in} pada /dibeliin/ yang seharusnya /dibelikan/ (Putri, 2014:7).
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono.2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Putri, Ary Kunti, dkk.
2014. “Pemerolehan Bahasa Indonesia
pada Anak Usia Dini di Desa Beraban, Kecamatan Kediri Kabupaten
Tabanan.” (Digilib.undiksha.ac.id. Diunduh 22 Maret 2016).
Komentar
Posting Komentar