KRONOLOGIS PEMEROLEHAN BAHASA

 

KRONOLOGIS PEMEROLEHAN BAHASA

    A.            Pemerolehan Fonologi
Pemerolehan fonologi ialah proses seorang anak menguasai bunyi bahasa. Menurut Dardjowidjojo (2010:244), pada waktu dilahirkan, anak memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya  dan baru mampu mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip vokal dan konsonan setelah berumur 6 minggu. Bunyi-bunyi itu disebut dekutan atau cooing  yang berarti bunyi yang belum terdengar jelas bagaimana bentuknya. Setelah seorang anak mendekut, barulah pada umur 6 bulan anak tersebut berceloteh atau babbling. Celoteh adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan anak dengan cara menghasilkan konsonan dengan vokal. Contoh papapa mamama bababa.
Dardjowidjojo menjelaskan pemerolehan fonologi dengan cara mengamati cucunya bernama Echa. Echa baru mampu mengucapkan kata pertama saat berumur 1;6. Echa mengucapkan kata dengan mengambil suku terakhir saja. Contohnya untuk menyebut mobil, Echa mengucapkan /bI/saja. Pengucapan suku kata terakhir ini berlangsung hingga umur sekitar 2 tahun. Kemudian sekitar umur 2;6, Echa mulai mampu mengucapkan kata secara utuh tetapi mengganti konsonan awal suku kata. Contoh untuk menyebutkan jam, Echa mengucapkan /tam/ atau /dam/. Setelah berumur sekitar 4 tahun, barulah seorang anak mampu mengucapkan bunyi afrikat /t∑/ dan /Dz/. Namun, patokan umur tidaklah menjadi sesuatu yang mutlak, karena seorang anak mampu menguasai bunyi bahasa tidak diukur atas tahun kelender melainkan tahun neurobiologisnya.
Banyak ahli yang tertarik mengkaji pemerolehan fonologi anak-anak. Salah satunya adalah Chaer. Chaer (2009:202) menjelaskan pemerolehan fonologi dengan cara mengemukakan lima teori. Kelima teori tersebut akan diuraikan satu per satu sebagai berikut.

1.      Teori Struktural Universal
Teori struktural universal dikemukakan dan dikembangkan oleh Jakobson. Chaer (2009:202) menjelaskan bahwa intinya teori struktural universal menjelaskan pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yakni hukum-hukum struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi.Jakobson (dalam Chaer, 2009:202) melalui penelitiannya menemukanbahwa pengeluaran bunyi oleh bayi-bayi pada tahap membabel yang normal mengeluarkan berbagai ragam bunyi dalam vokalisasinya baik bunyi vokal maupun bunyi konsonan. Namun ketika bayi mulai memperoleh ‘kata’ pertamanya maka kebanyakan bunyi-bunyi ini menghilang. Sebagian dari bunyi-bunyi itu baru muncul kembali beberapa tahun kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menyimpulkan adanya dua tahap dalam pemerolehan fonologi, yaitu tahap membabel prabahasa dan tahap pemerolehan bahasa murni. Jakobson memprediksi bahwa bayi-bayi akan memperoleh kontras atau oposisi antara hambat bilabbial dengan hambat dental atau hambat alveolar lebih dahulu daripada kontras-kontras di antara bilabial dan velar atau di antara dental dengan velar. Lebih jauh, Jakobson juga meramalkan bahwa konsonan hambat akan dahulu diperoleh daripada frikatif dan afrikat dan yang terakhir diperoleh adalah bunyi-bunyi likuida seperti [l] dan [r] dan bunyi luncuran (glide) [y] dan [w] (Chaer, 2009:204).

2.      Teori Generatif Struktural Universal
Teori struktural iniversal yang diperkenalkan oleh Jakobson telah diperluas oleh Moskowitz dengan cara menerapkan unsur-unsur fonologi generatif yang diperkenalkan oleh Chomsky dan Halle. Yang paling menonjol dari teori Moskowitz ini adalah ‘penemuan konsep’ dan ‘pembentukan hipotesis’ berupa rumus-rumus yang dibentuk oleh kanak-kanak berdasarkan data linguistik utama (DLU), yaitu kata-kata dan kalimat-kalimat yang didengarnya sehari-hari.
Moskowitz (dalam Chaer, 2009:206) berpendapat bahwa sejak awal proses pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara bunyi bahasa manusia dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia. Hal ini termasuk ‘kemampuan nurani’ yang dimiliki bayi sejak dilahirkan. Kemudian pada masa membabel bayi mengembangkan kemampuan inguistiknya dengan cara menyesuaikan ucapan-ucapannya dengan persepsi bunyi yang didengarnya. Hal ini membuat si bayi semakin mampu mengenal dirinya sebagai anggota masyarakat manusia di sekitarnya. Selanjutnya Moskowitz juga mengatakan sejak awal proses pemerolehan bahasanya, bayi telah menyadari akan perbedaan antara bunyi bahasa manusia dengan bunyi-bunyi lain yang bukan suara manusia.
Sesudah kanak-kanak menemukan unit kalimat ditandai oleh kontur intonasi, maka kanak-kanak akan menemukan unit utama kedua yaitu unit suku kata, yakni bagian dari kata yang merupakan satu satuan bunyi di bawah kata ini. Unit suku kata ini dipahami kanak-kanak sebagai satu fitur suku kata, bukan sebagai fitur-fitur fonem atau fon. Setelah menguasai unit suku kata barulah kanak-kanak menguasai unit segmen, yakni konsonan atau vokal. Urutan pemerolehan segmen ini tidak sama antara seorang kanak-kanak dengan kanak-kanak lain. pemerolehan unit segmen segera diikuti oleh pemerolehan unit yang lebih kecil yaitu unit fitur distingtif berupa oposisi atau kontras-kontras yang bisa membedakan makna. Urutan pemerolehannya teratur dan sesuai dengan urutan menurut teori Roman Jakobson. Moskowitz juga memperkenalkan apa yang disebut idiom-idiom fonologi. Menurut perkembangannya idiom-idiom fonologi ini terdiri dari idiom progresif dan idiom regresif. Yang dimaksud dengan idiom progresif adalah apabila bentuk bunyi suatu kata pada tahap awal telah menyamai bentuk yang sebenarnya menurut fonologi orang dewasa. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, bentuk semakin dekat, dan seterusnya menjadi tepat. Sedangkan yang dimaksud dengan idiom regresif adalah apabila bentuk yang telah menyamai bentuk orang dewasa itu berubah kebentuk yang lebih primitif (Moskowitz dalam Chaer, 2009:208).

3.      Teori Proses Fonologi Alamiah
Teori proses fonologi alamiah diperkenalkan oleh David Stampe, yakni suatu teori yang disusun berdasarkan teori fonologi alamiah yang juga telah diperkenalkan sejak 1965. Menurut Stampe proses fonologi kanak-kanak bersifat nurani yang harus mengalami penindasan (supresi), pembatasan dan pengaturan sesuai dengan penuranian representasi fonemik orang dewasa (Chaer, 2009:208—209).
Menurut Chaer (2009:209) suatu proses fonologi terdiri dari kesatuan-kesatuan yang saling bertentangan. Umpamanya, terdapat suatu proses yang menjadikan semua bunyi hambat menjadi tidak bersuara dalam semua konteks, karena halangan oralnya menghalangi arus udara yang diperlukan untuk menghasilkan bunyi-bunyi ini. Namun, bagaimanapun bunyi-bunyi ini akan menjadi bersuara oleh proses lain dengan cara asimilasi tertentu. Jika kedua proses ini terjadi bersamaan, maka keduanya akan saling menindih, dna saling bertentangan. Sebuah bunyi hambat tidak akan mungkin secara serentak bersuara dan tidak bersuara pada lingkungan yang sama. Masalahnya yang bertentangan ini dapat dipecahkan dengan iga cara berikut.
a.       Menindas, salah satu dari kedua proses yang bertentangan itu. Umpamanya bila kanak-kanak telah menguasai bunyi-bunyi hambat bersuara dalam semua konteks, maka beraarti dia telah berhasial menindas proses penghilangan suara yang ditimbulkan oleh halangan oral bunyi itu.
b.      Membatasi jumlah segmen atau jumlah konteks yang terlibat dalam proses itu. Misalnya, proses penghilangan suara dibatasi hanya pada bunyi-bunyi hambat tegang saja, sedangkan bunyi-bunyi hambat longgar tidak dilibatkan.
c.       Mengatur terjadinya proses penghilangan bunyi suara dan proses pengadaan bunyi suara secara berurutan. Urutannya boleh dimulai dengan proses penghilangan bunyi suara, lalu diikuti dengan proses pengadaan bunyi bersuara. Kedua proses ini tidak mungkin terjadi secara bersamaan.

4.      Teori Prosodi-Akustik
Teori parodi-akustik diperkenalkan oleh Waterson setelah dia merasa tidak puas dengan pendekatan fonemik segmental yang dikatakannya tidak memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai pemerolehan fonologi. Pendekatan fonemik segmental menganggap bahwa kanak-kanak memperoleh fonologi berdasarkan fonem, sehingga banyak bahan fonetik yang berkaitan telah dikesampingkan. Karena kelemahan tersebut maka Weterson menggunakan pendekatan nonsegmental, yaitu pendekatan persodi yang dianggapnya lebih berhasil. Pendekatan ini diperkuat dengan analisis akustik sebab analisis persodi hanya melihat dari analisis artikulasi saja.
Menurut Waterson (dalam Chaer, 2009:211) “Pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimulai dari pemerolehan semantik dan fonologi, kemudian baru ada pemerolehan sintaksis.” Selanjutnya, Waterson (dalam Chaer, 2009:212) mengatakan bahwa:
Ia menemukan adanya hubungan akustik antara bentuk-bentuk ucapak kanak-kanak dengan fitur-fitur bentuk ucapan orang dewasa. Kanak-kanak anya mengucapkan kembali bagian ucapan yang makan waktu kurang 0,2 detik, dan bagian yang diucapkan kembali adalah elemen vokal dan konsonan yang mencapai artikulasi kuat.

Satu hal lagi dari pemerolehan fonologi adalah masalah sejauh mana kanak-kanak dihambat oleh pembatasan-pembatasan dalam persepsi dan pengeluaran bunyi. Karena masalah ini menyangkut pengeluaran dan persepsi, maka pengkajian pemerolehan fonologi haruslah pula dari sudut artkulasi dan akustik. Namun, dari sudut akustik sangat sukar karena kita tidak tahu apa sebenarnya yang diamati kanak-kanak sedangkan kita tidak bisa bertanya kepadanya. Umpamanya seorang anak-anak mengucapkan <plate> yang berbunyi [pleit] menjadi berbunyi [beip], apakah dia bisa membedakan tempat artikulasi [p] dan [b], kita tidak tahu. Apakah dia mengucapkan [pleit] menjadi [beip]. Karena lebih mudah mengucapkannya atau karena dia tidak tahu perbedaannya. Untuk memecahkan masalah ini, Waterson merujuk pada pengucapan orang dewasa: orang dewasa lebih banyak ‘membuat kesalahan’ dalam tempat artikulasi daripada cara artikulasi. Kanak-kanak tidak menaruh perhatian pada tempat artkulasi untuk setiap pengucapan karena mereka tidak mampu menghadapi segala-galanya pada waktu yang sama pada setiap peringkat (Chaer, 2009:212).

5.      Teori Kontras dan proses
Teori kontras dan proses diperkenalkan oleh Ingram, yakni suatu teori yang menggabungkan bagian-bagian penting dari teori Jakobson dengan bagian-bagian penting dari teori Stampe, kemudian menyelaraskan hasil penggabungan dengan teori perkembangan dari Piaget. Menurut Ingram (dalam Chaer, 2009:212) “Kanak-kanak memperoleh sistem fonologi orang dewasa dengancara menciptakan strukturnya sendiri dan kemudian mengubah struktur ini jika pengetahuannya mengenai sistem orang dewasa semakin baik. Perkembangan fonologi ini melalui asimilasi dan akomodasi yang terus menerus mengubah struktur untuk menyelaraskannya dengan kenyataan.”
Ingram (dalam Chaer, 2009:213) menegaskan kita harus mengakui adanya ketiga peringkat perkembangan fonologi kanak-kanak. Perkembangan fonologi kanak-kanak harus dapat menerangkan tiga peringkat yaitu, persepsi, organisasi, dan pengeluaran. Karena fonologi membicarakan kontras-kontras dan berusaha memberikan satu pengucapan pada tiap morfem, maka kanak-kanak haruslah berusaha memperoleh kontras-kontras dalam pengucapan-pengucapan itu.
Tahap-tahap pemerolehan fonologi yang dibuat Ingram sejalan dengan tahap-tahap perkembangan kognitif dari Piaget. Pada tahap persepsi yang belum prosuktif itu terdapat dua subtahap yaitu tahap vokalisasi praucapan dan tahap fonologi primitif (Chaer, 2009:213).
Menurut Chaer (2009:214) tahap vokalisasi praacuan adalah tahap sebelum kata-kata pertama muncul yang dimulai dengan mendekut ketika berumur empat bulan. Kemudian diikuti dengan membabel. Menurut Ingram membabel ini bukanlah kegiatan semaunya, melainkan merupakan suatu kegiatan yang agak teratur dan maju berkelanjutan. Membabel ini bukan merupakan satu latihan, melainkan ada hubungannya dengan seluruh [roses pemerolehan fonologi.
Chaer (2009:214) menjelaskan tahap fonologi primitif muncul pada tahap satu kata (holofrasis) dlam pemerolehan sintaksis. Tahap ini pun belum produktif karena kanak-kanak belum memperoleh rumus-rumus fonologi yang sebenarnya. Sesudah menganalisis data ucapan dari sejumlah kanak-kanak, Ingram menyimpulkan bahwa teori Jakobson tidak seluruhnya benar. Umpamanya, menurut teori Jakobson bentuk suku kata pertama yang muncul adalah KV atau reduplikasinya KVKV; tetapi menurut data bentuk VK juga banyak muncul. Begitupun bentuk pengulangan yang ditemukan sangat berlainan antara kanak-kanak yang satu dengan kanak-kanak yang lain.
Pada tahap pengeluaran yakni tahpa pengeluaran yang aktif, yang dimulai ketika berusia satu tahun setengah terdapat dua peristiwa penting yaitu terjadinya pertumbuhan kosakata dengan cepat dan munculnya ucapan-ucapan dua kata. Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengembangkan kemampuannya untuk menentukan bunyi-bunyi ucapan yang dapat dipakai untuk menyatakan perbedaan makna. Tahap ini berlangsung sampai kanak-kanak berumur tiga tahun enam bulan (Chaer, 2009:214).
Menurut Chaer (2009: 214—215) pemerolehan setiap bunyi tidak terjadi secara tiba-tiba dan sendiri-sendiri, melainkan secara perlahan-lahan dan berangsur-angsur. Ucapan kanak-kanak selalu berubah antara ucapan yang benar dan tidak benar secara progresif sampai ucapan seperti orang dewasa tercapai. Pemerolehan fonologi kanak-kanak terjadi melalui bebrapa proses penyederhanaan umum yang melibatkan semua kelas bunyi.

  B.              Pemerolehan Sintaksis
Pemerolehan sintaksis terjadi ketika seorang anak berumur 2;0. Para ahli menganggap pemerolehan sintaksis anak dimulai sejak anak tersebut dapat menggabungkan dua kata atau lebih. Jika seorang anak telah mencapai tahap dua kata atau lebih, ucapan-ucapannya akan semakin banyak dan mudah ditafsirkan.
Ada lima teori mengenai pemerolehan sintaksis yaitu: teori tata bahasa pivot, teori hubungan tata bahasa nurani, teori hubungan tata bahasa dan informasi situasi, teori kumulatif kompleks, dan teori pendekatan semantik (Chaer, 2009:183--191). Kelima teori tersebut akan diuraikan satu per satu sebagai berikut.

  1.            Teori Tata Bahasa Pivot
Ahli yang pertama mulai mengkaji pemerolehan sintaksis anak adalah Braene, Bellugi, Brown, Fraser, Miller, dan Ervin. Hasil dari kajian mereka menyebutkan bahwa ucapan dua kata kanak-kanak terdiri dari dua jenis kata menurut posisi dan frekuensi munculnyanya kata-kata itu dalam kalimat. Dua jenis kata itu disebut kelas pivot dan kelas terbuka. Umumnya, kata-kata yang termasuk kelas pivot adalah kata-kata fungsi, dan yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata isi atau kata penuh seperti kata berkategori nomina dan verba.
Teori tata bahasa pivot menyatakan bahwa pemerolehan sintaksis kanak-kanak dimulai dengan kalimat-kalimat yang terlihat pada kata pivot. Dalam bahasa Indonesia contoh kata pivot adalah mau, akan, sudah, dan belum. Pembagian kata-kata pivot dan kelas terbuka hanya mencerminkan bahasa Inggris.
Teori tata bahasa pivot menyimpulkan bahwa ucapan dalam kalimat dua kata oleh anak-anak telah menunjukkan penggunaan bahasa yang lebh produktif dibandingkan dengan penggunaan bahasa pada tahap holofrasis.

  2.       Teori Hubungan Tata Bahasa Nurani
Ahli yang mencetuskan teori hubungan tata bahasa nurani adalah Chomsky dan Neil. Mereka berpendapat bahwa sejak lahir anak telah dibekali pengetahuan tata bahasa. Hal itu akan mempengaruhi pemerolehan sintaksis anak. Contoh hubungan tata bahasa yang telah dimiliki anak secara nurani adalah subject-of yang dirumuskan menjadi K→FN + FV (K= Kalimat, FN= Frasa Nomina, FV= Frasa Verba). Neil mengemukakan bahwa ucapan-ucapan dua kata atau lebih dari anak dapat diananlisis berdasarkan hubungan-hubungan yang digambarkan dalam ucapan itu. Ucapan-ucapan dua kata yang diungkapkan anak telah mempunyai struktur dan bukan lahir sewenang-wenang.
Neil mengelompokkkan ucapan-ucapan dua kata anak menjadi tiga kelas yaitu nomina, verba, dan pivot. Kemudia gabungan ketiga kelas tersebut adalah P+FN, N+N, V+N. dan N+V.Neil juga berpendapat bahwa besarnya struktur sintaksis menentukan urutan pemerolehan sintaksis anak dan rumus subjek predikat akan lebih dulu dikuasai anak-anak.
Teori hubungan tata bahasa nurani ini mendapat kritik dari sejumlah pakar. Schlesinger mengkritik bahwa hubungan tata bahasa dalam ucapan dua kata anak mungkin saja cermin dari konsep-konsep pelaku dan tindakan dan bukan hubungan tata bahasa subjek-of dan verb-of. Selanjutnya, Bowerman menyatakan bahwa usaha anak-anak menggabungkan kata-kata merupakan temuan anak-anak tersebut dalam menyampaikan hubungan-hubungan semantik dan bukan merupakan kemampuan anak secara nurani.

  3.  Teori Hubungan Tata Bahasa dan Informasi Situasi
Ahli yang mencetuskan teori hubungan tata bahsa dan informasi situasi ini adalah Bloom. Menurutnya, hubungan tata bahasa tanpa merujuk pada informasi situasi (konteks) belum cukup untuk menganalisis ucapan dua kata anak-anak, melainkan perlu diperhatikan informasi situasinya. Contoh ketika seorang anak menyebutkan “Ibu kue”, dalam situasi yang berbeda-beda dapat diartikan si anak meminta kue, si anak memberi kue kepada ibunya, si anak memakan kue, dan sebagainya.
Bloom berpendapat bahwa gabungan-gabungan kata yang digunakan anak tidak muncul secara nurani. Ha itu disebabkan karena gabungan kata yang digunakan anak tidak banyak jumlahnya. Menurut Bloom, gabungan kata yang muncul dalam ucapan anak-anak meruakan hubungan-hubungan yang menjadi bagian dari bahasa kanak-kanak.
Gabungan kata-kata anak yang tidak dikaitkan dengan situasi akan bermakna ganda. Oleh sebab itu, untuk menganalisis gabungan yang meragukan itu harus dilakukan representasi yang berlainan yang disesuaikan dengan situasi digunakannya ucapan anak.
Seperti halnya teori-teori yang telah disebutkan sebelumnya, teori Bloom ini juga memiliki kekurangan. Neil belum dapat menjelaskan dari mana anak-anak mendapatkan gabungan-gabungan kata yang bisa digunakan dalam situasi berlainan.

  4.  Teori Kumulatif Kompleks
Teori kumulatif kompleks dikemukakan oleh Brown. Menurutnya, urutan pemerolehan sintaksis anak ditentukan oleh kumulatif kompleks semantik morfem dan kumulatif kompleks tata bahasa yang sedang diperoleh.
Brown meneliti tiga orang anak berusia dua tahun yang sedang memperoleh bahasa Inggris. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa si anak lebih dulu menguasai bahasa yang jarang muncul dalam ucapan orang dewasa. Sebaliknya, si anak baru menguasai bahasa yang sering diucapkan orang dewasa pada tahap 8.

  5.  Teori Pendekatan Semantik
Teori ini mengemukakan bahwa struktur dasar memberi masuka kepada komponen semantik, dan struktur luar memberi masukan kepada komponen fonologi. Salah satu teori  tata bahasa yang didasarkan pada komponen semantik diperkenalkan oleh Fillmore dengan nama tata bahasa kasus (case grammar). Fillmore mengemukakan bahwa transformasi tata bahasa tidak diatur oleh rumus sintaksis melainkan oleh hubungan semantik yang ditandai oleh kategori-kategori kasus itu. Jadi merupakan suatu keharusan menyertakan semantik dan hubungan-hubungan semantik dalam menganalisis pengetahuan tata bahasa. Teori pendekatan semantik menemukan struktur ucapan berdasarkan hubungan-hubungan semantik.

  C.     Pemerolehan Leksikon
Tangis dan gestur adalah alat yang diigunakan anak untuk menyampaikan sesuatu sebelum dia mampu mengucapkan kata. Menurut Dardjowidjojo (2010:258), saat anak senyum dan menjulurkan tangannya untuk meminta sesuatu sebenarnya anak tersebut telah memakai “kalimat” yang protedeklaratif dan protoimperatif.
Seperti halnya pemerolehan fonologi, Darjowidjojo meneliti cucunnya bernama Echa untuk meneliti pemerolehan leksikon. Echa baru mampu mengeluarkan bunyi yang dapat dikenal sebagai kata sekitar umur 1;5. Agar lebih jelas mengenai pemerolehan leksikon ini, Dardjowidjojo menjelaskan tiga hal dalam bukunya yaitu: macam kata yang dikuasai, cara anak menentukan makna, dan cara anak menguasai makna kata. Ketiga hal tersebut akan dijelaskan satu per satu sebagai berikut.

  1.       Macam Kata yang Dikuasai
Macam kata yang dikuasai anak dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Dardjowidjojo menyebutnya prinsip sini dan kini. Apabila seorang anak tinggal di perkotaan dan dirawat oleh orangtua yang berkecukupan. Si anak akan memperoleh kata-kata nomina yang berada dekat dengannya seperti bola, kucing, anjing, sepatu, kelinci, dan sebagainya. Sebaliknya, apabila seorang anak dibesarkan di lingkungan pedesaan, anak tersebut akan memperoleh kata padi, bebek, sawah, cangkul, sapi,dan sebagainya.
Anak-anak lebih dulu menguasai kata utama (nomina, verba, dan adjektiva). Dari hasil peneliatian Dardjowidjojo terhadap cucunya, Echa lebih banyak menguasai nomina daripada verba. Selama lima tahun Echa memiliki kemampuan menguasai nomina rata-rata 49%, verba menduduki posisi kedua dengan rata-rata 29%, adjektiva menduduki posisi ketiga dengan rata-rata 13%, dan kata fungsi paa urutan terakhir dengan rata-rata 10%.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa anak memperoleh hirarki kata kategori dasar, yakni tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Contoh untuk menyebutkan perkutut Bangkok, anak tidak akan menyebutnya binatang atau makhluk, perkutut Bangkok, atau perkutut sekalipun. Anak lebih memilih menyebut perkutut Bangkok dengan burung. Input penyebutan tersebut berasal dari bahasa ibu si anak.

  2.       Cara Anak Menentukan Makna
Menurut Dardjowidjojo, dalam hal penentuan makna suatu kata, anak mengikuti prinsip-prinsip universal yang di antaranya overextension (penggelembungan makna). Anak-anak cenderung mengambil salah satu fitur makna ketika diperkenalkan dengan konsep baru. Contohnya Echa yang diperkenalkan dengan semut, dia mengambil fitur ukuran untuk mengenali semut tersebut yaitu berukuran kecil. Hal itu menyebabkan, pada saat Echa melihat nyamuk, dia juga menyebut nyamuk tersebut dengan semut karena sama-sama berukuran kecil.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa penggelembungan dapat berdasarkan bentuk, ukuran, gerakan, bunyi, dan tekstur. Di samping penggelembungan, anak juga memakai underextension(penciutan makna). Anak akan mebatasi makna hanya pada referen yang dirujuk sebelumnya. Contohnya Echa yang melihat boneka beruang di rumahnya dinamai dengan Tedy Bear, tetapi beruang yang dia lihat di buku atau televisi dinamai beruang.

  3.       Cara Anak Menguasai Makna Kata
Dardjowidjojo menemukakan bahwa anak tidak menguasai makna kata secara sembarangan melainkan menggunakan strategi. Misalnya ketika anak menggunakan strategi pertama yaitu strategi referensi dengan menganggap bahwa kata pastilah akan merujuk pada benda, perbuatan, proses, atau atribut. Contoh bila kata cabai, anak akan melekatkan kata cabai dengan benda berwarna merah.
Strategi kedua adalah strategi cakupan objek. Pada strategi ini, kata yang merujuk pada suatu objek akan merujuk pada keseluruhan objek itu. Contoh sepeda akan merujuk pada benda yang yang memiliki roda, rantai, ban, tempat duduk, dan sebagainya.
Strategi ketiga adalah strategi peluasan. Strategi ini mengasumsikan bahwa kata tidak hanya merujuk pada pada objk aslinya tetapi juga pada objek-objek lain dalam kelompok yang sama. Contoh anak yang diperkenalkan dengan kucing yang berbulu hitam akan menyebut kucing yang berbulu putih sebagai kucing.
Strategi keempat adalah cakupan ketegorial. Strategi ini menyatakan bahwa kata dapat diperluas pemakaiannya untuk objek-objek yang termasuk dalam kategori dasar yang sama. Contoh burung perkutut sebagai burung yang memiliki sayap, maka ketika melihat beo, merpati, dan jenis burung lainnya akan tetap disebut si anak sebagai burung.
Strategi kelima adalah nama baru-kategori tak bernama. Strategi ini adalah strategi yang digunakan si anak ketika ia mendengar kata baru tetapi belum menemukan rujukannya, maka si anak akan menganggap kata tersebut sebagai kata baru dan menempelkan maknanya kepada objek, perbuatan, atau proses yang dirujuk kata itu.
Strategi keenam adalah konvensionalitas. Strategi ini digunakan untuk mengenalkan hal-hal di sekitarnya dengan bahasa yang kira-kira mudah dipahami anak. Contoh ketika mengenalakan burung perkutut Bangkok, anak akan dikenalkan dengan sebutan burung yang nerujuk pada perkutut Bangkok tersebut.
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa anak-anak lebih mudah menguasai kata-kata yang bermakna konkret daripada bermakna abstrak. Anak akan lebih mudah mengenali kata kursi daripada agama. Selain itu, anak juga akan sulit memahami kata-kata yang memiliki pengertian relatif seperti besar, kecil, keras, pelan, luas, sempit, dan sebagainya.

    D.            Pemerolehan Morfologi
Santoso dalam Putri (2014:6) menyatakan morfem berdasarkan bentuknya ada dua macam yaitu morfem bebas dan terikat. Morfem bebas adalah morfem yang mempunyai potensi untuk berdiri sendiri sebagai kata dan dapat langsung membentuk kalimat sedangkan morfem terikat merupakan morfem yang belum memiliki arti, maka morfem ini belum mempunyai potensi sebagai kata. Untuk membentuk kata, morfem harus digabung dengan morfem bebas. Morfem terikat ada dua macam morfem terikat morfologis dan morfem terikat sintaksis. Morfem terikat morfologis yakni morfem yang terikat pada sebuah morfem dasar yaitu prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran) dan konfiks (imbuhan gabungan). Pada anak-anak usia dini sudah dapat membentuk beberapa morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan.
Putri (2014:6) menyebutkan bahwa ujaran pada anak-anak yang berumur 2-3 tahun belum muncul morfem yang memeroleh afiksasi, bahkan banyak morfem yang sebagian seperti /dah/ /yum/ /ma/ /nali/ yang seharusnya /sudah/, /belum/, /bersama/, /menali/. Namun pada anak yang berumur 4-5 tahun sudah muncul morfem yang mendapatkan proses afiksasi, mendapat prefiks maupun sufiks, namun infiks maupun konfiks belum muncul. pada anak yang berumur 4-5 tahun terdapat morfem yang mengalami reduplikasi. Pada anak yang berusia dua tahun belum menunjukkan pemerolehan afiksasi. Pada usia tiga tahun, pemerolehan morfologi kebanyakan kata-kata yang monomorfemik. Bentuk pasif di- juga mulai muncul pada umur tiga tahun. Pada usia empat tahun prefiks formal {ber-} dan {meN-} sudah mulai muncul walaupun masih jarang muncul. Pada usia lima tahun anak sudah mencapai perkembangan verba, netralisasi sufiks {-kan} dan {-i} yang menjadi {-in} pada /dibeliin/ yang seharusnya /dibelikan/ (Putri, 2014:7).

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono.2010. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Putri, Ary Kunti, dkk. 2014. “Pemerolehan Bahasa Indonesia pada Anak Usia Dini di Desa Beraban, Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan.” (Digilib.undiksha.ac.id. Diunduh 22 Maret 2016).

Komentar