Mata
Kuliah : Apresiasi Prosa
Kode
Mata Kuliah : IND 743
SKS : 3 SKS
Pokok
Bahasan : Mengapresiasi Aspek
Psiklogi dalamKarya Sastra
Pertemuan
Ke- : 9-10
Dosen
Pengampu : Dr. Yasnur Asri, M.Pd.
Tujuan
Pembelajaran:
Setelah mempelajari
materi ini, mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan pengertian dan ruang lingkup kajian psikologi dalam karya prosa dan
contoh kajian psikologi karya prosa.
A.
Pengertian dan Ruang Lingkup Psikologi Karya Sastra
Dengan memfokuskan pada karya sastra, terutama fakta cerita
dalam sebuah prosa fiksi ,psikologi karya sastra mengkaji tipe dan hukum-hukum psikologi
yang diterapkan pada karya sastra. Untuk melakukan kajian ini, ada dua cara
yang dapat dilakukan. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi,
kemudian diadakan analisis terhadap karya sastra (dalam hal ini karya prosa
fiksi). Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek
penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan
untuk melakukan analisis karya sastra (Ratna, 2004:344).
Kalau cara pertama yang dipilih, maka karya sastra cenderung
ditempatkan sebagai gejala sekunder, karena karya sastra dianggap sebagai gejala
yang pasif atau semata-mata sebagai objek untuk mengaplikasikan teori. Kalau
cara kedua yang dipilih, maka kita menempatkan karya sastra sebagai gejala yang
dinamis. Karya sastralah yang menentukan teori, bukan sebaliknya. Untuk
menentukan teori psikologi yang relevan untuk karya sastra tertentu, pada
dasarnya sudah terjadi dialog, yang melaluinya akan terungkap berbagai problematika
yang terkandung dalam objek (Ratna, 2004:344).
B.
Kajian Psikologi Karya Sastra
Apabila kita memilih cara yang pertama, maka sebelum membaca
karya sastra, misalnya kita sudah menentukan akan menganalisis penyimpangan
kejiwaan tokoh yang terdapat dalam karya sastra. Dengan bekal teori psikologi
abnormal, dicarilah karya sastra yang di dalamnya menceritakan tokoh yang
mengalami kasus penyimpangan kejiwaan. Setelah menemukan karya sastra yang
dicari, misalnya cerpen “Durian” karya Djenar Maesa Ayu (2002:19-30), kita akan
menganalisis bagaimana dan mengapa tokoh Hyza dalam cerpen tersebut mengalami
gangguan
kejiwaan
sehingga harus menjadi pasien seorang psikiater. Dalam cerpen “Durian”
diceritakan seorang tokoh (perempuan) bernama Hyza yang mengalami depresi
setelah bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki yang datang kepadanya dengan
membawa sebuah durian berwarna keemasan.
Hyza adalah seorang ibu, tanpa suami dengan tiga orang anak
yang masih kecil-kecil. Pada waktu berumur tujuh tahun kedua orang tuanya
meninggal dalam sebuah kecelakaan. Dia kemudian tinggal bersama kakak laki-laki
tertua ayahnya,
yang
ditunjuk sebagai walinya. Ketika usianya baru sembilan tahun, dia diperkosa
oleh walinya tersebut. Masa lalunya yang kelam mempengaruhi kehidupan
seksualnya setelah remaja. Hyza bercinta dengan banyak laki-laki. Dia tidak
pernah
malu
menyatakan keinginan seksualnya kepada siapa pun yang diinginkannya, sampai
akhirnya dia melahirkan tiga orang anak (Ayu, 2002:20).
Dalam mimpinya tersebut Hyza sangat ingin mencicipi durian
tersebut, namun laki-laki itu bersikeras akan memberikan durian keemasan itu
hanya jika Hyza bangun dari tidurnya. Sebenarnya, sepanjang hidupnya Hyza tidak
pernah mau makan durian, karena waktu masih sangat kecil ia pernah makan durian
dengan sangat lahap. Ketika durian itu habis, perutnya lantas membesar,
kemudian Hyza kemudian melahirkan seorang bayi perempuan berpenyakit kusta. Ia
tidak pernah menceritakan kepada siapa pun perihal mimpinya itu dan bersumpah
tidak pernah makan durian dan menjaga keturunannya dari kutukan penyakit kusta
(Ayu, 2002:20).
Setelah bangun dari tidurnya, Hyza menemukan durian keemasan
itu berseinar terang dalam kegelapan kamarnya. Durian tersebut kemudian
disimpannya dalam gudang. Namun wangi durian tersebut terus mengikuti dan
menggodanya. Hyza kemudian membuang durian itu ke bak sampah di depan rumahnya.
Durian tersebut kemudian diambil oleh Bi Inah, yang juga tergoda oleh wangi
durian tersebut. Terjadilah pertengkaran antara Hyza denga Bi Inah yang ingin
memiliki durian tersebut. Pada akhirnya durian emas tersebut disimpan di dalam
kamar Bi Inah. Namun, Hyza tidak pernah dapat melupakan durian tersebut.
Pikirannya hanya terpaku pada dunia itu.
Durian keemasan yang sangat menggiurkan. Untuk mengatasi
masalahnya, Hyza telah mengkonsumsi obat penenang dari psikiater. Di samping
itu, dia juga mulai minum minuman keras dan kembali ke pergaulannya yang dulu,
pergaulan bebas. Pada suatu hari, dalam keadaan mabuk ia mengambil durian dari
kamar Bi Inah dan menukarnya dengan durian palsu yang sudah dilapisi emas. Hyza
membuang durian tersebut ke tong sampah, tetapi kemudian diambilnya lagi dan
membuangnya ke kali. Setelah durian hanyut ke kali, Hyza masih memburu durian
tersebut dengan berlari menyusuri kali, sampai akhirnya bertemu dengan segerombolan
laki-laki pemabuk yang kemudian memperkosanya bergantian habis-habisn (Ayu, 2002:27-28).
Setelah selama sebulan Hyza tidak berselera makan karena hanya
menginginkan durian berwarna keemasan dan beraroma sangat menggiurkan, dia
bermimpi kembali. Dalam mimpinya dia bertemu kembali dengan laki-laki yang
pernah menemuinya dalam mimpi terdahulu. Laki-laki itu bertanya kepadanya:
“Sudahkah kamu mencicipi durian itu?” “Lalu mengapa kamu tetap menyimpannya?”
Ketika
Hyza terbangun, dia berbegas mencari durian keemasan itu ke kamar Bi Inah, tapi
durian tersebut tidak ada. Kemudian, dia membangunkan anak-anaknya untuk
bersiap-siap ke sekolah. Dia sangat terkejut ketika melihat ketiga anaknya
sudah terjangkit penyakit kusta (Ayu, 2000:29-30).
Membaca perjalanan hidup tokoh Hyza dalam cerpen “Durian”
dengan menyandarkan pada teori psikologi, kita akan melihat bagaimana tokoh
dengan masa lalu yang kelam telah mengalami perkembangan kejiwaan yang tidak
normal. Sebagai korban pelecehan seksual pada masa kecil, dia telah berkembang
menjadi seorang perempuan yang cenderung seks mania. Dalam cerpen ini
dideskripsikan bagaimana Hyza yang baru berumur dua belas tahun telah
memperkosa teman
sekelasnya.
Sewaktu Hyza bermur dua belas tahun ia mengajak teman
sekelasnya yang berbama Stefan untuk menginap di rumahnya. Hyza hanya tinggal
bersama dengan tiga orang pembantu… Ketika Stefan tertidur, Hyza mulai
memperkosa Stefan. Ia mengunyah bibir Stefan, melucuti bajudan memuaskan
kehendaknya di atas tubuh Stefan yang tetap pura-pura tertidur. Keesokkan
harinya Hyza berkata, “Stefan, saya tahu kamu tidak tidur.”
Stefan tidak menjawab. Ia hanya bertanya tanpa melihat ke mata
Hyza, “bagaimana kalau kamu hamil?” Hyza tertawa. “Stefan, saya tidak akan
hamil. Saya
tidak
makan durian…” (Ayu, 2002: 20-21).
Durian yang berhubungan dengan kenikmatan yang sangat didamba
Hyza, --bahkan dia dapat mengalami orgasme hanya membayangkan telah
menikmatinya--, dimunculkan dalam mimpi Hyza dalam cerpen ini. Dalam tafsir
mimpi Freud hal ini
menunjukkan
adanya hasrat kenikmatan dan ketakutan terpendam yang direpresi dalam diri
Hyza. Kenikmatan seksual dan ketakutan akan hamil dan melahirkan anak
berpenyakit kusta.
Ketika Hyza kembali ke dalam kamarnya, wangi durian keemasan
itu masih tertinggal. Ia tidak dapat memejamkan mata, wangi durian itu merasuki
jiwanya. Memenjakan penciumannya. Membawa khayalnya melayang tinggi menembus
langitlangit, beterbangan bersama kelap kelip gemintang. Ia ingin mengiris
durian keemasan itu dengan sebilah pisau berkilat yang tajam ia ingin membelah
durian itu dengan kedua belah tangannya perlahan hingga durian itu meregang
terputus jadi dua bagian. Ia ingin menjilati tangannya yang sedikit berdarah
tergores duri dan terkena daging buah durian yang sedikit men yeruak ketika ia
membukanya, lalu mengambil sebuah dengan tangannya, memasukkan perlahan ke
dalam mulutnya yang basah, dan mengisapnya penuh dengan lidahnya hingga
yangtertinggal hanya bijinya yang kini sudah sangat bersih. Hyza mengerang
pelan, lalu orgasme. (Ayu,
2002:22).
Depresi yang dialami Hyza, seperti digambarkan di awal cerpen,
terjadi karena dia tidak kuat lagi menghadapi kenyataan bahwa mimpinya tentang durian
dan penyakit kusta yang menyerang anakanaknya menjadi kenyataan. Depresi itu
menjadi semakin berat karena Hyza tidak mampu menceritakan kepada psikiaternya
tentang mimpi anehnya itu.
Sudah hampir genap sebulan Hyza tidak berselera makan. Berat
badannya menurun drastis, keceriaannya hilang, jantungnya berdebar-debar tanpa
sebab pasti
dan
kerap terserang panik secara tiba-tiba. Hyza sudah menemui seorang psikiater
yang ternyata hanya mampu memberinya obat penenang dan penambah nafsu makan sebagai
solusi tunggal. Hyza memang tidak pernah terbuka menceritakan kepada psikiater penyebab
kegundahannya. Ia malu dan sangat takut jika psikiaternya menyatakan bahwa dia
gila dan harus mendapat perawatan di rumah sakit jiwa. Ia tak mampu mengatakan
bahwa penyebab sumua ini adalah sebuah durian. (Ayu, 2002:19).
Teori psikologi tentang gannguan kejiwaan seperti depresi dan
kecemasan, penyebab dan akibatnya, cara mengatasinya dapat digunakan untuk
menjelaskan (bahkan juga mendiagnosa) kondisi kejiwaan dan apa yang tokoh Hyza
dalam cerpen “Durian”. Dengan memilih cara kedua, maka kita dapat mulai dengan
membaca dan memahami sebuah karya sastra, misalnya novel, cerpen, atau drama dengan
memfokuskan pada tokoh dan perwatakannya. Dalam hal ini latar dan alur dalam novel
hadir dalam rangka mendukung perwatakan tokoh. Dalam membaca dan memahami
tokoh, aspek kejiwaan (psikologi) tokohlah yang perlu mendapatkan perhatian.
Agar dapat memahami dan menginterpretasikan aspek kejiwaan tokoh, maka kita
harus memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan hukum-hukum psikologi.
Cara kedua ini pernah dilakukan oleh M.S. Hutagalung (1968)
ketika menganalisis novel Jalan Tak
Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Pada karya Hutagalung, kajian psikologi
merupakan salah satu dari kajian lainnya yang dipakai, yaitu latar belakang
pengarang dan karyanya, struktur naratif, gaya bercerita, sosiologi, dan
filsafat eksistensialisme.
Kajian tersebut terdapat dalam buku berjudul Jalan
Tak Ada Ujung Mochtar Lubis (Gunung Agung, 1963). Buku tersebut,
awalnya merupakan skripsi untuk mencapai tingkat Sarjana Muda kesusastraan
modern di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Pada kajian psikolgi sastra, yang diberi subjudul “Pengaruh
Sistem Ilmu Jiwa Dalam pada Jalan Tak Ada Ujung”,
Hutagalung mendeskripsikan adanya soal nafsu-nafsu seksual, lapisan tak sadar dan
penekakan-penekanan terhadapnya, soal-soal mimpi, soal-soal kecemasan dan
ketakutan, dan superego dalam novel Jalan Tak Ada Ujung.
Dalam hubungannya dengan soal nafsunafsu seksual, Hutagalung
(1968:48) menunjukkan betapa besar pengaruh kelemahan syahwat Guru Isa pada
jiwanya dan betapa gembiranya waktu impotensinya hilang, yang menunjukkan
besarnya pengaruh nafsu seksual pada diri manusia, seperti dikemukakan darai
teori Freud. soal nafsu-nafsu seksual juga ditemukan pada peristiwa
serdaduserdadu Sikh yang masih sempat meraba-raba dada isteri seorang tuan
rumah, biarpun dalam keadaan
perang,
kenang-kenagan Mr. Kamarudin tentang kepuasannya dengan wanita - wanita di luar
rumah tangga, gurauan Rachmat dan Hazil ketika hendak melempar granat di saat
perang, yang mengatakan, “Boleh ini Hazil. Lihat goyang pantatnya,” ketika melihat
seorang wanita lewat.
Hutagalung (1968: 49) mengemukakan pada tokoh Guru Isa Nampak
sekali pengaruh pandangan Freud tentang lapisan tak sadar dari jiwa manusia. Peristiwa:
Isa menutup mukanya dengan kedua belah matanya, dan mengerang perlahan-lahan.
Dia tidak tahu. Tapi apa yang dirasanya sekarang ialah reaksi yang lambat yang
sekarang timbul dari perasaan ketakutannya yang tertekan tadi.
Pelukisan ini sesuai dengan system Freud tentangbalam tak
sadar sebagai sumber neorosis atau sakit syaraf karena individu mencoba membuang
ke daerah kenang-kenangannya yang tak ia sukai dan harapan-harapannya yang
berakhir dengan kekecewaan-kekecewaan. Demikian juga ketika Guru Isa menekan
keinginannya untuk memeluk dan bercinta dengan istrinya karena impotensi yang
dialaminya akan mengecewakan istrinya.
Soal mimpi, yang banyak dibahas oleh Freud, juga ditemukan
dalam Jalan Tak Ada Ujung.
Mimpi menurut Freud memiliki tugas sebagai alat pemuas bagi Id yang pada waktu
keadaan sadar dalam kehidupan tidak dapat dipuaskan. Dalam novel tersebut,
Fatimah sering memimpikan Hazil, Guru Isa selalu bermimpi hal-hal yang sangat menakutkan,
sering bermimpi melihat “jalan tak ada ujung” (Hutagalung, 1968: 50).
Hutagalung (1968:50-51) juga mengemukakan bahwa kecemasan dan
ketakutan yang dialami Guru Isa sangat mirip dengan konsepsi Freud. Kecemasan
yang dialami Guru Isa nampaknya termasuk kecemasan neorotis atau syaraf. Kecemasan
ini ditimbulkan oleh ketakutan tentang apa yang mungkin terjadi. Kecemasan ini
menjadi sifat orang gelisah, yang selalu mengira bahwa sesuatu yang hebat akan
terjadi, seperti yang dialami Guru Isa. Di samping itu, Hutagalung (1968:51-52)
juga menunjukkan bahwa gerak-gerik tokoh-tokoh dalam Jalan
Tak Ada Ujung memiliki lapisan superego yang mempengaruhi
kelakuankelakuannya.
C.
Rangkuman
Dengan memfokuskan pada karya sastra, terutama fakta cerita
dalam sebuah fiksi atau drama, psikologi sastra mengkaji tipe dan hukumhukum psikologi
yang diterapkan pada karya sastra. Untuk melakukan kajian ini, ada dua cara
yang dapat dilakukan. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi,
kemudian diadakan analisis terhadap karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu
menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan
teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis karya
sastra.
D.
Latihan
1. Jelaskan wilayah
kajian psikologi karya sastra dengan memberikan contoh kasus
karya sastra Indonesia.
2. Jelaskan cara-cara yang dapat
dilakukan melakukan kajian psikologi karya sastra dengan memberikan contoh kasus karya sastra
Indonesia.
3. Berikan contoh kajian psikologi karya
sastra dengan memberikan contoh kasus karya sastra Indonesia.
Kabut
Ibu
(Sumber Kompas)
(Sumber Kompas)
Dari
kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah
pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga
merebak ke teras depan.
Awalnya,
orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu
mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api
sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang
bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, ”Begitulah
rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk.”
***
Peristiwa
itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti
warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi.
Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap
tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di
ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka
perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang
disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama
Tuhan.
Beberapa
saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang.
Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami
untuk pergi ke rumah abah (bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan,
yang jaraknya tidak terlampau jauh.
Masih
lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan
pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera
kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam
kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku.
Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan melemparkan diri
di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah
mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.
Malam
itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di
luar riuh oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api
sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata.
Subuh
paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu
sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi
di kamarnya.
Selepas
duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang
duluan, begitu kata abah.
Sesampainya
di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya
yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan
pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan
teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang mengering. Buru-buru
abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku
melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam
pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.
”Mengapa
kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.
”Rumahmu
masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta
untanya.
”Kotor
kenapa, Bah?”
Abah
terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”
”Banjir?
Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”
”Ya
banjir.”
”Banjir
darah ya, Bah, kok warnanya merah.”
”Hus!”
***
Berselang
jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku
tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.
”Jangan
ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput
ibumu.”
Aku tak
tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini
masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar
dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini
seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar,
baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas
lega. Menyongsong abah.
Abah
tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya
kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam
menghitam.
Ketika
kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang
sakit. Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab.
Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan
bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki,
perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran mereka pernah hidup.
Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah
tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.
***
Semenjak
hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah.
Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta
tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada
sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu
seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya
diam, sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke
dinding dan terdiam lagi.
Ibu
memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke
kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir
rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal
yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.
Lelah
sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul
tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan
jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami
menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku,
ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut
tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari
air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.
***
Pada
akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka
pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah,
semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan
pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela
kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa kali
kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak
tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan
sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan
mata kami.
Sementara,
kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa
melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk
mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami
benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan.
Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus
menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah
berdebam di tanah.
Aku dan
abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan
kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu
benar-benar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa
di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi.
Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat
atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang
kian menipis dan hilang.
Kami
masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor
kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu
melaju, berbilang pekan dan bulan, tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga
keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul
dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan
bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya.
Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak
pernah ada kikisnya.
***
Akhirnya,
aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut
itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang
tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak
perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami
adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena,
kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana
ia menelan ibu.
A.
Kajian Psikologi
Untuk
mendapatkan kajian psikologi dalam cerpen, salah satu cara yang dapat digunakan
adalah melalui
pemahaman teori-teori psikologi, kemudian mengadakan analisis terhadap cerpen
tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis mencoba menemukan kajian
psikologis dalam cerpen “ Kabut Ibu
“. Dalam cerpen tersebut akan dianalisis bagaimana dan mengapa
tokoh ibu si aku (ibu pengarang) mengalami gangguan kejiwaan sehingga harus berdiam
diri di kamar hingga menghilang.
Dalam cerpen “ Kabut Ibu” diceritakan seorang tokoh
(perempuan) yang tidak disebutkan namanya, melainkan hanya disebut
Ibu yang mengalami
depresi setelah ikut berperang bersama suaminya di rumah dan
lingkungan sekitarnya, yang akhirnya membuat suaminya meninggal.
Si ibu dari
pengarang ini awalnya hidup bersama satu putri dan suaminya. Mereka menjalani
hidup sebagaimana keluarga normal. Namun semenjak Oktober 1965 tepatnya malam
hari, suatu peristiwa terjadi. Peristiwa itu adalah sebuah perang yang
melibatkan ayah si pengarang. Akibat kekacauan itu, tokoh ayah menjaga anak dan
istrinya dengan cara menyuruh keluarganya bersembunyi di kamar. Karena situasi
tidak kunjung aman, akhirnya si ayah berinisiatif menyuruh anak dan istrinya
pergi ke rumah kakek si pengarang/si aku.
Tidak
diduga, ternyata pertemuan si ayah dengan anak dan istrinya pada situasi kacau
tersebut adalah pertemuan terakhir mereka. Tokoh si ayah ikut berperang yang
akhirnya merenggut nyawanya. Dan pada saat itu, si ibu menyaksikan sendiri
kekacauan yang terjadi, bahkan menyaksikan kematian suaminya.
Semenjak
peristiwa perang dan meninggalnya suami si ibu, maka si ibu mengalami perubahan
dari segi psikologisnya. Ia merasa trauma dengan kejadian itu. Pada dasarnya
manusia memangg kerap mengalami perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku
tersebut ada yang mengarah ke positif ada pula yang mengarah ke negatif. Kemana
arah perubahan tingkah laku manusia ditentukan oleh peristiwa atau hal-hal yang
dialami oleh manusia itu sendiri. Jika peristiwa yang dialami manusia adalah
hal-hal baik yang merangsang manusia senang atau bahagia, maka manusia tersebut
akan mebgalami tingkah laku yang memotivasi ia untuk selalu merasakan kebahagian.
Sebaliknya, apabila yang dialami manusia dalam hidupnya adalah kekecewaan,
kekalutan, kesedihan, kesengsaraan, atau segala sesuatu yang tidak
menyenangkan, maka manusia tersebut juga akan trauma atau depresi, putus asa,
bahkan cenderung menjuhkan diri dari lingkungan. Karena manusia tersebut telah
beranggapan bahwa lingkungannya hanya akan membuatnya sedih dan sengsara, maka
ia memilih menyendiri pada tempat yang tidak dapat bertemu dengan orang lain.
Umumnya
untuk menyendiri, manusia yang mengalami trauma akan berdiam diri di kamar,
rumah, gunung, hutan, atau dimanapun tempat yang dianggapnya nyaman untuk
dirinya sendiri tanpa bertemu orang lain. Selain menyendiri, akibat lain dari
trauma adalah tidak mau makan. Manusia tersebut menganggap tidak ada lagi
gunanya makan. Mereka beranggapan bahwa makan hanya untuk hidup, sedangkan
manusia yang mengalami trauma umumnya tidak lagi mau hidup. Mereka tidak lagi
bersemangat menjalani hari-harinya. Mereka cenderung menyiksa diri agar segera
pergi meninggalkan dunia ini.
Demikian
halnya yang dirasakan oleh tokoh si ibu dalam cerpen “Kabut Ibu” ini. Tokoh si ibu mengalami trauma atas kekacauan yang
pernah terjadi di lingkungan sekitarnya, terlebih lagi kekacauan itu membuat ia
kehilangan suaminya untuk selama-lamanya. Akibat trauma tersebut, tokoh si ibu
yang dulu berprilaku seperti manusia normal berubah menjadi seperti orang yang
tidak waras. Gangguan psikologis yang ia rasakan berdampak buruk pada dirinya
sendiri. Ia menjauhkan diri dari lingkungan sosial yakni masyarakat. Bukan
hanya itu, bahkan terhadap anak dan ayah mertuanya ia menjauhkan diri. Ia
memilih berdiam diri di kamar. Ia tidak berselera dan bahkan mebiarkan makanan
membusuk di hadapannya. Akibat trauma yang ia hadapi, ia juga menangis tiada hentinya.
Akibat terlalu lama menangis, air matanya berkabut, sehingga dari kamarnya
selalu muncul kabut-kabut yang membuat tetangga-tetangganya menganggap rumah
abah si aku sebagai rumah setan dan tak bertuhan.
Peristiwa
yang dialami tokoh si ibu membuat kondisi psikologisnya rusak. Ia hanya
mengenal dirinya sendiri dan mengeluarkan kabut dari kamarnya akibat menangis
tiada henti. Suatu waktu, tokoh si aku dan abahnya mendobrak kamar si ibu,
namun aneh. Si ibu menghilang. Ia tidak ditemukan di kamarnya. Akhirnya tokoh
si aku dan si abah memutuskan untuk membiarkan kamar tesebut tertutup rapat dan
tetap mengeluarkan kabut.
Komentar
Posting Komentar