Tembiluk
Karya: Damhuri Muhammad
Di masa silam, anjing
itu tak lebih dari anjing biasa, milik seorang tuan yang mendalami ilmu hitam.
Puncak kedigdayaan
ilmu hitam itu adalah hidup abadi, alias tak bisa mati. Namun, setiap
kaji-penghabisan tentulah membutuhkan pengujian, agar pencapaiannya benar-benar
tak diragukan. Maka, pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya
hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah
mumbang jatuh dari pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor
anjingnya, disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan
sesat seperti dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena
ia hanya sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya.
Sembari menunggu jasad
anjing tanpa kepala benar-benar tergeletak sebagai bangkai, dengan pisau yang
sama, ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan sebutir kepala
menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang darah,
ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke masing-masing badan.
Celakanya, tuan itu keliru. Ia menancapkan kepalanya ke leher anjing.
Sebaliknya, melekatkan kepala anjing ke batang lehernya, hingga pada malam itu
terwujudlah seekor anjing berkepala manusia, dan seorang manusia berkepala
anjing. Seketika, kedua makhluk ganjil yang tak direncanakan itu melesat lari
menuju arah yang berlawanan. Dan, selama bermusim-musim mereka tidak pernah
bertemu.
Puluhan tahun
kemudian, di malam gelap-bulan orang-orang kampung Lubuktusuk mendengar bunyi
gemerincing rantai akibat gesekan-gesekan dengan kerikil jalan. Anjing
berkepala manusia dipercayai sedang berkeliling kampung, mencari kepalanya yang
telah berpindah ke lain tubuh. Gemerincing itu mengerikan. Orang yang terbilang
paling berani berhadapan dengan jinaku atau hantu-belau sekalipun, bila
mendengarnya tetap saja gamang. Ketimbang turun, dan memeriksa asal bunyi ke
halaman, ia lebih memilih merapatkan selimut kain sarung. Bagi yang terbangun,
akan berupaya tidur kembali hingga terbebas dari mendengar bunyi itu. ”Hantu
pemburu”, begitu mereka menamainya. Bukan pemburu babi, sebagaimana
anjing-anjing biasa, tapi pemburu kepala sendiri, yang sudah hilang selama
berpuluh-puluh tahun.
***
Kenapa mereka hanya
memercayai bahwa yang beralih-rupa menjadi hantu adalah anjing berkepala
manusia? Ke mana perginya tuan pemilik anjing yang sudah pula beralih-wujud
menjadi manusia berkepala anjing? Bukankah beberapa saat menjelang subuh, di
kampung itu juga terdengar suara lolongan yang meremangkan segala macam bulu?
Lolongan yang tersimak bagai rintihan kesakitan, dan sekali waktu terdengar
bagai isyarat meminta pertolongan. Apakah tidak ada kemungkinan bahwa suara itu
datang dari mulut manusia berkepala anjing? Tak ada yang berpikir sejauh itu.
Mereka menganggap tuan pemilik anjing telah raib sejak peristiwa malam keramat.
Perihal kehilangan itu, ada dua riwayat yang tertanam di Lubuktusuk.
Pertama, selepas malam
celaka itu, tuan yang setelah diurai silsilahnya ternyata bernama Tungkirang, hengkang dari Lubuktusuk. Mustahil ia
bertahan di kampung dengan gelar ”anjing” di belakang namanya, dan lebih tak
mungkin lagi, mempertontonkan tabiat anjing di tengah-tengah kampung. Ia
bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak Sicupak, hutan pekat yang pada masa
itu belum terjamah. Di sana ia membuat sarang yang tersuruk di kedalaman
belukar. Dimangsainya segala macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang,
hingga ular dan biawak. Tatkala rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang,
beberapa pencari kayu gaharu dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka telah
diterkam oleh Tungkirang, manusia berkepala anjing. Itu sebabnya, di masa kini,
orang-orang yang bepergian melewati Puncak Sicupak, melepaskan seekor anak ayam
ke dalam rimbun semak, sebagai penghormatan pada Tungkirang.
Kedua, Tungkirang bertolak ke kota.
Zaman itu, jalan belum diaspal, dan setiap perjalanan masih ditempuh dengan
pedati, atau berjalan kaki. Namun, Tungkirang menapakinya dengan berlari
secepat mungkin. Siang ia bersembunyi di tempat-tempat sepi, dan bila malam
tiba ia kembali berlari, dan berlari. Begitulah pengembaraannya dari satu kota
ke kota lain, dari tahun ke tahun, hingga tibalah ia di sebuah kota besar yang
kini menjadi kiblat para perantau. Di kota itu Tungkirang diselamatkan oleh
seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa. Lantaran budi-baiknya,
Tungkirang menghamba sebagai anjing istana. Dengan ketajaman penciuman yang
menakjubkan, ia mengendus setiap muslihat yang hendak menjatuhkan kuasa
tuannya. Suatu ketika, tuannya tertuduh sebagai otak di balik skandal
penggelapan uang negara, yang bila terbukti bakal menggulingkan kekuasaannya.
Di sinilah kehebatan Tungkirang diperlukan. Setiap gelagat yang
mengungkit-ungkit keterlibatan tuan itu sudah diendusnya lebih dulu, dan lekas
dilaporkannya. Tak ada yang luput dari pengendusan manusia berkepala anjing,
hingga tuannya nyaris tak tersentuh. Ia berlumur dosa, namun tampak suci, bagai
tanpa noda. Tanpa Tungkirang, tentu ia sudah meringkuk di penjara. Itu
sebabnya, musuh-musuh tuan besar terus bersiasat guna menaklukkan Tungkirang,
atau sekalian melenyapkannya bila perlu.
Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar
menyarankan: ”Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah mengembalikannya
menjadi manusia.”
”Bagaimana caranya?”
”Bius. Lalu, culik!”
”Tuan
baru berpikir akan mencelakainya, Tungkirang sudah tahu. Ia lebih licin dari
intel paling lihai sekalipun.”
Dengan kemampuan gaib
tingkat tinggi, peramal dapat menjelaskan asal mula anjing istana itu. Tersebutlah
sebuah kampung bernama Lubuktusuk. Banyak yang ragu, banyak pula yang
bersetuju. Tapi demi tegaknya keadilan, dikirimlah utusan guna mencari makhluk
berwujud anjing berkepala manusia.
***
Orang-orang Lubuktusuk
tidak perlu takut lagi pada gemerincing rantai yang dulu mengancam di malam
gelap-bulan. Sebab, anjing berkepala manusia sudah tertangkap. Rantai itu kini
berada di genggaman lelaki pencari madu-lebah bernama Tembiluk. Orang-orang Lubuktusuk menamainya ”manusia rimba” karena
lebih kerap tinggal di hutan ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk. Ia hanya akan turun ke kampung bila madu-lebah hasil
panjatannya sudah cukup untuk dijual ke pasar. Atau bila ada panggilan darurat
dari tetua kampung karena ada persoalan genting yang tak terselesaikan.
Misalnya, ada jagoan yang memeras petani-petani karet, atau sekadar menggertak
orang-orang yang diam-diam menjual getah karet ke luar Lubuktusuk ketimbang
pada tengkulak induk-semang mereka.
Para jagoan itu sukar
ditaklukkan lantaran rata-rata mereka adalah para pengguna ilmu sesat yang
sudah pasti kebal senjata. Orang yang
sanggup meladeni ancaman itu hanya Tembiluk. Sudah tak terhitung begundal yang
ia patahkan tiada ampun. Baginya, tidak ada orang
yang benar-benar kebal. Tak bisa ditikam dengan pisau atau lading, dengan
ilalang atau butiran padi ia menusuknya. Bila tak mempan, ia akan mengerahkan
kesaktian paling ampuh; meneriakkan sebuah mantra di pangkal telinga musuh.
Keparat pengacau seketika akan menggigil ketakutan dan lari terkangkang-kangkang.
”Seumur-umur ia tidak akan berani lagi menginjakkan kaki di kampung
ini,” begitu biasanya Tembiluk menegaskan.
Ini pula yang terjadi
pada suatu musim kemarau, semasa sapi dan kambing peliharaan orang kampung
kerap menjadi santapan harimau lapar. Tembiluk memaklumatkan teriakan di mulut
rimba pada suatu petang. ”Huaaaaaaaa, uwiwua, uwiwua, huaaaaaa,” begitu
kira-kira bunyinya. Menurut para tetua, alamat teriakan Tembiluk mendengar
mantra itu bagai sambaran petir yang mematikan. Sejak itu, di musim kering
paling ganas sekalipun, tiada seekor harimau pun yang masuk kampung. Begitulah
sepak-terjang Tembiluk yang telah meringkus anjing berkepala manusia. Setelah
mendengar teriakan maut Tembiluk, makhluk itu berubah jinak dan menurut saja
ketika Tembiluk menggiringnya ke rimba Bukit Kecubung. Ia mengatakan bahwa tuan
yang dicari-cari anjing itu telah enyah dari Lubuktusuk, hingga percumalah
segala upayanya selama ini. Anjing berkepala manusia sudah punya tuan baru.
Sebagai balasan atas kebaikan Tembiluk, ia mengabdi sebagai anjing peliharaan
yang saban petang berkeliling rimba guna mengendus sarang lebah siap-panjat.
Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat telapak kakinya sendiri. Pertemanan
mereka berlangsung lama, hingga pada suatu hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi
gerombolan orang berpenampilan necis. Mereka memohon kesediaan Tembiluk untuk
menyerahkan anjing berkepala manusia itu.
”Masa depan negeri ini
sangat bergantung pada hewan milik Bapak,” bujuk salah seorang dari mereka.
”Menyerahkan makhluk
itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”
Jauh sebelum
kedatangan mereka, Tembiluk sudah tahu bahwa manusia berkepala anjing telah
menjadi biang kebangkrutan. Uang rakyat terus- terusan dirampok, pejabat
bersekongkol dengan aparat, hukum tajam ke bawah. Pemimpin terpucuk yang telah
menyengsarakan rakyat harus segera diseret ke meja hijau. Tapi, Tungkirang
terus menghadang. Ia akan berhenti bila sudah dipertemukan dengan anjing
peliharaannya, bila mendapatkan wajah asalinya.
Anjing berkepala manusia
menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi meski
akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa.
”Hanya Bapak yang bisa menangkapnya,” harap ketua gerombolan.
Mudah bagi Tembiluk
mengembalikan hewan itu. Ia tidak lari, hanya bersembunyi dari orang-orang yang
tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa melihat kejernihan di raut wajah
mereka. Keruh sempurna. Alih-alih itikad baik untuk menyelamatkan negeri itu,
Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak kemaruk. Ketajaman penciuman
anjingku juga ajaib, sebagaimana Tungkirang. Dengan hewan itu, mereka bisa
memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum ia
menghilang di kedalaman rimba.
Tanah Baru, 2012
Ditulis oleh tukang kliping
27 Mei 2012
1.
Alur
Untuk menemukan fakta cerita, terutama alur cerita
yang digunakan oleh pengarang di dalam cerpen ini, terlebih dahulu dilihat
rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerpen. Rangkaian peristiwa tersebut
ialah.
a.
Tokoh di masa silam, dengan peristiwa menggorok leher
anjing dan lehernya sebagai puncak kedigyaan ilmu hitamnya hanya ingin menguji
seberapa besar ilmunya, sebelumnya menggunakan jimat dan lafal mantra.
b.
Tokoh memungut masing-masing kepalanya. Namun, Tuan
itu salah memasang kepala mereka, hingga tertukar.
c.
Terbentuklah manusia anjing.
d.
Puluhan tahun, anjing berkepala manusia keliling
kampung Lubuktusuk untuk mencari kepalanya yang berpindah ke tubuh lain.
e.
Kembali diingat silsilahnya, tuan berkepala anjing
bernama Tungkirang yang takkan mungkin
bertahan lama di kampung Lubuktusuk, dan memilih pergi ke Hutan Sicupak dan
memangsa hewan yang ada di dalamnya.
f.
Lain lagi, ia pergi ke kota satu ke kota lain hingga
diselamatkan oleh seorang lelaki dan dipercaya sebagai anjing istana.
g.
Dengan
ketajaman dengusan Tungkirang, segala macam muslihat yang ingin menjatuhkan
penguasanya ia ketahui. Banyak musuh penguasa Tungkirang yang pada akhirnya
ingin menjatuhkan Tungkirang itu pula.
h.
Peramal menyarankan agar manusia berkepala anjing
dilumpuhkan kekuatannya dengan cara mengembalikannya menjadi manusia utuh
dengan cara diculik. Namun, tungkirang sudah tau semuanya.
i.
Mengenai anjing berkepala manusia, sudah dijinakkan
akibat gerakan Tembiluk dan ia pun memiliki tuan baru.
j. Warga memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu.
k.
Jauh sebelum
kedatangan mereka, Tembiluk sudah tahu bahwa manusia berkepala anjing telah
menjadi biang kebangkrutan.
l. Tungkirang terus menghadang. Ia akan berhenti bila sudah dipertemukan dengan anjing peliharaannya, bila mendapatkan wajah asalinya.
m.
Anjing berkepala
manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi
meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing
biasa.
n. Mudah bagi Tembiluk mengembalikan hewan itu. Ia tidak lari, hanya bersembunyi dari orang-orang yang tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Keruh sempurna. Alih-alih itikad baik untuk menyelamatkan negeri itu, Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak kemaruk. Ketajaman penciuman anjingku juga ajaib, sebagaimana Tungkirang. Dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum ia menghilang di kedalaman rimba.
Alur cerita pada
cerpen ini merupakan alur sorot balik, di mana pengarang menceritakan ceritanya
di masa silam, kemudian menceritakan bagaimana peristiwa selanjutnya. Paragraf
berikutnya ada cerita yang diputar kembali. Seperti pada kalimat “Pertama, selepas malam
celaka itu.. kedua, Tungkirang bertolak ke kota…”.
Terlihat adanya alur sorot balik dari cerita tersebut.
Untuk melihat cerita yang lebih logis, berikut poin-poinnya.a. Tokoh di masa silam, dengan peristiwa menggorok leher anjing dan lehernyab. Tuan itu salah memasang kepala mereka, hingga tertukar.
c.
Terbentuklah manusia anjing.
d.
Puluhan tahun, anjing berkepala manusia keliling
kampung Lubuktusuk untuk mencari kepalanya yang berpindah ke tubuh lain.
e.
Kembali diingat silsilahnya, tuan berkepala anjing
bernama Tungkirang yang takkan mungkin
bertahan lama di kampung Lubuktusuk, dan memilih pergi ke Hutan Sicupak.
f.
Lain lagi, ia pergi ke kota satu ke kota lain hingga
diselamatkan oleh seorang lelaki dan dipercaya sebagai anjing istana.
g.
Dengan
ketajaman dengusan Tungkirang, segala macam muslihat yang ingin menjatuhkan
penguasanya ia ketahui.
h.
Peramal menyarankan agar manusia berkepala anjing
dilumpuhkan kekuatannya .
i.
Anjing berkepala manusia, sudah dijinakkan akibat
gerakan Tembiluk dan ia pun memiliki tuan baru.
j.
Warga memohon kesediaan
Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu.
k.
Tembiluk sudah tahu
bahwa manusia berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan.
l.
Tungkirang terus menghadang.
m.
Anjing berkepala
manusia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya.
n.
Ia tidak lari, hanya bersembunyi dari orang-orang yang tampak
begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Tembiluk justru
menangkap isyarat tentang watak kemaruk.. Dengan hewan itu, mereka bisa
memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum ia
menghilang di kedalaman rimba.
2. Penokohan
a. Ia
(Tungkirang)
Tungkirang
merupakan seorang tuan yang sangat menggilai ilmu hitam. Dengan ilmu hitam ia
berharap hidup abadi. Hal itu dapat terlihat pada paragraf berikut.
“Maka, pada suatu
malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan
kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum
penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang
hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti dirinya. Ia tidak
bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena ia hanya sedang membuktikan
kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya.”
Berdasakan kutipan paragraf di atas, dapat dilihat bahwa
si ia (Tungkirang) memperdalam ilmu gaibnya dengan melakukan percobaan pada
anjing peliharaan dan dirinya sendiri. Selain itu, dalam cerpen ini juga
diceritakan sosok Tungkirang yang tidak merasa takut
mengambil resiko. Ia berani menyembelih lehernya sendiri untuk membuktikan
kedahsyatan ilmunya. Hal itu dapat dibuktikan dalam kutipan paragraf berikut.
“Sembari menunggu jasad anjing tanpa kepala
benar-benar tergeletak sebagai bangkai, dengan pisau yang sama, ia menyembelih
leher sendiri. Juga putus, dan sebutir kepala menggelinding tak jauh dari
kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang darah, ia memungut masing-masing
kepala untuk dipasang ke masing-masing badan. Celakanya, tuan itu keliru. Ia
menancapkan kepalanya ke leher anjing. Sebaliknya, melekatkan kepala anjing ke
batang lehernya, hingga pada malam itu terwujudlah seekor anjing berkepala
manusia, dan seorang manusia berkepala anjing.”
Setelah melakukan
percobaan yang gagal dengan menyembelih kepala anjing dan kepalanya sendiri, Tungkirang
akhirnya berubah menjadi manusia berbadan anjing dan pemakan daging-daging
hewan yang tidak biasa dimakan, termasuk daging manusia diperkirakan juga ia
makan. Hal itu dapat dibuktikan dalam kutipan paragraf berikut.
“Ia bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak
Sicupak, hutan pekat yang pada masa itu belum terjamah. Di sana ia membuat
sarang yang tersuruk di kedalaman belukar. Dimangsainya segala macam hewan
berdaging, mulai dari babi, kijang, hingga ular dan biawak. Tatkala rimba
Puncak Sicupak mulai dijejaki orang, beberapa pencari kayu gaharu dikabarkan
hilang di sana. Konon, mereka telah diterkam oleh Tungkirang, manusia berkepala
anjing.”
Tungkirang juga
merupakan manusia berkepala anjing yang memilki penciuman tinggi. Ia dapat
mencium segala gerak-gerik atau rencana orang-orang yang ingin menjatuhkan
tuannya. Ia juga setia dan patuh pada tuannya di kota. Hal itu terlihat pada
kutipan paragraf berikut.
“Tungkirang menghamba sebagai anjing istana. Dengan
ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia mengendus setiap muslihat yang hendak
menjatuhkan kuasa tuannya.”
Berdasarkan uraian di
atas, maka dapat terlihat bahwa Tungkirang merupakan tokoh utama dalam cerpen
ini. Sejak awal hingga akhir cerita, ia merupakan tokoh yang diceritakan.
Konflik timbulnya manusia berkepala anjing dan anjing berkepala manusia
merupakan akibat dari apa yang dilakukan Tungkirang. Bahkan hingga akhir
cerita, Tungkirang masih dipermasalahkan, yakni gerombolan orang necis yang
ingin mempersatukan badan Tungkirang dengan kepalanya sendiri untuk kepentingan
tertentu.
b. Anjing Berkepala Manusia
Anjing berkepala
manusia merupakan anjing yang dipelihara Tungkirang. Ia juga merupakan salah
satu tokoh pendamping yang ada dalam cerpen ini, karena ia mempengaruhi alur
cerita. Di awal cerita anjing itu dikaitkan dengan Tungkirang. Dan di akhir
cerita anjing tersebut dihubungkan dengan Tembiluk. Hal itu dapat dibuktikan
dalam paragraf berikut.
“Iamenggorok leher anjingnya hingga putus dari batang
leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari
pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai
mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti
dirinya.”
“Anjing berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa.”
“Anjing berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa.”
c.
Tembiluk
Tembiluk merupakan
laki-laki yang dijuluki si “manusia rimba” oleh penduduk desa Lubuktusuk. Hal
itu dapat dibuktikan dalam kutipan paragraf berikut.
“Orang-orang
Lubuktusuk menamainya ”manusia rimba” karena lebih kerap tinggal di hutan
ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk. Ia hanya akan turun ke kampung bila madu-lebah hasil
panjatannya sudah cukup untuk dijual ke pasar. Atau bila ada panggilan darurat
dari tetua kampung karena ada persoalan genting yang tak terselesaikan.”
Selain lebih sering
tinggal di hutan, Tembiluk juga bertindak sebagai tokoh protagonis, karena
dikenal sebagai manusia yang kuat, pemberani, dan suka menolong penduduk desa
Lubuktusuk. Ia juga memiliki mantra-mantra yang dapat menaklukkan manusia atau
hewan buas sekalipun. Hal itu dapat dibuktikan dalam kutipan paragraf berikut.
“Orang yang
sanggup meladeni ancaman itu hanya Tembiluk. Sudah tak terhitung begundal yang
ia patahkan tiada ampun. Baginya, tidak ada orang yang benar-benar kebal. Tak
bisa ditikam dengan pisau atau lading, dengan ilalang atau butiran padi ia
menusuknya. Bila tak mempan, ia akan mengerahkan kesaktian paling ampuh;
meneriakkan sebuah mantra di pangkal telinga musuh.”
Tembiluk juga merupakan tuan yang
baik kepada anjing berkepala manusia. Ia merawat anjing itu dengan sangat baik.
Hal itu dapat dibuktikan pada kutipan paragraf berikut.
“Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat telapak
kakinya sendiri. Pertemanan mereka berlangsung lama.”
d.
Si Tuan Tungkirang di Kota
Seseorang yakni tuan
si Tungkirang merupakan tokoh sampingan di dalam cerpen ini. Ia hanya berperan
sebentar mendampingi Tungkirang di kota. Hal dapat dibuktikan dalam paragraf
berikut.
“Di
kota itu Tungkirang diselamatkan oleh seorang lelaki yang kelak ditakdirkan
menjadi penguasa. Lantaran budi-baiknya, Tungkirang menghamba sebagai anjing
istana. Dengan ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia mengendus setiap
muslihat yang hendak menjatuhkan kuasa tuannya. Suatu ketika, tuannya tertuduh
sebagai otak di balik skandal penggelapan uang negara, yang bila terbukti bakal
menggulingkan kekuasaannya. Di sinilah kehebatan Tungkirang diperlukan.”
e.
Musuh-Musuh
Tuan Besar
Musuh-musuh tuan besar
merupakan tokoh tambahan dalam cerpen ini. Tokoh ini ada setelah Tungkirang
pergi dan tinggal di rumah seorang tuan di kota. Musuh tuan Tungkirang berusaha
menaklukkan Tungkirang. Hal tersebut dapat dibuktikan pada paragraf berikut.
“Itu
sebabnya, musuh-musuh tuan besar terus bersiasat guna menaklukkan Tungkirang,
atau sekalian melenyapkannya bila perlu.”
Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar
menyarankan: ”Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah mengembalikannya
menjadi manusia.”
”Bagaimana caranya?”
”Bius. Lalu, culik!”
”Tuan
baru berpikir akan mencelakainya.”
f. Peramal
Peramal juga merupakan
tokoh tambahan yang hanya sedikit berperan dalam cerpen ini. Hal itu dapat
dibuktikan pada paragraf berikut.
“Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar
menyarankan: ”Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah mengembalikannya
menjadi manusia.”
”Bagaimana
caranya?”
”Bius. Lalu, culik!”
Dengan kemampuan gaib tingkat tinggi, peramal dapat menjelaskan asal mula anjing istana itu.”
”Bius. Lalu, culik!”
Dengan kemampuan gaib tingkat tinggi, peramal dapat menjelaskan asal mula anjing istana itu.”
g. Gerombolan Orang (suruhan musuh tuan Tungkirang)
Seperti halnya tuan
atau pemelihara Tungkirang di kota, musuh tuan Tungkirang, dan peramal,
gerombolan orang sebagai suruhan musuh si pemilik Tungkirang juga tokoh
tambahan yang menciptakan konflik pada cerpen ini. Tokoh ini merupakan tokoh
yang tidak begitu berpengaruh pada perkembangan alur. Hal dapat dibuktikan pada
paragraf berikut.
“Hingga
pada suatu hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi gerombolan orang berpenampilan
necis. Mereka memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala
manusia itu.”
”Masa depan negeri ini sangat bergantung pada hewan milik
Bapak,” bujuk salah seorang dari mereka.
Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”
Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”
3. Latar
Latar menyangkut ruang
dimana peristiwa itu berlangsung. Latar tidak hanya merupakan bentukan sebuah
tempat yang diciptakan, melainkan ruang waktu dan latar budaya bisa saja muncul
dalam latar itu. Pada bagian ini akan diuraikan latar tempat dan latar waktu
yang menjadi latar dari peristiwa yang dialami oleh para tokoh di dalam cerpen
ini. Latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a.
Latar tempat
Puncak Sicupak sebagai
latar tempat dimana Tungkirang membuat sarang tersuruk sebagai tempat
kediamannya. Pengarang cerpen menggambarkan latar tempatnya demikian, seperti
yang ada pada kutipan berikut.
”Ia
bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak Sicupak, hutan pekat yang pada masa
itu belum terjamah. Di sana ia membuat sarang yang tersuruk di kedalaman
belukar. Dimangsainya segala macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang,
hingga ular dan biawak. Tatkala rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang,
beberapa pencari kayu gaharu dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka telah
diterkam oleh Tungkirang, manusia berkepala anjing. Itu sebabnya, di masa kini,
orang-orang yang bepergian melewati Puncak Sicupak, melepaskan seekor anak ayam
ke dalam rimbun semak, sebagai penghormatan pada Tungkirang.”
Terlihat
dari kutipan tersebut, pengarang menjelaskan tempat Tungkirang bersemayam,
memangsa segala hewan yang ia temukan dan jika ada orang yang menuju ke sana
akan ia terkam. Selanjutnya, perjalanan Tungkirang menuju kota terdapat dalam
kutipan berikut.
“Tungkirang bertolak ke kota. Zaman itu, jalan belum diaspal, dan
setiap perjalanan masih ditempuh dengan pedati, atau berjalan kaki. Namun,
Tungkirang menapakinya dengan berlari secepat mungkin.”
Pengarang
menceritakan adanya latar tempat yang lain selain di hutan tadi, yaitu di
sebuah kota. Begitu pula dengan kutipan berikutnya yang menunjukkan latar
tempat yang ditapaki oleh Tungkirang.
“Begitulah
pengembaraannya dari satu kota ke kota lain, dari tahun ke tahun, hingga
tibalah ia di sebuah kota besar yang kini menjadi kiblat para perantau. Di kota
itu Tungkirang diselamatkan oleh seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi
penguasa.”
Diceritakan
juga pengembaraan Tungkirang dari satu kota ke kota lain, hingga sampai di kota
besar. Dilanjutkan menuju istana, tempat berikutnya yang digambarkan pengarang
dalam cerpen ini seperti yang ada pada kutipan berikut.
”Lantaran
budi-baiknya, Tungkirang menghamba sebagai anjing istana.”
Walaupun
dikatakan “sebagai anjing istana”, namun kalimat demikian merujuk pada tokoh yang
berada di istana. Tidak diperjelas tempat Tungkirang tersebut. Lalu, tempat
atau nama kampung pun disebutkan dalam cerpen ini seperti pada kutipan berikut.
”Tersebutlah
sebuah kampung bernama Lubuktusuk.”
Tempat tersebut
diperkuat pula oleh pengarang dalam kutipan berikut.
“Orang-orang
Lubuktusuk menamainya ”manusia rimba” karena lebih kerap tinggal di hutan
ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk.
Ia hanya akan turun ke kampung bila madu-lebah hasil panjatannya sudah cukup
untuk dijual ke pasar.”
Kemudian,
latar tempat juga digambarkan pengarang di Rimba Bukit Kecubung, dimana saat
makhluk itu berubah jinak dan menggiring Tembiluk ke sana, seperti kutipan
berikut.
“Setelah
mendengar teriakan maut Tembiluk, makhluk itu berubah jinak dan menurut saja
ketika Tembiluk menggiringnya ke rimba Bukit Kecubung.”
b. Latar waktu
Pengarang menceritakan
latar waktu yang pertama dalam cerpen ini dengan menggunakan kalimat “Di masa
silam,..” seperti yang ada pada kutipan berikut.
“Di
masa silam, anjing itu tak lebih dari anjing biasa, milik seorang tuan yang
mendalami ilmu hitam.”
Pada kutipan
selanjutnya, pengarang menggunakan “malam” sebagai latar waktunya seperti
kutipan berikut.
“Maka,
pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang
leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari
pohon.”
Penguatan latar waktu
“malam” juga terdapat pada kutipan di bawah ini, kemudian pengarang menjelaskan
latar waktu yang lama seperti pada kalimat “bermusim-musim” pada kutipan ini.
“Sebaliknya, melekatkan
kepala anjing ke batang lehernya, hingga pada malam itu terwujudlah seekor
anjing berkepala manusia, dan seorang manusia berkepala anjing. Seketika, kedua
makhluk ganjil yang tak direncanakan itu melesat lari menuju arah yang
berlawanan. Dan, selama bermusim-musim mereka tidak pernah bertemu.”
Pengarang
juga memperjelas waktu yang begitu lama dan tepat di malam hari pada kutipan
berikut.
“Puluhan tahun
kemudian, di malam gelap-bulan orang-orang kampung Lubuktusuk mendengar bunyi
gemerincing rantai akibat gesekan-gesekan dengan kerikil jalan.”
Pada
kutipan kali ini, tidak hanya menggambarkan malam, namun ada juga di waktu
subuh, bahkan siang, seperti dua kutipan berikut.
“ Bukankah beberapa saat menjelang subuh, di
kampung itu juga terdengar suara lolongan yang meremangkan segala macam bulu?”
“Siang
ia bersembunyi di tempat-tempat sepi, dan bila malam tiba ia kembali berlari,
dan berlari.”
Latar
waktu yang menunjukkan musim juga diceritakan pengarang dalam cerpen ini
seperti yang ada pada dua kutipan berikut.
“Ini
pula yang terjadi pada suatu musim kemarau, semasa sapi dan kambing peliharaan
orang kampung kerap menjadi santapan harimau lapar.”
“Sejak
itu, di musim kering paling ganas sekalipun, tiada seekor harimau pun yang
masuk kampung.”
4.
Tema
Tema merupakan hal-hal
yang paling menonjol dibahas dalam cerita. Tema umumnya dikaitkan dengan
konflik sentral cerita. Tema dalam cerpen ini terlihat sejak awal cerita yaitu
saat si Tungkirang melakukan percobaan kepada anjing dan dirinya sendiri dengan
cara menyembelih kepala mereka untuk membuktikan kedahsyatan ilmu hitamnya. Hal
itu terlihat dalam paragraf berikut.
“Maka,
pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang
leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari
pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai
mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti
dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena ia hanya
sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya.
Sembari menunggu jasad
anjing tanpa kepala benar-benar tergeletak sebagai bangkai, dengan pisau yang
sama, ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan sebutir kepala
menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang darah,
ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke masing-masing badan.”
Percobaan itulah yang menjadi titik awal
konflik yang ada dalam cerpen ini. Akibat percobaan gagal yang dilakukan
Tungkirang, anjing peliharaan dan dirinya sendiri menjadi korban. Kepalanya
melekat dalam tubuh anjing, sebaliknya kepala anjing melekat pada tubuh
manusia.Percobaan itu juga yang mengakibatkan munculnya Tembiluk, yakni manusia
rimba yang menghilangkan kerisauan warga desa Lubuktusuk. Tembiluk berhasil
menjinakkan anjing berkepala manusia.
Berdasarkan apa yang dijelaskan dalam cerpen ini, maka tema yang diangkat oleh pengarang adalah menyangkut kekeliruan manusia yang mempelajari ilmu hitam. Akibat keinginan hidup abadi, sebagian manusia mempelajari ilmu hitam dan melakukan percobaan-percobaan yang merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
Berdasarkan apa yang dijelaskan dalam cerpen ini, maka tema yang diangkat oleh pengarang adalah menyangkut kekeliruan manusia yang mempelajari ilmu hitam. Akibat keinginan hidup abadi, sebagian manusia mempelajari ilmu hitam dan melakukan percobaan-percobaan yang merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
Komentar
Posting Komentar