MENGAPRESIASI FAKTA CERITA DALAM CERPEN


Mengapresiasi Fakta Cerita dalam Cerpen “Tembiluk
 

Tembiluk


Di masa silam, anjing itu tak lebih dari anjing biasa, milik seorang tuan yang mendalami ilmu hitam.
Puncak kedigdayaan ilmu hitam itu adalah hidup abadi, alias tak bisa mati. Namun, setiap kaji-penghabisan tentulah membutuhkan pengujian, agar pencapaiannya benar-benar tak diragukan. Maka, pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena ia hanya sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya.
Sembari menunggu jasad anjing tanpa kepala benar-benar tergeletak sebagai bangkai, dengan pisau yang sama, ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan sebutir kepala menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang darah, ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke masing-masing badan. Celakanya, tuan itu keliru. Ia menancapkan kepalanya ke leher anjing. Sebaliknya, melekatkan kepala anjing ke batang lehernya, hingga pada malam itu terwujudlah seekor anjing berkepala manusia, dan seorang manusia berkepala anjing. Seketika, kedua makhluk ganjil yang tak direncanakan itu melesat lari menuju arah yang berlawanan. Dan, selama bermusim-musim mereka tidak pernah bertemu.
Puluhan tahun kemudian, di malam gelap-bulan orang-orang kampung Lubuktusuk mendengar bunyi gemerincing rantai akibat gesekan-gesekan dengan kerikil jalan. Anjing berkepala manusia dipercayai sedang berkeliling kampung, mencari kepalanya yang telah berpindah ke lain tubuh. Gemerincing itu mengerikan. Orang yang terbilang paling berani berhadapan dengan jinaku atau hantu-belau sekalipun, bila mendengarnya tetap saja gamang. Ketimbang turun, dan memeriksa asal bunyi ke halaman, ia lebih memilih merapatkan selimut kain sarung. Bagi yang terbangun, akan berupaya tidur kembali hingga terbebas dari mendengar bunyi itu. ”Hantu pemburu”, begitu mereka menamainya. Bukan pemburu babi, sebagaimana anjing-anjing biasa, tapi pemburu kepala sendiri, yang sudah hilang selama berpuluh-puluh tahun.
***
Kenapa mereka hanya memercayai bahwa yang beralih-rupa menjadi hantu adalah anjing berkepala manusia? Ke mana perginya tuan pemilik anjing yang sudah pula beralih-wujud menjadi manusia berkepala anjing? Bukankah beberapa saat menjelang subuh, di kampung itu juga terdengar suara lolongan yang meremangkan segala macam bulu? Lolongan yang tersimak bagai rintihan kesakitan, dan sekali waktu terdengar bagai isyarat meminta pertolongan. Apakah tidak ada kemungkinan bahwa suara itu datang dari mulut manusia berkepala anjing? Tak ada yang berpikir sejauh itu. Mereka menganggap tuan pemilik anjing telah raib sejak peristiwa malam keramat. Perihal kehilangan itu, ada dua riwayat yang tertanam di Lubuktusuk.
Pertama, selepas malam celaka itu, tuan yang setelah diurai silsilahnya ternyata bernama Tungkirang, hengkang dari Lubuktusuk. Mustahil ia bertahan di kampung dengan gelar ”anjing” di belakang namanya, dan lebih tak mungkin lagi, mempertontonkan tabiat anjing di tengah-tengah kampung. Ia bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak Sicupak, hutan pekat yang pada masa itu belum terjamah. Di sana ia membuat sarang yang tersuruk di kedalaman belukar. Dimangsainya segala macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang, hingga ular dan biawak. Tatkala rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang, beberapa pencari kayu gaharu dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka telah diterkam oleh Tungkirang, manusia berkepala anjing. Itu sebabnya, di masa kini, orang-orang yang bepergian melewati Puncak Sicupak, melepaskan seekor anak ayam ke dalam rimbun semak, sebagai penghormatan pada Tungkirang.
Kedua, Tungkirang bertolak ke kota. Zaman itu, jalan belum diaspal, dan setiap perjalanan masih ditempuh dengan pedati, atau berjalan kaki. Namun, Tungkirang menapakinya dengan berlari secepat mungkin. Siang ia bersembunyi di tempat-tempat sepi, dan bila malam tiba ia kembali berlari, dan berlari. Begitulah pengembaraannya dari satu kota ke kota lain, dari tahun ke tahun, hingga tibalah ia di sebuah kota besar yang kini menjadi kiblat para perantau. Di kota itu Tungkirang diselamatkan oleh seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa. Lantaran budi-baiknya, Tungkirang menghamba sebagai anjing istana. Dengan ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia mengendus setiap muslihat yang hendak menjatuhkan kuasa tuannya. Suatu ketika, tuannya tertuduh sebagai otak di balik skandal penggelapan uang negara, yang bila terbukti bakal menggulingkan kekuasaannya. Di sinilah kehebatan Tungkirang diperlukan. Setiap gelagat yang mengungkit-ungkit keterlibatan tuan itu sudah diendusnya lebih dulu, dan lekas dilaporkannya. Tak ada yang luput dari pengendusan manusia berkepala anjing, hingga tuannya nyaris tak tersentuh. Ia berlumur dosa, namun tampak suci, bagai tanpa noda. Tanpa Tungkirang, tentu ia sudah meringkuk di penjara. Itu sebabnya, musuh-musuh tuan besar terus bersiasat guna menaklukkan Tungkirang, atau sekalian melenyapkannya bila perlu.
Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar menyarankan: ”Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah mengembalikannya menjadi manusia.”
”Bagaimana caranya?”
”Bius. Lalu, culik!”
”Tuan baru berpikir akan mencelakainya, Tungkirang sudah tahu. Ia lebih licin dari intel paling lihai sekalipun.”
Dengan kemampuan gaib tingkat tinggi, peramal dapat menjelaskan asal mula anjing istana itu. Tersebutlah sebuah kampung bernama Lubuktusuk. Banyak yang ragu, banyak pula yang bersetuju. Tapi demi tegaknya keadilan, dikirimlah utusan guna mencari makhluk berwujud anjing berkepala manusia.
***
Orang-orang Lubuktusuk tidak perlu takut lagi pada gemerincing rantai yang dulu mengancam di malam gelap-bulan. Sebab, anjing berkepala manusia sudah tertangkap. Rantai itu kini berada di genggaman lelaki pencari madu-lebah bernama Tembiluk. Orang-orang Lubuktusuk menamainya ”manusia rimba” karena lebih kerap tinggal di hutan ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk. Ia hanya akan turun ke kampung bila madu-lebah hasil panjatannya sudah cukup untuk dijual ke pasar. Atau bila ada panggilan darurat dari tetua kampung karena ada persoalan genting yang tak terselesaikan. Misalnya, ada jagoan yang memeras petani-petani karet, atau sekadar menggertak orang-orang yang diam-diam menjual getah karet ke luar Lubuktusuk ketimbang pada tengkulak induk-semang mereka.
Para jagoan itu sukar ditaklukkan lantaran rata-rata mereka adalah para pengguna ilmu sesat yang sudah pasti kebal senjata. Orang yang sanggup meladeni ancaman itu hanya Tembiluk. Sudah tak terhitung begundal yang ia patahkan tiada ampun. Baginya, tidak ada orang yang benar-benar kebal. Tak bisa ditikam dengan pisau atau lading, dengan ilalang atau butiran padi ia menusuknya. Bila tak mempan, ia akan mengerahkan kesaktian paling ampuh; meneriakkan sebuah mantra di pangkal telinga musuh. Keparat pengacau seketika akan menggigil ketakutan dan lari terkangkang-kangkang. ”Seumur-umur ia tidak akan berani lagi menginjakkan kaki di kampung ini,” begitu biasanya Tembiluk menegaskan.
Ini pula yang terjadi pada suatu musim kemarau, semasa sapi dan kambing peliharaan orang kampung kerap menjadi santapan harimau lapar. Tembiluk memaklumatkan teriakan di mulut rimba pada suatu petang. ”Huaaaaaaaa, uwiwua, uwiwua, huaaaaaa,” begitu kira-kira bunyinya. Menurut para tetua, alamat teriakan Tembiluk mendengar mantra itu bagai sambaran petir yang mematikan. Sejak itu, di musim kering paling ganas sekalipun, tiada seekor harimau pun yang masuk kampung. Begitulah sepak-terjang Tembiluk yang telah meringkus anjing berkepala manusia. Setelah mendengar teriakan maut Tembiluk, makhluk itu berubah jinak dan menurut saja ketika Tembiluk menggiringnya ke rimba Bukit Kecubung. Ia mengatakan bahwa tuan yang dicari-cari anjing itu telah enyah dari Lubuktusuk, hingga percumalah segala upayanya selama ini. Anjing berkepala manusia sudah punya tuan baru. Sebagai balasan atas kebaikan Tembiluk, ia mengabdi sebagai anjing peliharaan yang saban petang berkeliling rimba guna mengendus sarang lebah siap-panjat. Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat telapak kakinya sendiri. Pertemanan mereka berlangsung lama, hingga pada suatu hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi gerombolan orang berpenampilan necis. Mereka memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu.
”Masa depan negeri ini sangat bergantung pada hewan milik Bapak,” bujuk salah seorang dari mereka.
”Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”
Jauh sebelum kedatangan mereka, Tembiluk sudah tahu bahwa manusia berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan. Uang rakyat terus- terusan dirampok, pejabat bersekongkol dengan aparat, hukum tajam ke bawah. Pemimpin terpucuk yang telah menyengsarakan rakyat harus segera diseret ke meja hijau. Tapi, Tungkirang terus menghadang. Ia akan berhenti bila sudah dipertemukan dengan anjing peliharaannya, bila mendapatkan wajah asalinya.
Anjing berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa. ”Hanya Bapak yang bisa menangkapnya,” harap ketua gerombolan.
Mudah bagi Tembiluk mengembalikan hewan itu. Ia tidak lari, hanya bersembunyi dari orang-orang yang tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Keruh sempurna. Alih-alih itikad baik untuk menyelamatkan negeri itu, Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak kemaruk. Ketajaman penciuman anjingku juga ajaib, sebagaimana Tungkirang. Dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum ia menghilang di kedalaman rimba.
Tanah Baru, 2012

Ditulis oleh tukang kliping
27 Mei 2012

Fakta Cerita dalam Cerpen “Tembiluk

1.      Alur
Untuk menemukan fakta cerita, terutama alur cerita yang digunakan oleh pengarang di dalam cerpen ini, terlebih dahulu dilihat rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam cerpen. Rangkaian peristiwa tersebut ialah.
a.       Tokoh di masa silam, dengan peristiwa menggorok leher anjing dan lehernya sebagai puncak kedigyaan ilmu hitamnya hanya ingin menguji seberapa besar ilmunya, sebelumnya menggunakan jimat dan lafal mantra.
b.      Tokoh memungut masing-masing kepalanya. Namun, Tuan itu salah memasang kepala mereka, hingga tertukar.
c.       Terbentuklah manusia anjing.
d.      Puluhan tahun, anjing berkepala manusia keliling kampung Lubuktusuk untuk mencari kepalanya yang berpindah ke tubuh lain.
e.       Kembali diingat silsilahnya, tuan berkepala anjing bernama Tungkirang  yang takkan mungkin bertahan lama di kampung Lubuktusuk, dan memilih pergi ke Hutan Sicupak dan memangsa hewan yang ada di dalamnya.
f.       Lain lagi, ia pergi ke kota satu ke kota lain hingga diselamatkan oleh seorang lelaki dan dipercaya sebagai anjing istana.
g.       Dengan ketajaman dengusan Tungkirang, segala macam muslihat yang ingin menjatuhkan penguasanya ia ketahui. Banyak musuh penguasa Tungkirang yang pada akhirnya ingin menjatuhkan Tungkirang itu pula.
h.      Peramal menyarankan agar manusia berkepala anjing dilumpuhkan kekuatannya dengan cara mengembalikannya menjadi manusia utuh dengan cara diculik. Namun, tungkirang sudah tau semuanya.
i.        Mengenai anjing berkepala manusia, sudah dijinakkan akibat gerakan Tembiluk dan ia pun memiliki tuan baru.

j.        Warga memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu.
k.      Jauh sebelum kedatangan mereka, Tembiluk sudah tahu bahwa manusia berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan.

l.        Tungkirang terus menghadang. Ia akan berhenti bila sudah dipertemukan dengan anjing peliharaannya, bila mendapatkan wajah asalinya.
m.    Anjing berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa.

n.      Mudah bagi Tembiluk mengembalikan hewan itu. Ia tidak lari, hanya bersembunyi dari orang-orang yang tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Keruh sempurna. Alih-alih itikad baik untuk menyelamatkan negeri itu, Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak kemaruk. Ketajaman penciuman anjingku juga ajaib, sebagaimana Tungkirang. Dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum ia menghilang di kedalaman rimba.

Alur cerita pada cerpen ini merupakan alur sorot balik, di mana pengarang menceritakan ceritanya di masa silam, kemudian menceritakan bagaimana peristiwa selanjutnya. Paragraf berikutnya ada cerita yang diputar kembali. Seperti pada kalimat “Pertama, selepas malam celaka itu.. kedua, Tungkirang bertolak ke kota…”. Terlihat adanya alur sorot balik dari cerita tersebut.
Untuk melihat cerita yang lebih logis, berikut poin-poinnya.
a.       Tokoh di masa silam, dengan peristiwa menggorok leher anjing dan lehernya
b.      Tuan itu salah memasang kepala mereka, hingga tertukar.
c.       Terbentuklah manusia anjing.
d.      Puluhan tahun, anjing berkepala manusia keliling kampung Lubuktusuk untuk mencari kepalanya yang berpindah ke tubuh lain.
e.       Kembali diingat silsilahnya, tuan berkepala anjing bernama Tungkirang  yang takkan mungkin bertahan lama di kampung Lubuktusuk, dan memilih pergi ke Hutan Sicupak.
f.       Lain lagi, ia pergi ke kota satu ke kota lain hingga diselamatkan oleh seorang lelaki dan dipercaya sebagai anjing istana.
g.       Dengan ketajaman dengusan Tungkirang, segala macam muslihat yang ingin menjatuhkan penguasanya ia ketahui.
h.      Peramal menyarankan agar manusia berkepala anjing dilumpuhkan kekuatannya .
i.        Anjing berkepala manusia, sudah dijinakkan akibat gerakan Tembiluk dan ia pun memiliki tuan baru.
j.        Warga memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu.
k.      Tembiluk sudah tahu bahwa manusia berkepala anjing telah menjadi biang kebangkrutan.
l.        Tungkirang terus menghadang.
m.    Anjing berkepala manusia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya.
n.      Ia tidak lari, hanya bersembunyi dari orang-orang yang tampak begitu bernafsu. Tembiluk tak bisa melihat kejernihan di raut wajah mereka. Tembiluk justru menangkap isyarat tentang watak kemaruk.. Dengan hewan itu, mereka bisa memancangkan kuasa baru yang jauh lebih rakus, batin Tembiluk, sebelum ia menghilang di kedalaman rimba.

2. Penokohan
a.       Ia (Tungkirang)
Tungkirang merupakan seorang tuan yang sangat menggilai ilmu hitam. Dengan ilmu hitam ia berharap hidup abadi.  Hal itu dapat terlihat pada paragraf berikut.
Maka, pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena ia hanya sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya.

Berdasakan kutipan paragraf di atas, dapat dilihat bahwa si ia (Tungkirang) memperdalam ilmu gaibnya dengan melakukan percobaan pada anjing peliharaan dan dirinya sendiri. Selain itu, dalam cerpen ini juga diceritakan sosok Tungkirang yang tidak merasa takut mengambil resiko. Ia berani menyembelih lehernya sendiri untuk membuktikan kedahsyatan ilmunya. Hal itu dapat dibuktikan dalam kutipan paragraf berikut.
Sembari menunggu jasad anjing tanpa kepala benar-benar tergeletak sebagai bangkai, dengan pisau yang sama, ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan sebutir kepala menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang darah, ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke masing-masing badan. Celakanya, tuan itu keliru. Ia menancapkan kepalanya ke leher anjing. Sebaliknya, melekatkan kepala anjing ke batang lehernya, hingga pada malam itu terwujudlah seekor anjing berkepala manusia, dan seorang manusia berkepala anjing.

Setelah melakukan percobaan yang gagal dengan menyembelih kepala anjing dan kepalanya sendiri, Tungkirang akhirnya berubah menjadi manusia berbadan anjing dan pemakan daging-daging hewan yang tidak biasa dimakan, termasuk daging manusia diperkirakan juga ia makan. Hal itu dapat dibuktikan dalam kutipan paragraf berikut.

Ia bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak Sicupak, hutan pekat yang pada masa itu belum terjamah. Di sana ia membuat sarang yang tersuruk di kedalaman belukar. Dimangsainya segala macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang, hingga ular dan biawak. Tatkala rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang, beberapa pencari kayu gaharu dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka telah diterkam oleh Tungkirang, manusia berkepala anjing.

Tungkirang juga merupakan manusia berkepala anjing yang memilki penciuman tinggi. Ia dapat mencium segala gerak-gerik atau rencana orang-orang yang ingin menjatuhkan tuannya. Ia juga setia dan patuh pada tuannya di kota. Hal itu terlihat pada kutipan paragraf berikut.
Tungkirang menghamba sebagai anjing istana. Dengan ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia mengendus setiap muslihat yang hendak menjatuhkan kuasa tuannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat terlihat bahwa Tungkirang merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Sejak awal hingga akhir cerita, ia merupakan tokoh yang diceritakan. Konflik timbulnya manusia berkepala anjing dan anjing berkepala manusia merupakan akibat dari apa yang dilakukan Tungkirang. Bahkan hingga akhir cerita, Tungkirang masih dipermasalahkan, yakni gerombolan orang necis yang ingin mempersatukan badan Tungkirang dengan kepalanya sendiri untuk kepentingan tertentu.


b.      Anjing Berkepala Manusia
Anjing berkepala manusia merupakan anjing yang dipelihara Tungkirang. Ia juga merupakan salah satu tokoh pendamping yang ada dalam cerpen ini, karena ia mempengaruhi alur cerita. Di awal cerita anjing itu dikaitkan dengan Tungkirang. Dan di akhir cerita anjing tersebut dihubungkan dengan Tembiluk. Hal itu dapat dibuktikan dalam paragraf berikut.

“Iamenggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti dirinya.”
Anjing berkepala manusia menghentak-hentak, lantas lari terengah-engah. Ia menolak dibawa pergi meski akan bertemu dengan tuan masa silamnya, dan akan kembali menjadi anjing biasa
.”


c.       Tembiluk
Tembiluk merupakan laki-laki yang dijuluki si “manusia rimba” oleh penduduk desa Lubuktusuk. Hal itu dapat dibuktikan dalam kutipan paragraf berikut.
Orang-orang Lubuktusuk menamainya ”manusia rimba” karena lebih kerap tinggal di hutan ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk. Ia hanya akan turun ke kampung bila madu-lebah hasil panjatannya sudah cukup untuk dijual ke pasar. Atau bila ada panggilan darurat dari tetua kampung karena ada persoalan genting yang tak terselesaikan.

Selain lebih sering tinggal di hutan, Tembiluk juga bertindak sebagai tokoh protagonis, karena dikenal sebagai manusia yang kuat, pemberani, dan suka menolong penduduk desa Lubuktusuk. Ia juga memiliki mantra-mantra yang dapat menaklukkan manusia atau hewan buas sekalipun. Hal itu dapat dibuktikan dalam kutipan paragraf berikut.
Orang yang sanggup meladeni ancaman itu hanya Tembiluk. Sudah tak terhitung begundal yang ia patahkan tiada ampun. Baginya, tidak ada orang yang benar-benar kebal. Tak bisa ditikam dengan pisau atau lading, dengan ilalang atau butiran padi ia menusuknya. Bila tak mempan, ia akan mengerahkan kesaktian paling ampuh; meneriakkan sebuah mantra di pangkal telinga musuh.”

Tembiluk juga merupakan tuan yang baik kepada anjing berkepala manusia. Ia merawat anjing itu dengan sangat baik. Hal itu dapat dibuktikan pada kutipan paragraf berikut.
Tembiluk merawat anjing itu seperti merawat telapak kakinya sendiri. Pertemanan mereka berlangsung lama.”

d.      Si Tuan Tungkirang di Kota
Seseorang yakni tuan si Tungkirang merupakan tokoh sampingan di dalam cerpen ini. Ia hanya berperan sebentar mendampingi Tungkirang di kota. Hal dapat dibuktikan dalam paragraf berikut.
Di kota itu Tungkirang diselamatkan oleh seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa. Lantaran budi-baiknya, Tungkirang menghamba sebagai anjing istana. Dengan ketajaman penciuman yang menakjubkan, ia mengendus setiap muslihat yang hendak menjatuhkan kuasa tuannya. Suatu ketika, tuannya tertuduh sebagai otak di balik skandal penggelapan uang negara, yang bila terbukti bakal menggulingkan kekuasaannya. Di sinilah kehebatan Tungkirang diperlukan.

e.       Musuh-Musuh Tuan Besar
Musuh-musuh tuan besar merupakan tokoh tambahan dalam cerpen ini. Tokoh ini ada setelah Tungkirang pergi dan tinggal di rumah seorang tuan di kota. Musuh tuan Tungkirang berusaha menaklukkan Tungkirang. Hal tersebut dapat dibuktikan pada paragraf berikut.
Itu sebabnya, musuh-musuh tuan besar terus bersiasat guna menaklukkan Tungkirang, atau sekalian melenyapkannya bila perlu.
Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar menyarankan: ”Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah mengembalikannya menjadi manusia.”
Bagaimana caranya?”
”Bius. Lalu, culik!”
”Tuan baru berpikir akan mencelakainya.”
f.       Peramal
Peramal juga merupakan tokoh tambahan yang hanya sedikit berperan dalam cerpen ini. Hal itu dapat dibuktikan pada paragraf berikut.
Seorang peramal yang dipekerjakan oleh salah satu musuh tuan besar menyarankan: ”Satu-satunya cara melumpuhkan anjing itu adalah mengembalikannya menjadi manusia.”
”Bagaimana caranya?”
”Bius. Lalu, culik!”
Dengan kemampuan gaib tingkat tinggi, peramal dapat menjelaskan asal mula anjing istana itu.

g.      Gerombolan Orang (suruhan musuh tuan Tungkirang)
Seperti halnya tuan atau pemelihara Tungkirang di kota, musuh tuan Tungkirang, dan peramal, gerombolan orang sebagai suruhan musuh si pemilik Tungkirang juga tokoh tambahan yang menciptakan konflik pada cerpen ini. Tokoh ini merupakan tokoh yang tidak begitu berpengaruh pada perkembangan alur. Hal dapat dibuktikan pada paragraf berikut.
“Hingga pada suatu hari rimba Bukit Kecubung dikunjungi gerombolan orang berpenampilan necis. Mereka memohon kesediaan Tembiluk untuk menyerahkan anjing berkepala manusia itu.
”Masa depan negeri ini sangat bergantung pada hewan milik Bapak,” bujuk salah seorang dari mereka.
Menyerahkan makhluk itu sama artinya dengan menyelamatkan bangsa.”

3.      Latar
Latar menyangkut ruang dimana peristiwa itu berlangsung. Latar tidak hanya merupakan bentukan sebuah tempat yang diciptakan, melainkan ruang waktu dan latar budaya bisa saja muncul dalam latar itu. Pada bagian ini akan diuraikan latar tempat dan latar waktu yang menjadi latar dari peristiwa yang dialami oleh para tokoh di dalam cerpen ini. Latar tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
a.       Latar tempat
Puncak Sicupak sebagai latar tempat dimana Tungkirang membuat sarang tersuruk sebagai tempat kediamannya. Pengarang cerpen menggambarkan latar tempatnya demikian, seperti yang ada pada kutipan berikut.
Ia bertolak ke selatan, menuju rimba Puncak Sicupak, hutan pekat yang pada masa itu belum terjamah. Di sana ia membuat sarang yang tersuruk di kedalaman belukar. Dimangsainya segala macam hewan berdaging, mulai dari babi, kijang, hingga ular dan biawak. Tatkala rimba Puncak Sicupak mulai dijejaki orang, beberapa pencari kayu gaharu dikabarkan hilang di sana. Konon, mereka telah diterkam oleh Tungkirang, manusia berkepala anjing. Itu sebabnya, di masa kini, orang-orang yang bepergian melewati Puncak Sicupak, melepaskan seekor anak ayam ke dalam rimbun semak, sebagai penghormatan pada Tungkirang.
Terlihat dari kutipan tersebut, pengarang menjelaskan tempat Tungkirang bersemayam, memangsa segala hewan yang ia temukan dan jika ada orang yang menuju ke sana akan ia terkam. Selanjutnya, perjalanan Tungkirang menuju kota terdapat dalam kutipan berikut.
Tungkirang bertolak ke kota. Zaman itu, jalan belum diaspal, dan setiap perjalanan masih ditempuh dengan pedati, atau berjalan kaki. Namun, Tungkirang menapakinya dengan berlari secepat mungkin.
Pengarang menceritakan adanya latar tempat yang lain selain di hutan tadi, yaitu di sebuah kota. Begitu pula dengan kutipan berikutnya yang menunjukkan latar tempat yang ditapaki oleh Tungkirang.
Begitulah pengembaraannya dari satu kota ke kota lain, dari tahun ke tahun, hingga tibalah ia di sebuah kota besar yang kini menjadi kiblat para perantau. Di kota itu Tungkirang diselamatkan oleh seorang lelaki yang kelak ditakdirkan menjadi penguasa.”
Diceritakan juga pengembaraan Tungkirang dari satu kota ke kota lain, hingga sampai di kota besar. Dilanjutkan menuju istana, tempat berikutnya yang digambarkan pengarang dalam cerpen ini seperti yang ada pada kutipan berikut.
Lantaran budi-baiknya, Tungkirang menghamba sebagai anjing istana.
Walaupun dikatakan “sebagai anjing istana”, namun kalimat demikian merujuk pada tokoh yang berada di istana. Tidak diperjelas tempat Tungkirang tersebut. Lalu, tempat atau nama kampung pun disebutkan dalam cerpen ini seperti pada kutipan berikut.

Tersebutlah sebuah kampung bernama Lubuktusuk.”
Tempat tersebut diperkuat pula oleh pengarang dalam kutipan berikut.
Orang-orang Lubuktusuk menamainya ”manusia rimba” karena lebih kerap tinggal di hutan ketimbang menghuni rumahnya di kampung Lubuktusuk. Ia hanya akan turun ke kampung bila madu-lebah hasil panjatannya sudah cukup untuk dijual ke pasar.
Kemudian, latar tempat juga digambarkan pengarang di Rimba Bukit Kecubung, dimana saat makhluk itu berubah jinak dan menggiring Tembiluk ke sana, seperti kutipan berikut.
Setelah mendengar teriakan maut Tembiluk, makhluk itu berubah jinak dan menurut saja ketika Tembiluk menggiringnya ke rimba Bukit Kecubung.
b.      Latar waktu
Pengarang menceritakan latar waktu yang pertama dalam cerpen ini dengan menggunakan kalimat “Di masa silam,..” seperti yang ada pada kutipan berikut.
Di masa silam, anjing itu tak lebih dari anjing biasa, milik seorang tuan yang mendalami ilmu hitam.

Pada kutipan selanjutnya, pengarang menggunakan “malam” sebagai latar waktunya seperti kutipan berikut.
Maka, pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon.

Penguatan latar waktu “malam” juga terdapat pada kutipan di bawah ini, kemudian pengarang menjelaskan latar waktu yang lama seperti pada kalimat “bermusim-musim” pada kutipan ini.
Sebaliknya, melekatkan kepala anjing ke batang lehernya, hingga pada malam itu terwujudlah seekor anjing berkepala manusia, dan seorang manusia berkepala anjing. Seketika, kedua makhluk ganjil yang tak direncanakan itu melesat lari menuju arah yang berlawanan. Dan, selama bermusim-musim mereka tidak pernah bertemu.

Pengarang juga memperjelas waktu yang begitu lama dan tepat di malam hari pada kutipan berikut.
Puluhan tahun kemudian, di malam gelap-bulan orang-orang kampung Lubuktusuk mendengar bunyi gemerincing rantai akibat gesekan-gesekan dengan kerikil jalan.

Pada kutipan kali ini, tidak hanya menggambarkan malam, namun ada juga di waktu subuh, bahkan siang, seperti dua kutipan berikut.
Bukankah beberapa saat menjelang subuh, di kampung itu juga terdengar suara lolongan yang meremangkan segala macam bulu?
Siang ia bersembunyi di tempat-tempat sepi, dan bila malam tiba ia kembali berlari, dan berlari.
Latar waktu yang menunjukkan musim juga diceritakan pengarang dalam cerpen ini seperti yang ada pada dua kutipan berikut.
Ini pula yang terjadi pada suatu musim kemarau, semasa sapi dan kambing peliharaan orang kampung kerap menjadi santapan harimau lapar.
Sejak itu, di musim kering paling ganas sekalipun, tiada seekor harimau pun yang masuk kampung.


4. Tema
Tema merupakan hal-hal yang paling menonjol dibahas dalam cerita. Tema umumnya dikaitkan dengan konflik sentral cerita. Tema dalam cerpen ini terlihat sejak awal cerita yaitu saat si Tungkirang melakukan percobaan kepada anjing dan dirinya sendiri dengan cara menyembelih kepala mereka untuk membuktikan kedahsyatan ilmu hitamnya. Hal itu terlihat dalam paragraf berikut.
Maka, pada suatu malam keramat, ia menggorok leher anjingnya hingga putus dari batang leher, dan kepala hewan itu menggelinding seperti buah mumbang jatuh dari pohon. Sebelum penyembelihan, ia memasang jimat di ekor anjingnya, disertai mantra gaib yang hanya bisa dilafalkan oleh pengikut jalan sesat seperti dirinya. Ia tidak bermaksud membunuh anjing kesayangannya, karena ia hanya sedang membuktikan kedahsyatan ilmu yang telah sempurna dikuasainya.
        Sembari menunggu jasad anjing tanpa kepala benar-benar tergeletak sebagai bangkai, dengan pisau yang sama, ia menyembelih leher sendiri. Juga putus, dan sebutir kepala menggelinding tak jauh dari kepala anjingnya. Dengan tangan bergelimang darah, ia memungut masing-masing kepala untuk dipasang ke masing-masing badan.”
Percobaan itulah yang menjadi titik awal konflik yang ada dalam cerpen ini. Akibat percobaan gagal yang dilakukan Tungkirang, anjing peliharaan dan dirinya sendiri menjadi korban. Kepalanya melekat dalam tubuh anjing, sebaliknya kepala anjing melekat pada tubuh manusia.Percobaan itu juga yang mengakibatkan munculnya Tembiluk, yakni manusia rimba yang menghilangkan kerisauan warga desa Lubuktusuk. Tembiluk berhasil menjinakkan anjing berkepala manusia.
Berdasarkan apa yang dijelaskan dalam cerpen ini, maka tema yang diangkat oleh pengarang adalah menyangkut kekeliruan manusia yang mempelajari ilmu hitam. Akibat keinginan hidup abadi, sebagian manusia mempelajari ilmu hitam dan melakukan percobaan-percobaan yang merugikan orang lain dan dirinya sendiri.
 

Komentar