Mata
Kuliah : Apresiasi Prosa
Kode
Mata Kuliah : IND 743
SKS : 3 SKS
Pokok
Bahasan : Mengapresiasi Realitas
Sosial dalamKarya Sastra
Pertemuan
Ke- : 5-7
Dosen
Pengampu : Dr. Yasnur Asri, M.Pd.
A. Hakikat Karya Sastra sebagai Cerminan Realitas Sosial
Menurut Taufik
Abdullah (1991) bahwa karya sastra sebagai salah satu bagian karya seni
bukanlah suatu benda mati (artefak) yang statis, tetapi adalah sesuatu yang
hidup secara terus-menerus berlangsung dalam ruang dan waktu. Ia merupakan suatu sistem konvensi yang penuh
dinamika. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan karya sastra sebagai karya seni
diper-lukan medium yang disebut dengan bahasa. Bahasa dan seni selalu bergerak
antara dua kutub yang berlawanan, yaitu kutub objektif dan kutub subjektif.
Dengan demikian, karya sastra merupakan tanggapan seorang sastrawan terhadap
dunia di sekitarnya (realitas sosial).
Berdasarkan
pendapat di atas, jelas bahwa per-bedaan antara ilmu dan seni. Ilmu berusaha
mele-paskan dirinya dari manusia yang subjektif, karena tanggapan manusia yang
subjektif tidak bersifat kekal dari masa ke masa atau dari era ke era
berikutnya dan tidak berlaku secara universal untuk semua setting. Di samping
itu, salah satu tujuan ilmu adalah meng-hilangkan semua unsur-unsur kemanusiaan
yang sub-jektif. Bila dalam ilmu sedapat mungkin berusaha menghilangkan semua
unsur kemanusiaan yang sub-jektif, maka dalam karya sastra justru unsur kema-nusiaan
yang subjektif inilah yang utama. Kesubjek-tifan dalam karya sastra mempunyai
arti yang komp-leks dan bersifat dinamis sehingga dapat sepanjang waktu,
sedangkan keobjektifan dalam ilmu mempu-nyai sifat statis dan tidak mungkin
bertahan sepanjang era atau zaman.
Pembaca yang
sedang menghayati sebuah karya sastra, sebenarnya ia sedang melakukan dialog,
yaitu dialog antara pembaca dan karya sastra itu sendiri. Dalam melakukan
dialog antara keduanya terjadi pembauran yang bersifat dinamis. Dari proses
pembauran inilah lahir sebuah nilai yang unik dan kompleks serta tidak akan
muncul kalau keduanya (pembaca dan karya sastra) tidak saling memahami. Proses
yang terjadi adalah proses dialog antara subjek dan objek. Pembaca berperan
sebagai subjek dan karya sastra sebagai objek.
Menurut Arif
Budiman (1976) sebagai subjek, pem-baca di hadapan karya sastra dilatarbelakangi
oleh berbagai macam pengalaman pribadi dan penga-laman sosialbudaya yang
kompleks. Sedangkan di pihak lain karya sastra sebagai objek merupakan
tanggapan pengarang (penciptanya) terhadap realitas sosial masyarakat. Sebagai
pencipta, pengarang juga mempunyai banyak pengalaman-pengalaman subjek-tif.
Oleh karena itu, memahami yang dicipta-kan seorang pengarang (dalam hal ini
karya sastra) bu-kanlah sesuatu yang
sederhana, sesuatu yang selesai atau tuntas yang hanya mempunyai satu
kemungkinan tafsir saja, tetapi ia adalah ekspresi seluruh kehidupan si
pengarang, dan karena itulah karya sastra adalah sama kompleksnya seperti
manusia itu sendiri.
Ditinjau dari
sudut tanggapan pengarang terha-dap realitas sosial yang diwujudkan dalam
bentuk karya sastra, dapat diperoleh satu konklusi bahwa karya sastra merupakan
pembayangan atau pencer-minan realitas sosial suatu kelompok masyarakat
tertentu. Karya sastra yang dihasilkan pengarang merupakan karya yang kompleks,
karena ia berada dalam jaringan-jaringan sistem nilai dalam masyara-kat.
Pengarang
melahirkan karya sastra yang berwujud novel misalnya merupakan manifes sosial.
Manifestasi sosial yang berwujud dalam bentuk novel (termasuk genre sastra
lainnya) tidaklah lahir dengan cara yang mudah, tetapi pengarang terlebih
dahulu melakukan analisis data-data yang terdapat dalam kehidupan masyarakat,
kemudian menginterpretasi-kannya, mencoba menetapkan tanda-tanda penting, dan
selanjutnya mengubahnya dalam bentuk tulisan (karya sastra). Menurut Zareffa
(1973) yang harus diperhatikan pengarang adalah bahwa karya sastra harus
dilahirkan dari sebuah pengamatan dan obser-vasi yang rasional dan pengalaman
pengarang dari sebuah realitas sosial. Sebelum pengarang menulis karya sastra
yang berwujud novel atau genre sastra lainnya, maka ia terlebih dahulu
menganalisis sebuah realitas sosial yang dihadapinya.
Sapardi Djoko
Damono (1978) memperma-salahkan tentang sastra sebagai cermin masyarakat. Ia
mempertanyakan sampai sejauhmana sastra dapat di-anggap mencerminkan
masyarakat. Pengertian ”cer-min” itu sendiri sangat kabur, dan oleh karena itu
ba-nyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Hal perta-ma yang mendapat
perhatian adalah: (a) sastra mung-kin tidak dapat dikatakan mencerminkan
masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri masya-rakat yang
ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia
ditulis, (b) sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh pengarang sering
mem-pengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c)
genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan
sikap sosial seluruh masyarakat, (d) suatu karya sastra ber-usaha untuk
menampilkan keadaan masyarakat secer-mat-cermatnya mungkin saja tidak dapat
dipercaya sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebali-knya, karya yang sama
sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti ba-rangkali
masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat.
Oleh karena itu, Sapardi Djoko Damono (1978) menyatakan bah-wa pandangan sosial
pengaranglah yang harus diper-hitungkan apabila karya sastra dikaji sebagai
cermin masyarakat.
Lebih lanjut
dijelaskan Sapardi Djoko Damono (1978) bahwa dengan mengetahui latar belakang
so-sial pengarang, maka terjadilah persamaan-persamaan dengan apa yang telah
diungkapkan di dalam karya-nya, dan juga agar tidak terjebak pada subjektivitas
yang sangat keras dalam mengungkapkan persepsinya, sebab sastra adalah persepsi
seorang pengarang terhadap realitas sosial yang dihadapinya. Di mana saja
seorang pengarang itu berada tidak menjadi masalah. Dengan demikian, sosiologi
sastra meneliti persepsi pengarang terhadap realitas sosial yang telah
dituangkan di dalam karyanya.
Seorang kritikus
sastra Marxis yang berke-bangsaan Hongaria Georg Lukacs yang telah meng-ungkapkan
teorinya tentang ”pencerminan” mengata-kan bahwa sastra sebagai pencerminan
masyarakat tidaklah hanya sekedar mere-kam kenyataan bagaikan sebuah foto,
tetapi melukiskan kenyataan dalam kese-luruhannya. Aspek yang terpenting di
dalam kenya-taan sosial adalah masalah kemajuan manusia. Se-orang pengarang
yang melukiskan kenyataan sosial dalam keseluruhannya, tidak dapat mengabaikan
masalah tersebut, dan harus mengambil sikap terhadap masalah itu, ia harus
melibatkan diri.
Seorang
pengarang yang tidak merasakan antu-sias terhadap kemajuan, yang tidak membenci
reaksi, yang tidak mencintai kebaikan, yang tidak menolak kejahatan, dan yang
tidak dapat membedakan dengan tepat berbagai unsur itu, menurut Luxemburg
(1984) maka kiranya dapat dikatakan
bahwa pengarang tersebut belum melihat keseluruhan perkembang-an masyarakat.
Lebih lanjut dikatakan Luxemburg (1984) bahwa seorang pengarang yang
berkualitas tentunya dapat melihat perkembangan masyarakat secara kese-luruhan,
sehingga persepsinya terhadap realitas sosial yang dituangkan dalam karyanya
dapat mencermin-kan realitas sosial. Persepsi pengarang terhadap reali-tas
sosial yang dituangkan dalam karyanya tersebut tentu sangat kompleks, sehingga
perlu ditafsirkan dengan teliti. Maksudnya adalah sastra adalah bagian dari
masyarakat yang dihasilkan oleh pengarang yang nota bene ia juga merupakan
anggota kelompok masyarakatnya. Oleh karena itu latar belakang penga-ranglah
yang perlu diperhatikan apabila sastra dinilai sebagai cermin masyarakat.
B. Karya Sastra sebagai Fenomena Estetik dan
Fenomena Sosial
Ada
dua kelompok pandangan yang saling ber-seberangan mengenai fenomena estetik dan
fenomena sosial dalam karya sastra. Kedua kelompok yang sa-ling berseberangan
itu adalah kelompok Formalis dan kelompok Marxis. kaum formalis memandang teks
sastra atau karya sastra sebagai fenomena estetik. Maksudnya adalah teks sastra
dipandang sebagai sesuatu yang otonom, yang lepas dari masyarakatnya. Oleh
karena itu, pemahaman sebuah teks sastra yang harus diperhatikan adalah
struktur estetiknya, seperti alur, latar, penokohan sebagai fakta cerita, dan
sudut pandang serta gaya bahasa sebagai sarana cerita. Kaum ini tidak
memperdulikan, meskipun dalam per-kembangannya teks sastra telah mengalami perubahan
sekali-pun, seperti pembalikan unsur alur dan lain-lain.
Sedangkan
di pihak lain, kaum Maxis meman-dang bahwa karya sastra sebagai fenomena
sosial. Oleh karena itu, kelompok Marxis
menyarakan bah-wa untuk memahami suatu karya sastra tidak bisa melepaskan diri
dari masyarakatnya, karena kebera-daan teks sastra tidak bisa dilepaskan dari
konteks kemasyarakatan.
Untuk
menjembatani kedua paham (pandangan Formalis dan Marxis) yang berseberangan
tersebut, Jauss (1982) menjelaskan bahwa kaum Formalis dan Marxis menjauhkan
teks sastra dari dimensi yang erat kaitannya, baik dengan sifat estetik karya
sastra mau-pun dengan fungsi sosial karya sastra, yaitu dimensi resepsi sastra
dan pengaruhnya. Oleh karena itu, Jauss
menyarankan bahwa sebuah teks sastra harus disikapi dari dimensi sosial dan
sifat estetiknya dalam konteks pembaca.
Di
sisi lain, Teeuw (1984) mengatakan bahwa dalam visi sosiologi sastra analisis
struktural yang berpangkal pada otonomi karya sastra memungkiri hakikat sastra
sebagai pembayangan atau pencerminan masyarakat, yang bagaimana pun juga harus
dibawa dengan latar belakang kenyataan. Kajian struktur demi struktur itu
sendiri sebagai tujuan akhir ilmu sastra yang membancikan karya sastra sebagai
balasan ter-hadap kenyataan, yang bagi masyarakat tidak hanya mencerminkan
kenyataan, tetapi juga memberikan ja-waban, alternatif. Namun begitu, penekanan
aspek mimetik tidak berarti bahwa analisis struktur karya sastra tidak dianggap
penting atau layak lagi. Maksud-nya adalah analisis karya sastra secara
struktural yang meneliti unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra
merupakan prasyarat utama untuk sosiologi sastra. Di dalam hal ini analisis
unsur-unsur intrinsik yang dilakukan harus diarahkan pada fungsinya seba-gai
penafsiran realitas sosial.
Beda
halnya dengan Lucian Goldmann (peng-gagas teori
strukturalisme genetik), menurut dia tidak ada pertentangan antara
sosiologi sastra dengan struk-turalisme. Sebab, studi terhadap karya sastra
harus diawali dengan analisis struktural, karena struktur kemaknaan yang telah
didapat dari karya itu mewakili pandangan dunia penulis; tidak sebagai
individu, tetapi sebagai wakil dari golongan masyarakatnya. Proses
transindividual atau intersubjektif pengarang (penulis) berbicara sebagai guru
bicara kelompoknya yang ditentukan oleh situasi sosialnya sebagai manu-sia, dan
situasi itu dalam karya pengarang secara opti-mal dan jelas terbayang
(tercermin) dalam produk karyanya.
Berdasarkan
asumsi itu, maka apresiato dapat
membandingkannya dengan data-data dan analisis ke-adaan sosial masyarakat yang
bersangkutan. Di sinilah terletak arti karya sastra dapat dipahami asalnya atau
terjadinya (genetik) dari latar belakang struktur sosial tertentu (Teeuw,
1984). Jika disimak dengan teliti metode Lucian Goldmann ini, maka dengan jelas
tampak bahwa Goldmann pun juga cenderung kepada pendekatan sosiologi sastra
seperti yang ditawarkan Alan Swingewood.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diambil suatu kesim-pulan bahwa kaum formalis memandang
karya sastra sebagai fenomena estetik, sedangkan kaum Marxis memandang sastra
sebagai fenomena sosial. Adapun Jauss memandang teks sastra dari kacamata
resepsi sastra yang erat kaitannya dengan sastra sebagai fenomena estetik
maupun sebagai fenomena sosial. Teeuw dan Goldmann memandang karya sastra
sebagai fenomena estetik dan juga sebagai fenomena sosiologis.
C. Relasi antara Karya Sastra dan Realitas Sosial
Bertolak dari
dasar pemikiran bahwa karya sastra
sebagai fenomena estetik dan juga sebagai fenomena sosiologis, maka dapat diasumsikan
bahwa sosiologi sastra adalah studi tentang hubungan antara sastra dan realitas
sosial yang diawali dengan analisis struktur. Yang menjadi problem adalah
bagaimana bentuk hubungan itu. Bentuk
hubungan antara sastra dengan realitas sosial itu meliputi hubungan antara
pengarang, karya sastra, masyarakat, dan pembaca. Untuk lebih jelasnya bentuk
hubungan itu dapat diperhatikan pada gambar berikut.
Gambar
di atas, memberikan beberapa infor-masi kepada kita. Informasi tersebut adalah:
Pertama, konteks sosial pengarang. Yang termasuk dalam kon-teks sosial
pengarang ini adalah posisi sosial penga-rang dalam masyarakat dan hubungan
dengan masya-rakat pembaca. Kedua, masalah yang berhubungan dengan kemungkinan
pencerminan masyarakat mela-lui karya sastra. Ketiga, masalah fungsi sosial
karya sastra. Suatu hal yang pertanyaan bagi kita adalah sejauhmana nilai yang
terkandung dalam karya sastra berhubungan dengan nilai-nilai sosial, dan
sejauhmana nilai dalam karya sastra dipengaruhi nilai-nilai sosial.
Untuk menjawab pertanyaan di atas,
Faruk HT (1988) menyebutkan bahwa hubungan antara sastra dengan realitas sosial
merupakan “hubungan dialogis tak
lang-sung”. Oleh karena itu, untuk
menjelaskan hubungan antara keduanya adalah melalui dimensi pengarang yang
memproduksi karya sastra yang meru-pakan tanggapannya terhadap realitas sosial
yang ia hadapi, sehingga yang terjadi di sini adalah “hubung-an dialogis tak langsung” antara pengarang dengan realitas
sosial. Bertolak dari pemikiran Faruk itu dapat diambil suatu pemahaman bahwa
bahwa karya sastra perlu diposisikan dalam keberadaan antara existing in-between. Maksudnya adalah
bahwa karya sastra hanya dapat menjadi nyata manakala ia dilihat
keterkait-annya antara pengarang dengan lingkungannya atau hubungan antara
relitas imajinatif (realitas dalam teks sastra) dengan realitas objektif
(masyarakat). Inilah yang menjadi objek kajian sosiologi sastra.
A.
Hubungan Peran Sosial, dan Implikasinya
terhadap
Struktur Intrinsik Karya sastra
Secara sosiologis, seluruh kehidupan manusia, disadari atau
tidak, pada dasarnya ditujukan kepada orang lain. Hanya dalam jumlah yang
terbatas, tindak-an-tindakan manusia dituj
okan kepada dirinya sendiri, tindakan yang dikategorikan sebagai motif-motif libi-dinal, seperti mimpi atau tindakan-tindakan orang yang berada dalam
keadaan sakit jiwa. Sebaliknya,
tindakan-tindakan yang ditujukan kepada
orang lain disebut tin-dakan yang berarti, aksi yang signifikan, sebab, tindakan-tindakan tersebut
secara keseluruhan dimanfaatkan dalam hubungan sosial tertentu, yang
bermanfaat bagi orang lain, sekaligus bagi subjek yang bertindak ("self). Dalam komposisi aksi-aksi yang
bermakna seperti ini, tidak dimungkinkan terciptanya dimensi-dimensi yang kosong. Setiap ruang dapat
didefinisikan dan dengan sendirinya
dapat diisi oleh sebab dan akibat
interaksi yang lain.
Kualitas dan kuantitas hubungan sosial jelas dihasilkan melalui orientasi subjek secara terus-menerus
terhadap gejala-gejala di sekitarnya. Subjek yang
berada dalam keadaan terlibat berusaha menerjemahkan eksis-tensinya kepada orang-orang lain, dengan tujuan agar orang lain
memahami kehadirannya. Subjek akhirnya dikenal melalui nama, status, jenis kelamin, peran (seperti ibu, bapak,
anak, paman, pemimpin, bawahan, majikan, suami, istri, dan lain-lain), agama,
dan berbagai identitas lainnya. Sebaliknya, subjek juga memberikan
definisi-definisi terhadap orang lain, sehingga di dalam
dirinya terbentuk suatu peta pemahaman, yang makin lama
makin luas dan beragam. Dikaitkan dengan penje-lasan
Mead (baca Poloma, 1987), sistem antarhubungan sebagian
besar terjadi sebagai akibat interaksi
"aku", bu-kan "saya", sebab,
hanya dalam "aku" individu terlibat secara total, yaitu dengan menggunakan mekanisme peranan-peranan
sosial. Melalui eksistensi "aku"
indi-vidu masuk ke dalam sistem pertandingan, bukan per-mainan, sebab, hanya dalam
"aku" individu hadir da-lam dan melalui perspektif orang lain, bukan dirinya sendiri.
Keterlibatan identitas "aku" sebagai
keterlibatan sosial sesungguhnya memiliki kaitan yang erat
dengan identitas bahasa sebagai parole dan langue. Langue dengan
ciri aspek-aspek kemasyarakatannya, ciri pema-kaian
bersama, seperti telah disebutkan di atas, meng-andaikan
bahwa bahasa dimanfaatkan secara sosial, mes-kipun
dihasilkan secara individual. Hanya langue yang memberikan kehidupan yang sesungguhnya terhadap bahasa sebagai
medium, bukan parole. Dengan
cara yang sama, hanya "aku" yang memberikan nafas kehidupan
terhadap "self, sehingga
kehidupan individu selalu diper-timbangkan dalam interaksi sosial.
Sebagai subjek bertindak, khususnya subjek kreatif, individu
memahami gejala-gejala bukan seba-gai gejala individual,
melainkan gejala yang disesuaikan dengan pemahaman orang lain, sebagai tipe (Berger dan Luckmann, 1973: 45—47). Pemahaman seperti ini dicapai
melalui ob-jektivasi dan
internalisasi, artinya, dikembang-kan melalui cara-cara pemahaman orang lain, melalui substitusi peranan, melalui cadangan pengetahuan bersa-ma, dan
dimediasi oleh prosedur-prosedur
yang juga merupakan konsensus
bersama. Kreasi karya seni dengan demikian merupakan usaha pemahaman terhadap mak-na-makna kehidupan yang ada di antara manusia, bukan dalam
individu.
Identifikasi terhadap aksi-aksi sosial sebagai tipe, bukan
generalisasi atau analogi-analogi, mengandaikan bahwa aksi sosial dipahami sebagai gejala yang dinamis, ciri-cirinya sama sekali tergantung dari mekanisme antarhubungan peranan. Manifestasi interaksi berserta keluaran-keluarannya bukanlah tipologi tertentu yang sudah berlaku umum, melainkan hanya dalam definisi yang sedang terjadi. Dengan cara yang sama, iden-tifikasi terhadap tokoh dan kejadian karya adalah identifikasi dalam proses membaca, dalam wacana dan teks, bukan dalam cerita. Tokoh dan penokohan, latar dan kejadian, dan berbagai pesan dan amanat dalam karya sastra tidak dipahami sebagai manusia tertentu, melainkan sebagai gambaran sikap, sebagai spesies (Swingewood, 1972: 193). Dalam penelusuran jaringan fakta-fakta kultural, khu-susnya yang
terkandung dalam tradisi dan konvensi
sastra, kapasitas individual hanya menyediakan jum-lah
informasi yang sangat terbatas.
Seperti juga bahasa, Albrecht (1970: 5) meman-dang karya sastra sebagai cara komunikasi antarperson, aparatur interaksi sosiai, yang keberadaannya mesti dinilai melalui sistem antarhubungan peranan. Struktur sosial, dan bahkan masyarakat itu sendiri, sesungguhnya
dibentuk melalui jaringan status peranan yang tak terhitung jumlahnya.
Strukturasi peranan-peranan sosial dengan demikian
merupakan mekanisme yang sangat penting dalam integrasi masyarakat. Meskipun demikian, karya sastra dengan masyarakat, melalui meka-nisme sistem
formalnya, melalui kapasitas
regulasinya, mampu untuk menunjukkan
eksistensinya masing-masing. Karya sastra dan masyarakat, sebagai kualitas isomorfis, gejala dengan
ciri otonominya masing-masing, mesti
dipan-dang sebagai diskret yang
saling melengkapi.
Sistem jaringan peranan status dalam struktur sosial mengandaikan terjadinya saluran-saluran infor-masi dalam proses interaksi dengan
tujuannya masing-masing. Setiap aksi
individual mengandaikan terjadinya reaksi, sesuai dengan sistem harapan
peranan, dengan kosakata yang mengacu pada struktur tindakan yang lebih luas. Setiap aksi pada gilirannya didefinisikan sebagai
proses yang berlaku umum, terlepas dari dimensi-dimensi subjektif yang melakukannya. Per-ubahan-perubahan
status peranan merupakan ciri khas
kehidupan manusia. Karena itu,
Duncan (1962) menye-butkan bahwa sistem harapan dan peranan,
peng-ambilalihan peranan-peranan orang lain
ke dalam diri subjek, merupakan ciri khas komunikasi. Manusia ber-tindak hanya di dalam peranannya masing-masing.
Secara sosiologis, persamaan-persamaan yang paling jelas antara karya sastra dengan masyarakat, sebagai
gejala isomorfis, adalah aksentuasinya terhadap
unsur-unsur aksi. Di satu pihak, dengan berbagai cara para sosiolog mencoba menjelaskan ciri-ciri
dinamika dan multidimensional masya-rakat.
Masyarakat, seperti dijelaskan di atas, dibangun melalui jaringan aksi dan
reaksi, yang dengan sendirinya juga melibatkan status dan peranan-peranannya.
Karena itu, masyarakat lebih dari jumlah individu. Gagasan-gagasan yang berkaitan dengan hukum, bangsa, bahasa, sastra, dan aparatur kultural yang lain,
lahir dengan adanya fungsi-fungsi
yang mengatasi kualitas individual.
Gagasan-gagasan tersebut berfungsi dan bermanfaat secara maksimal semata-mata dalam antarhubungannya dengan individu-individu yang lain.
Di pihak lain, karya sastra, khususnya dalam kaitannya dengan kecenderungan mutakhir, seperti: ciri-ciri
anonimitas, aksentuasi kualitas wacana, dan
kons-truksi dialogis pada umumnya, menganggap aksi seba-gai faktor-faktor utama
yang menggerakkan struktur penokohan, bukan
sebaliknya. Dalam paradigma tokoh, ciri-ciri fisik dan personalitas seolah-olah merupakan
unsur-unsur yang statis, artinya, perkembangannva ter-ikat pada tokoh-tokoh yang bersangkutan. Perkem-bangan
kejadian-kejadian dengan sendirinya
juga terikat pada struktur fisik dan personalitas tersebut. Sebaliknya, dalam paradigma aksi, tokoh-tokoh digerakkan oleh aksi dan reaksinya
dalam proses interaksi dengan tokoh-tokoh yang lain. Hubungan
antartokoh mengandaikan keterlibatan peranan dengan harapan-harapannya, insti-tusi sosial dengan orde-orde sosialnya.
Dikaitkan
dengan konstruksi dan aksentuasi unsur-unsur
penokohan dan kejadian seperti di atas, persamaan antara karya sastra
dengan masyarakat dengan sendirinya tidak
akan menghasilkan signifikasi deskripsi struktuk aksi yang sama. Sebaliknya,
dalam rangka menampilkan kualitasa semantis dan signifikan si interaksi secara keseluruhan, kedua diskret mesti diarah-kan
pada pola-pola pemahaman yang berbeda,
bahkan bertentangan. Dalam hubungan
ini karya sastra tidak fagi secara setia merepresentasikan gejala-gejala sosial, tetapi memutarbalikkannya sedemikian rupa, dengan cara me-manfaatkan
sarana-sarana literer berupa citra
bahasa dan lukisan tokoh-tokoh dan kejadian
secara artifisial, khu-susnya konstruksi dan signifikansi unsur-unsur rekaan-nya.
Perbedaan-perbedaan yang ditampilkan
dalam karya sastra,
khususnya bentuk-bentuk pengaturan kem-bali sarana-sarana sosiokultural ke dalam kerangka pema-haman imajiner, bertujuan untuk menggali dan
melipat-gandakan kualitas
makna, sebagai profilisasi semantik. Perbedaan ini sekaligus bertujuan untuk memanfaatkan cadangan-cadangan pengetahuan dalam memahami ja-ringan
status peranan
tokoh-tokoh. Karena itulah analisis sosiologis lebih banyak memberikan aksentuasi pada peranan
tokoh-tokoh, pada zone tokoh-tokoh, bukan unsur-unsur
fisik dan
perso-nalitasnya.
Rangkaian aksi dan reaksi dalam struktur stisial bukanlah gejala
yang terjadi secara otomatis, dan juga bukan semacam arus. Aksi
dan reaksi dalam struktur so-sial ialah kapasitas progres dalam kerangka
menyesuaikan mekanisme peranan dan harapan, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan minimal subjek.
Melalui mediasimediasi aparatus struktur
sosial, peranan-peranan diobjektivasi
dan diintimidasi menjadi tipe-tipe, yang pada gilirannya berfungsi untuk
menopang institusi sosial.
Sebagai
respons sastra merupakan presentasi kejadian sehari-hari, mengutip dan
membakukannya ke dalam struktur intrinsik. Karya sastra juga mengambil alih sistern
jaringan peranan. Melalui mediasi-mediasi, melalui aparatus
struktur literernya, karya sastra juga bermaksud untuk memberikan kepuasan
minimal, me-nyajikannva dalam
bentuk pengalaman terbagi kepada pembaca. Pada gilirannya, karya seni sastra juga ber-fungsi sebagai institusi, sekaligus menopang eksistensi institusi
yang lebih besar.
B. Institusi Sosial dan
Implikasinya terhadap Struktur Ekstrinsik
Karya sastra
Di samping aksi dan reaksi, status dan peranan, mediasi dan
cadangan pengetahuan, dan produsen dan konsumen informasi, aparatus sosial yang sangat penting da-lam
aktivitas sastra adalah institusi. Sebagai salah satu aparatus
sosial, institusi justru menduduki struktur kategori yang paling tinggi dan
paling luas, sebab, ins-titusi mensubordinasikan
dan sekaligus mengorgani-sasikan hampir
seluruh aparatus sosial yang lain. Dengan cadangan pengetahuan yang terutama tersimpan dalam bahasa, unit-unit tindakan diidenfikasikan ke dalam struk-tur
peranan. Dengan cara yang sama, peranan-peranan di-implikasikan ke dalam ins-titusi, ke dalam pola-pola
perilaku yang bermakna.
Ciri-ciri institusional sastra sangat jelas apabila
dikaitkan dengan kecenderungan manusia untuk bertindak pragmatis dan
efisien dalam mencapai suatu tujuan. Cara-cara yang paling mudah yang dapat
dilakukan adalah dengan pembiasaan-pembiasaan, dengan melakukan akti-vitas secara
berulang-ulang, sehingga tanpa disadari tujuan yang
dimaksudkan dapat dicapai. Dalam bentuk-nya yang
paling elementer, karya seni juga dicapai dengan cara-cara seperti di atas. Berbagai interaksi sosial dalam khidupan sehari-hari melibatkan dimensi-dimensi pe-mahaman
yang terarahkan pada perilaku yang diang-gap dapat
memberikan kepuasan-kepuasan kebutuhan minimal. Berbagai kebiasaan
dilakukan bukan untuk memberikan
kepuasan jasmani belaka, tetapi juga rohani. Rohani adalah aspek-aspek
yang meng-utama-kan unsur-unsur estetis,
yang diperoleh melalui mediasi warna, bunyi, konfigurasi, rasa, situasi dan
kondisi, dimensi ruang dan waktu,
dan sebagainya. Secara khas karya sastra memafaatkan mediasi-mediasi estetis mela-lui medium bahasa.
Sebagai institusi, di samping mempertahan-kan dan memelihara gejala-gejala dalam formasi tipe-tipe,
karya sastra juga berrujuan untuk
melegitimasikan institusi yang diterima
melalui tradisi dan konvensi. Sebagai institusi yang otonom, karya sastra juga mengembangkan pola-pola
baru, bahkan juga dengan cara
pembongkaran, sebagai dekonstruksi konstitutif. Karena itu, menurut
Berger dan Luckmann (1973), untuk mencegah
kehi-langan kenyataan subjektifnya,
representasi harus dihi-dupkan secara terus-menerus,
melalui aktualisasi pera-nan-peranan. Hukum melalui bahasa dan teori-teori hu-kum, agama melalui perilaku dan ritus religi, sastra melalui bahasa
sastra dan berbagai aktivitas yang
dapat menopang perkembangan sastra dalam arti seluas-luasnya. Pembiasaan hanya
memerlukan proses repro-duksi, tidak
perlu didefinisikan kembali.
Institusi mengarahkan pada peta
pemahaman terhadap karya sastra sebagai
gejala sosial, sekaligus menolak dua kecenderungan utama dalam posisi paradoksal, yaitu: di satu
pihak karya sastra sebagai gejala yang otonom, di pihak
lain karya sastra sebagai refleksi. Sumber kreativitas mesti ditelusuri dalam
rangkaian sejarah sastra, kondisi-kondisi sosial yang mempengaruhinya, dengan mengidentifikasi
variabel-variabel struktur sosial yang terlibat, seperti: patron, trilogi
penulis-kritikus-penerbit, dan kelas sosial. Sesuai dengan proposisi Albrecht (1970), sumber kreativitas bukan keanggotaan
secara organisatoris atau wilayah
teritorial, melainkan berupa pola-pola karakteristik tingkah laku. Karena itu, secara institusional produksi dan kreasi sastra tidak mesti bersatu,
meskipun cen-derung bersatu,
integrasi bukanlah suatu keharusan fungsional.
Fungsi-fungsi mediasi dalam produksi sastra, baik dalam
hubungan terbatas antara karya sastra dengan subjek kreator,
maupun dalam hubungan yang luas antara karya sastra dengan pembaca, juga menun-jukkan
dengan jelas bahwa karya sastra termasuk dan merupakan bagian institusi. Proses
kreatif bagi penga-rang pada dasarnya adalah pelaksanaan ekspresi terha-dap
orde-orde yang telah dimapankan sekaligus menun-jukkan bahwa karya lahir sebagai persepsi sosiologis. Kerangka
pemahaman bersama mendahului sekaligus mengkondisikan
kualitas subjektif. Karena itulah di-mensi-dimensi inovatif mesti
dipertimbangkan dalam pengertian fakta
sosiologis secara keseluruhan. Proses
produksi, pada gilirannya selalu merupakan reproduksi.
Hubungan-hubungan
luas dan terbuka antara karya sastra dengan pembaca, baik pembaca aktual maupun
pembaca imajiner, juga mengandaikan pelak-sanaan
struktur kategori-kategori relatif, yang diorgani-sasikan oleh orde-orde sosial tertentu. Penelusuran mak-na
karya secara total mesti
mengan-daikan pemaham-an terbagi, pemahaman dengan kapasitas cadangan
pengetahuan, yang secara insti-tusional
terbentuk dalam periode bersejarah yang panjang. Pengalaman fragmentaris
subjek kreatif mesti dilengkapi dengan
memasukkannya ke dalam struktur sosial historis. Ka-rena itulah, menurut
Goldmann (1977:99) karya sastra yang valid
adalah karya sastra yang didasarkan atas keseluruhan kehidupan manusia,
yaitu pengala-man subjek kreator sebagai warisan tradisi dan konvensi.
Sebagai institusi, karya sastra
dengan sendiri-nya juga melibatkan ciri-ciri institusi
bahasanya. Dalam karya sastra, medium bahasa dengan
organisasi pesan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam genre tertentu,
seperti puisi dan prosa lirik, sastra tidak berbeda dengan citra bahasa dan representasi medium bahasa itu
sendiri. Sebagai institusi, karya
sastra pada gilirannya menyediakan
sejumlah informasi sosial, relevansinya tidak terbatas hanya untuk
menopang perkembangan tradisi dan konvensi sastra, tetapi juga bermanfaat untuk
meningkatkan kualitas pemahaman pembaca.
Melalui cara-cara yang tidak langsung, tetapi secara terus-menerus diarahkan pada konteks pema-haman bersama, yang
dipersiapkan melalui konfigurasi
status dan peranan, ciri-ciri institusi
memberikan kemungkinan yang paling luas untuk mengungkapkan secara lebih memadai kondisi-kondisi sosiologis karya.
Karya sastra mampu untuk memasuki seluruh
ruang kehidupan nyata, mengarahkan ciri individual pada pola-pola perilaku
sosial dalam rangka membentuk
keseimbangan emosional, khususnya dalam
kondisi-kondisi masyarakat yang
pluralistik.
Aspek bahasa dengan kapasitas transferabili-tasnya, secara
keseluruhan menopang eksistensi karya sastra sebagai gejala-gejala sosial.
Karya sastra yang semu-la merupakan gejala individual, disebarluaskan ke dalam pemahaman
supra-individual, ke dalam pemahaman di luar ruang dan waktu.
Kapasitas bahasa seperti ini men-jangkau wilayah penyebaran yang tak
terbatas, dan dengan sendirinya meli-batkan semestaan penutur yang beraneka ragam. Meskipun
demikian, di antara pemba-ca terdapat persamaan sistem, kaidah, tata bahasa,
kosa-kata, dan ciri-ciri linguistik yang lain, yang berfungsi untuk mengorganisasikan struktur
pemahaman, sehingga tercita peta pemahaman yang relatif sama.
Ciri-ciri institusi yang melekat pada medium bahasa dapat
dijelaskan melalui fungsi-fungsinya dalam mekanisme hubungan sosial. Dikaitkan
dengan fungsi-fungsi sosial bahasa seperti telah disebutkan di muka, ciri-ciri institusional bahasa
pun pada dasarnya dapat ditlusuri melalui perbedaan bahasa menjadi langue dan parole. Sebagai
sistem, sebagai langue, di satu pihak bahasa dibentuk oleh masyarakat,
yaitu keselu-ruhan komunitas pendukung bahasa. Karena itulah bahasa berada di
luar kontrol individu dan bersifat impersonal, konvensional, dan independen. Di pihak lain, totalitas
kehidupan berlangsung hanya melalui
manifestasi sistem bahasa, setiap individu pada dasarnya diinvestasikan di dalam definisi tersebut. Seperti permainan yang memiliki aturan-aturan
tersendiri, ia mesti dipahami
bersama. Makna bahasa sebagai wacana sosial,
dapat dipahami secara optimal setelah dimasukkan ke dalam kerangka pemahaman bersama, ke dalam medium bahasa sehari-hari.
Untuk
menentukan ciri institusi bahasa, Halliday (1984:183-192)
secara langsung membedakan bahasa menjadi
dua macam, yaitu: bahasa sebagai sistem dan bahasa sebagai institusi. Bahasa sebagai sistem adalah bahasa yang
diorganisasikan ke dalam komponen-komponen fungsional.
Sebagai sistem linguistik, konteks sosial merupakan prediksi teks, karena itulah komunitas juga dimungkinkan untuk
melakukan prediksi makna yang diperlukan
dalam setiap situasi. Di pihak lain, bahasa sebagai institusi melibatkan dua variasi, yaitu: 1) dialek
(dialek sosial), dan 2)
register.Variasi dialek mereflek-sikan orde sosial dalam pengertian hierarki struktur sosial, sedangkan register merefleksikan orde sosial dalam
pengertian diversitas proses sosial.
Bahasa secara aktif me-nandakan sistem sosial,
jadi bahasa juga berfungsi untuk menciptakan, sebagaimana diciptakan. Bahasa bukan ha-nya mentrans-misikan orde sosial,
tetapi juga memperta-hankannya, dan secara potensial memodifikasikannya.
Keterlibatan karya sastra dengan struktur so-sial,
termasuk medium bahasa dengan peralatan struktur intrinsiknya, sesungguhnya
merupakan keterlibatan secara tidak langsung, keterlibatan konsep-tual. Benar karya
sastra bersumber dari dan di dalam struktur sosial, demikian juga secara potensial me-manfaatkan
fakta-fakta dan gejala-gejala sosial,
tetapi karya sastra memiliki kapasitas regulasi yang berfungsi untuk mentransenden-sikan totalitas mekanis struktur intrinsiknya. Proses regulasi
struktur intrinsik karya sastra
mengandaikan suatu proses ontogenesis sekaligus historis. Artinya, proses
regulasi tersebut terjadi sebagai
akibat interaksi sosial yang berulang-ulang, sehingga terjadi akumulasi fakta-fakta literer yang memadai.
Hubungan
karya sastra dengan masyarakat dalam bentuk interaksi konseptual memberikan
ke-mungkinan yang jauh lebih luas unruk
mengidentifikasi struktur sosial karya,
termasuk ciri-ciri institusinya. Ciri-ciri institusi dapat memberikan penjelasan yang lebih me-madai
terhadap karya sebagai rekaan dalam
hubung-annya dengan fakta sosial.
Interaksi konseptual tidak ber-arti meniru atau memindahkan kenyataan-kenyataan sosial secara
langsung, melainkan memodifikasikan-nya
dengan cara-cara yang sama sekali baru. Dengan demikian, karya sastra
tetap merupakan bagian integral masyarakat,
meskipun bersifat otonom dalam
batas-batasnya sendiri.
Secara
genetis, seperti juga masyarakat iru sendiri, karya sastra dibangun melalui
jaringan status dan peranan dalam mode
organisasi sistem aksi, yaitu sebagai institusi. Karya seni sastra dan
masyarakat sebagai dua diskret yang selalu
berhubungan secara dialektis, melalui integrasi status peranan dalam struktur aksi, secara terus-menerus mengandaikan
gerakan total ke arah akhir, meskipun sesungguhnya tidak pernah berakhir. Tradisi, konvensi, dan warisan-warisan kultural yang terkandung dalam
struktur sosial, dimapankan melalui
institusi sosial dan diserap ke dalam institusi sastra. Sebagai
institusi, sastra pada akhirnya memapankan
dan mengembangkan keseluruhan warisan
kultural yang terkandung dalam struktur sosial.
Perbedaan fundamental antara
karya sastra dengan masyarakat, dalam hubungannya dengan pe-laksanaan identifikasi institusi adalah peranan mediasi
struktur narativitas yang terjadi
dalam karya sastra. Dalam struktur sosial,
struktur perilaku merupakan obyek langsung dalam menentukan identifikasi
institusi. Seba-liknya, dalam karya sastra
identifikasi ini dimediasi oleh struktur naratif, termasuk sejumlah definisi yang menyer-tainya. Dalam
bentuk fisik, narasi mengorganisasikan universum tokoh-tokoh dan kejadian, imajinasi dan kreativitas, termasuk
gaya dan teknik penyajian. Struktur
narasi menyediakan totalitas
pemahaman, baik bagi subyek kreator maupun kerangka pembacaan selan-jutnya. Karena itu, identifikasi terhadap ciri-ciri institusi karya sastra jauh lebih
sulit dan beragam, karena melibatkan saluran-saluran komunikasi yang sangat berbeda-beda.
Usaha dan kerja keras manusia dalam mene-robos rahasia
alam semesta dengan memanfaatkan sains dan teknologi telah memberikan
berbagai fasilitas dalam kehidupan praktis, kehidupan sehari-hari. Sebagian mode-mode kehi-dupan
seperti ini menopang kualitas akselerasi pola-pola perilaku pada tingkat
pemahaman yang lebih tinggi. Di pihak yang lain, sastra juga ber-fungsi untuk
memperluas dan mempertinggi penge-tahuan manusia, meskipun bukan
secara ilmiah.
Kebenaran yang ditawarkan melalui karya sastra bukan kebenaran yang transparan,
melainkan kebenaran yang timbul melalui
dialektika hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan masyara-kat.
Karena itulah fungsi-fungsi institusi mendahului dan mendominasi instrumen fisik dan biologis secara keseluruhan.
Keterbatasan medium karya sastra, yaitu dalam bentuk
struktur narativitas yang telah dikutip dan dile-paskan dari totalitas struktur
sosialnya, tidak me-mung-kinkannya untuk memasukkan keseluruhan fakta sosial ke dalamnya. Melalui substitusi naratif,
sastra hanya memindahkan pola-pola perilaku
yang telah terseleksi ke dalam unit-unit wacana, ke dalam semestaan tokoh dan
kejadian, menurut kerangka institusi
literer. Abstraksi fakta-fakta ke dalam struktur verbal mesti dipertimbang-kan melalui keseluruhan pemahaman subjek kreator, yaitu imajinasi dan
kreativitas.
C. Teknik Mengapresiasi Realitas Sosial
dalam Karya Sastra
Seperti
dijelaskan di atas, bahwa objek kajian sosiologi sastra adalah keterkaitan atau
kerelevanan antara realitas imajinatif (realitas sosial dalam karya sastra)
dengan realitas objektif (realitas sosial masyarakat). Untuk sampai kepada
kesimpulan bahwa realitas sosial yang diceritakan dalam karya sastra itu
merupakan pencerminan realitas sosial diperlukan teknik analisis.
Menurut Damono
(1978) dan Junus (1986) ada dua teknik yang dapat kita lakukan dalam meng-analisis
karya sastra sebagai pencerminan realitas sosial. Pertama, analisis dimulai
dengan teknik pema-haman latar atau lingkungan sosial untuk masuk kepada
hubungan sastra dengan faktor-faktor di luar sastra seperti tercermin dalam
karya sastra. Teknik ini melihat faktor sosial yang ”menghasilkan” karya sastra
pada suatu kurun waktu tertentu. Dengan meng-gunakan teknik ini, berarti kita
melihat faktor sosial sebagai mayor analisis dan karya sastra sebagai minornya.
Maksudnya adalah teknik ini bergerak dari sosiologi untuk lebih memahami
faktor-faktor sosial yang terdapat di dalam karya sastra.
Kedua, teknik
analisis dimulai dari teks sastra dan mengungkapkan faktor-faktor sosial yang
ada di dalamnya, kemudian menguji kepada faktor sosial masyarakat yang menjadi
topik penceritaan. Teknik ini mengutamakan teks sastra sebagai fenomena utama
bahan utama analisis (mayor analisis) dan fenomena sosial masyarakat sebagai
minornya. Teknik yang di-pergunakan dalam telaah sosiologi sastra ini adalah
analisis teks sastra untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi
fenomena sosial yang ada di luar teks.
Dari dua teknik
yang dipaparkan di atas, keduanya dapat digunakan dalam kajian sosiologi
sastra. Teknik pertama pernah digunakan oleh Umar Junus dalam disertasi,
sedangkan teknik kedua cukup banyak dilakukan kritikus Indonesia. Untuk kepen-tingan
uraian ini akan ditampilkan sebuah model tek-nik analisis realitas sosial dalam
karya sastra. Model yang ditampilkan lebih cende-rung menggunakan teknik yang
kedua, yaitu teknik yang bergerak dari teks sastra sebagai mayornya dan
fenomena sosial sebagai minornya.
D. Model
Mengapresiasi Realitas Sosial
dalam Karya
Sastra
Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat dua model kajian sosiologi sastra. Pertama, model yang mendasari realitas
sosial sebagai mayor dan teks sastra sebagai minornya. Kedua, teks sastra
sebagai mayor dan realitas sosial
sebagai minornya. Kedua, model kajian
sosiologi sastra itu dapat diimplemen-tasikan dalam pembelajaran apresiasi sastra.
Untuk kepentingan model apresiasi yang diterapkan adalah model adalah model
yang kedua. Model yang ditawarkan ini bukanlah satu-satunya model dalam
mengapresiasi sastra, tetapi hanya merupakan salah satu model. Model ini
bertolak dari asumsi bahwa menghubungkan karya sastra dengan masyarakat, bukan
berarti harus mengabaikan data-data struktur karya sastra. Penyelidikan awal
tetap bermula dari pengamatan data-data struktur karya sastra, kemudian data
yang ditemukan dari struktur itu harus diuji, dinilai dan diproyeksikan kepada
masyarakatnya.
Berdasarkan
asumsi itu, disusunlah tahap kerja model apresiasi sebagai berikut: (1) pengin-ventarisan
data-data karya yang meliputi penentuan latar, penentuan peran tokoh, hubungan
antarperan, penetapan masalah berdasarkan hubungan antarperan; (2) penyelidikan
norma-norma yang diungkapkan karya sastra, sekaligus dalam hal ini penyelidikan
kenyataan realitas objektif melalui anggota masya-rakat yang sepadan dengan
peran-peran tokoh yang ada dalam karya sastra; dan (3) penyelidikan hu-bungan
permasalahan karya sastra dengan norma-norma realitas objektif. Berdasarkan
penyelidikan hubungan ini, akan dapat ditentukan tingkat kerele-vanan antara
realitas karya sastra dengan realitas sosial masyarakatnya. Sebagai contoh di sini ditam-pilkan apresiasi terhadap realitas sosial masyarakat
Minangkabau dalam cerpen “Si Padang”
karya Harris Effendi Thahar berikut.
Si Padang
Harris
Effendi Thahar
”Parmin,Parmiiin.
Parmiiin. Ke mana sih, Parmin sinting ini. Nggak juga ada. Sialan. Pada mati
semua.”
Suara gadis itu
melengking seperti menusuk-nususk gendanga telingaku. Lalu kudengar ketukan
sembrono di pintu. Aku bangkit membuka. Lidya menjulurkan kepalanya ke dalam
kamar sempit itu. Ini memang kamar Parmin. Tukang kebun tempat aku numpang
nginap sejak seminggu yang lalu.
”Eh Uda Padang.
Lagi ngapain? Tidur-tiduran, ya. Uda Padang
mau nggak nolongin Lidia,” ujar gadis centil anak mamakku (paman) itu.
Padahal, aku paling tidak suuka di panggil Uda Padang itu. Aku memang orang Padang.
Dan , dia, gadis itu, ayah ibunya yang juga kerabatku bukankah juga orang
Padang? Namaku cukup jelas baginya sejak aku memperkenalkan diri dulu. Namaku
Mansur bin Maliki, keponakan Haji Kiram Datuk Nan Kunieng Tombago, yakni ayah
gadis centil yang judes ini.
”nolong apaan?”
kataku dengan logat Betawi yang masih janggal.
”Beliin rokok ke
prapatan itu dong.”
”Rokok untuk siapa?
Kamu ngisap ganja, ya?”
”Ah, jangan banyak
tanya ah, Untuk pacar gue. Tuh, die di kamar gue. Die lagi kehabisan rokok.
Rokok papa juga nggak ada sisanya.”
”Sial. Lancang
keterlaluan! Diancuk!” Sumpahku tak kedengaran. Habis, aku benar-benar merasa
terhina. Tak biasanya di kampungku orang yang lebih tua disuruh-suruh begitu.
Disuruh beli rokok lagi. Untuk pacarnya pula lagi. Gila!
”Suruh Parmin aja
Lid. Aku aku capek seharian menapaki Jakarta cari kerja.”
”Parmin lagi ngggak
ada. Hayo cepet doong. Ntar dapat persennya. Mending bali rokok, kan, dari pada
tidur-tiduran gratis dan makan gratis di rumah gue,” ujarnya seperti tidak punya
beban perasaan sedikitpun. Hatiku rasa tertusuk. Namun, apa daya, aku memang
menompang di rumahnya, walaupun orang tuaku di kampung telah bersenang hati
bila mendengar kabar aku tinggal bersama mamakku Haji Kiram Datuk Nan Kunieng
Timbago di Jakarta. Kini aku diperlakukan begini oleh putri bungsunya yang baru
duduk di kelas satu SMA.
Tapi pula, sejenak
kupikir, daripada ribut-ribut dan kalau memang aku bakal dapat persenan, tidak
ada salahnya aku pergi juga membeli
rokok sekalipun untuk pacarnya. Apalagi sudah lama rokok merupakan barang mewah
sejak aku turun Kapal Kerinci dari Padang seminggu yang lalu.
Seminggu menjelang
Idul Fitri yang lalu mamakku itu pulang ke rumah gadang di kampung. Ia memang
sudah lama tidak pulang. Ia pulang membawa sambil memperkenalkan istri mudanya
dan si bungsu lidia. Istri tuanya sudah lama meninggal dan orang Padang juga.
Tapi, istri mudanya ini kabarnya oranng Betawi asli. Cantik dan masih muda.
Mamakku ini
sebetulnya saudara sepupu ibuku. Sejak muda belia ia merantau ke Jakarta dengan
hanya bermodalkan dengkul. Dan, kini ia telah menjadi orang yang paling
terkenal dan populer di kampungku, melebihi popularitas bupati. Malah pernah
ditawarkan untuk menjadi bupati. Jalan-jalan desa kampung kami, beliaulah yang
banyak membantu dalam bentuk kiriman uang. Masjid raya yang megah di kampungku
itu juga sebagian besar dibangun atas biaya kirimannya. Dan, rumah gadang
sebagai lambang kebanggaan kaum kami juga sudah dipugar apik. Ayah dan ibukulah
yang menyelenggarakan perbaikan rumah gadang yang bertanduk itu. Oleh sebab
itu, empat tahun yang lalu, ketika ia pulang meninjau pembangunan masjid, ia
didaulat menjadi Datuk dengan gelar Datuk Nan Kunieng Timbago Cahyo Nago. Ia
resmi menjadi penghulu kaum keluargaku, dan aku merasa bangga juga menjkadi
keponakannya.
Menjelang Idul
Fitri kemarin ini, ia sering memberikan ceramah agama di masjid raya yang
dibangunnya itu. Semua masyarakat terkagum-kagum akan fatwanya. Ia seorang haji
pula. Dan, sebelum ia berangkat kembalike Jakarta, aku bersama ibu menghadapnya
ke rumah gadang. Kami tinggal di rumah kecil dekat sawah.
”Kemenakan Datuk
ini sudah tiga kali ikut tes Sipenmaru. Dan, nasibnya menentukan lain.”
”Tidak lulus juga
buka?” cepat ia memotong.
”Iya, Datuk.”
”Masuk aja akademi
kek, universitas swasta kek, kan banyak sekarang,” sela istrinya.
”Tidak kuat bayar
SPP-nya Mintuo…eh, Tante,” jawabku memberanikan diri.
”Kalau begitu cari
kerja saja,” ujar mak Datukkku.
”Iya Datuk. Tapi,
kalau boleh bagaimana Si Mansur ini cari kerja di Jakarta saja Datuk. Maksud
saya atas pertolongan Datuk,” kata ibu terbata-bata dan tak berani menatap mata
Datuk yang gagah itu.
”Baik. Kalau mau
kerja, di Jakarta memang banyak pekerjaan. Asal jangan suka pilih-pilih dulu.
Kalian tahu sejarahku dulu di Jakarta bukan?”
”Tahu Datuk,”
jawabku serentak dengan ibu.
”Ntar kalau ke
Jakarta, turun kapal langsung saja ke toko di Glodok. Nanti mobil kita yang
ngantarin ke rumah di Blok M. Gampang kok. Ingat saja nama toko, turun di situ
pakai taksi. Gampang kan?” ujar Lidia sambil mengernyitkan sebelah matanya
padaku. Cantiknya. Aku berdebar.
Semua itu bagiku
lebih dari cukup.
Sejak seminggu yang
lalu aku menginjakkan kaki di Kota Jakarta ini, baru dua kali bertemu puncak
hidung mamakku itu. Pertama ketika turun dari kapal, kedua ketika aku datang ke
tokonya melihat-lihat tanpa dapat bicara banyak. Dialah yang bicara bahwa sudah
banyak pegawainya yang terkena PHK. Kini tinggal beberapa orang tenaga terampil
saja lagi.
Di rumahnya yang
bertingkat seperti istana dan berpagar tembok dan besi yang tinggi ini, suasana
begitu lain. Mamakku mempunyai mobil dan sopir, berangkat pagi-pagi. Tanteku
juga begitu. Mereka pulang malam-malam. Anak-anaknya yang besar-besar (entah
berapa anaknya, aku tidak tahu persis) begitu juga. Karena, selain Lidia, tak
seorangppun yang diperkenalkan kepadaku. Mana yang sudah kawin atau yang masih
pacaran, juga aku tidak tahu persis. Rumah itu mirip hotel mewah. Tiap-tiap
orang punya kemedekaan di kamarnya. Di depan, di samping, atau di belakang ada
taman yang ditata rapi.
Memang tidak ada
kamar khusus bagi tamu seperti aku dari kampung ini. Itulah sebabnya Tanteku
menyuruh aku sementara nginap saja bersama Parmin, si tukang kebun yang lucu
dan patuh itu.
”Nanti kalau ada
keperluan apa-apa, Mansur tinggal pesan saja sama Parmin atau Ginah, ya. Tante
pergi dulu, ya,” ujarnya pagi itu, ketika pertama kali aku datang. Dan, hanya
Lidia yang sering mengusikkku, lawan bicara dan bercanda, meskipun sering
melukai. Namun begitu, sudah cukup bagiku merasakan secuil rasa tentram punya
saudara di Jakarta yang asing.
Tadi, Lidia
memberiku uang sepuluh ribuan untukku membeli rokok Jisamsoe buat pacarnya,
empat bungkus, dan kulebihkan sebungkus untukku dan bersedia menjadi bekal bila
dimarahi Lidia. Waktu kukembalikan lebih uangnya; ”Ambil buat kamu aja deh,”
katanya.
”Nggak usah ah,”
aku masih berbasa-basi.
”Gue kasiin sama
Parmin mau?”
”Oh, jangan Lid.
Sini buat aku.”
Jumlah sekian
bagiku amat besar di tengah-tengah pengangguran yang baru saja kumulai. Lumayan
buat ongkos bus kota. Tapi, sate padang lebih menggodaku, yang tadi siang
sempat tercium olehku ketika lewat di depan restoran depan lapangan parkir Blok
M. habis, dirumah mamakku itu, walaupun menunya mewah, rasanya begitu lain
dengan lidah Padangku yang masih asli. Bau sate tadi siang itu telah menyeret
kakiku senja itu ke pasar Blok M. Sambil
mematut-matut restoran yang tidak terlalu mahal.
”Sate ciek,”
sorakku tak begitu keras pada pelayan yang berpakaian seragam. Tapi, suaraku
rupanya sedikit keras bagi seorang pemuda yang sudah lebih dahulu menyantap
satenya. Tapi, hatiku ragu-ragu hendak menyatakan bahwa pemuda yang sedang
mennyantap sate sendirian itu adalah Basril, teman semasa kecil dulu di
kampung.
”Mansur bukan?”
”Ya, Basril. Eh,
kamu. Tidak salah lagi.”
Kami bagai
tenggelam pada masa silam. Pada masa
kanak-kanak asyik bermain layangan. Sama-sama mengaji kesurau bila hari telah
senja. Sampai SMP kami masih bbersama di kampung. Kemudian Basril menghilang.
Konon dipesan mamaknya pula di Jakarta.
Aku merasa begitu
beruntung senja itu bertemu Basril. Lalu saling tukar pengalaman. Ia punya
punya taksi gelap untuk carteran. Ia
baru saja mengantarkan seorang langganannya dari punya ke Jakarta. Basril
tinggal bersama mamaknya di Parung. Mamaknya pengusaha taksi gelap dan sebuah
bengkel untuk kedok. Ke sanalah aku di ajak Basril senja itu, sehabis
mengganyang sate padang.
Ketika aku pamit
pada Lidia akan pergi bersama Basril, ia berkata: ”Mau sering-sering datang ke
sini lagi, kan?”
”Tentu Dik.
Bukankah kau saudaraku dan papamu mamakku.”
”Aku bakal
kesepian. Cari kawan ngobrol aja susah di rumah yang besar ini.”
Di matanya kubaca
kesungguhan. Ia merasa kehilangan teman bercanda atas kepergianku.
”Tolong bilang sama
tante, aku banyak-banyak mengucapkan terima kasih.”
Lidia mengangguk
sambil menatap dalam ke mataku.
Mamak Basril memang
lain dengan mamakku. Kedatanganku disambut dengan meriah oleh keluarganya. Dan
merasa semakin senang ketika kukatakan bahwa aku ingin ikut jadi sopir taksi
atau bekerja di bengkel, karena aku lulusan STM bagian mesin. Dan, untuk
menjadi sopir taksi gelap, tak cukup sebulan Basril mengajariku mencari
langganan, sekaligus mengenal liku-liku Jakarta, aku sudah berani sendiri.
Begitulah, suatu
pagi telepon di rumah kantor bengkel berdering dari langganan taksi menjadi
bagianku karena Basril lagi pilek. Dan, alangkah kagetnya ketika aku dapati
alamat langganan Basril itu ternyata toko besar mamakku. Dengan hati berdebar
kencang, aku melapor pada portir bahwa aku telah siap. Lama aku merasa terpaku
menunggu laki-laki tua yang tampan dan ternyata mamakku itu. Persisis dugaanku
semula. Ia menatap mobilku, lalu sekilas memandang wajahku yang sebagian
tertutup topi bonanza seperti pakaian seragam tak resmi kami.
”Kamu sopir baru
ya?”
”Ya mam, eh tuan.”
Memang betul
dugaanku. Ia tak menyangka dan tak kenal bahwa aku adalah keponakannya sendiri.
”Ingat kita mampir
dulu ke alamat ini,” katanya sambil menyodorkan kartu alamat dari jok belakang.
Begitu memasuki
halaman gedung yang dituju, aku membunyikan klason tiga kali seperti yang
diperintahkannya. Tak lama muncul seorang wanita cantik, mengepit tas, turun
tangga dengan wajah berseri-seri. Aku bergegas membukakan pintu di sebelah kiri
lelaki itu dan menutupnya hati-hati. Lalu tancap gas ke Cililitan, terus
memasuki jalan tol menuju Puncak dengan rasa badanku panas dingin. Aku tak
kuasa melirik kaca spion apapun yang terjadi di belakangku. Kecuali suara yang
membuat aku merinding. Karena lelaki yang duduk di jok belakangku itu adalah
penghulu kaumku, mamak kandungku, kebanggaan orang sekampungku.
Ketika menginjak
rem sampai di bungalo yang dituju, sengaja makin kubenamkan topi bonanzaku agar
mamakku itu benar-benar tidak mengenalku. Dan , itu melegakanku, ketika sambil
melangkah saja ia menyodorkan uang padaku sambil berkata: ”Jangan lupa, ya,
besok sore pukul lima. Mengerti?”
”Iya Tuan,” suaraku
serak.
Tapi, esoknya
tugasku itu telah digantikan Basril atas usulku.
Karena ada sesuatu
yang membuatku gelisah, suatu sore di hari Sabtu, aku membelokkan taksiku ke
rumah mamakku. Aku rindu Lidia, puti bungsunya yang cantik itu. Dan,
kedatanganku disambut Parmin dengan rasa heran.
”Waah, Den Mansur
sekarang sudah punya mobil, ya. Hebat. Sering Non Lidia tanya saya kalau pulang
sekolah, Uda Padang tadi datang nggak?”
”Betul?”
”Sumpah Den.
Tapi…Sst.”
”Ada apa?”
”Non Lidia dari
tadi dibentak-bentak tuan besar karena kepergok berdua di kamarnya dengan
pacarnya itu.”
”Betul?”
”Sumpah Den.”
Aku buru-buru naik
ke tingkat dua sambil berjingkat di atas karpet. Makin jelas ku dengar suara
mamakku itu: ”Anak ular. Siapa yang ngajar kamu kumpul kebo begini, ha?
Generasi muda bobrok! Tak dapat dipercaya. Kecekik kau….”
Aku kaget ketika
suara tangis Lidia semakin keras. Aku berlari turun dengan rasa masygul yang
dalam. Aku termangu di pintu ketika kedengar langkah Lidia berlari turun sambil menangis dan
menjambak-jambak rambutnya sendiri. Dan, di belakangnya wajah beringas mamakku
mengikuti septi hendak menerkam ananknya.
”Uda Mansur,
tolooong…!” Lidia menubruk dan langsung kutangkap. Langsung kumasukan ke dalam
mobilku dan langsung kutancap gas. Entah akan kubawa ke mana putri mamakku
itu.
Untuk
mengapresiasi cerpen ”Si Padang” karya Harris Effendi Thahar ini haruslah
disertai dengan penyelidikan sistem sosial budaya masyarakat Minangkabau dan
prilaku anggota masyarakat Minangkabau. Bobot cerpen ”Si Padang” akan ditentukan oleh tingkat kerelevanannya dengan
konteks sosialnya, masyarakat Minangkabau. Per-masalahannya sekarang adalah
”Seberapa jauhkah cerpen ini menggambarkan prilaku anggota ma-syarakat
Minangkabau?”; dan ”Bagaimanakah tingkat kerelevanan cerpen ini dengan sistem
sosial budaya Minangkabau?”
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa langkah yang lakukan peserta didik berdama pendidik dalam
mengapresiasi realitas sosial masyarakat yang tercermin dalam sebuah karya
sastra. Langkah-langkah tersebut adalah: (1) penentukan latar cerita untuk
mengetahui gambaran masyarakat yang menjadi topik cerita dalam karya yang
dianalisis; (2) penentuan tokoh berserta perannya (dapat digunakan format
berikut;
Format Inventaris Tokoh dan
Perannya
NO.
|
Tokoh
|
Peran
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(1)
penentuan hubungan antarperan serta tokoh yang
terlibat untuk menentukan permasalahan cerita dengan menggunakian format
berikut;
Format Hubungan Antarperan
No.
|
Hubungan
Antarperan
|
Tokoh
yang Terlibat
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
(2) perumusan
masalah berdasarkan hubungan antar-peran; (5) mengkaji hubungan permasalahan
yang dirumuskan, baik secara normatif, secara fiktif, maupun secara objektif;
(6) interpretasi data untuk menentukan tingkat kerelevanan antara realitas
fiksi dengan realitas sosiobudaya masyarakat; dan (7) pelaporan. Berdasarkan langkah-langkah dipe-roleh hasil
apresiasi atau analisis apresiator seba-gai berikut.
1.
Penentuan latar
Cerpen ”Si Padang” mengungkapkan kehidup-an
masyarakat Minangkabau pada dekade 80-an. Ada beberapa petunjuk dari data-data
struktur cerpen ini tentang hal itu, seperti kutipan berikur:
”Apalagi
sudah lama rokok merupakan barang mewah Sejak aku turun kapal Kerinci dari
Padang seminggu yang lalu”. ”Kemenakan
Datuk ini sudah tiga kali ikut tes
Sipenmaru. Dan nasibnya menentukan lain”.
Kata-kata
yang menunjukkan indikasi dekade 80-an itu adalah Kapal Kerinci dan tes
Sipenmaru, sebab pada dekade 70-an
ke bawah belum dikenal istilah Kapal Kerinci dan tes Sipenmaru. Kapal laut yang
melayani trayek pada dekade 70-an adalah Kapal Batang Hari, kemudian Kapal
Tampomas. Sedangkan tes masuk perguruan tinggi sebe-lumnya disebut dengan tes
Skalu dan tes Proyek Perintis. Dengan penyebutan tes Sipenmaru dalam cerpen
ini, terlihat-lah pengarang ingin mengungkapkan suatu perma-salahan masyarakat
Minangkabau dekade 80-an.
Permasalahan masyarakat Minangkabau
deka-de 80-an ini, juga dibatasi pengarang terhadap masya-rakat Minangkabau
perantauan. Indikasi itu terlihat dengan pengambilan latar kota Jakarta sebagai
tempat berlangsungnya peristiwa. Namun demikian, bukan berarti tidak mempunyai
kaitannya dengan masyarakat Minangkabau yang menetap di daerah asalnya. Dalam
hal ini kota Jakarta dilihat sebagai simbol perubahan sosial. Oleh sebab itu,
permasalahan cerpen ini dapat saja berhubungan dengan pergeseran nilai-nilai
sosial budaya masyarakat Minangkabau yang diamati atau dialami pengarang.
Dengan melalui latar tempat dan
waktu dalam cerpen ini dapat disimpulkan untuk sementara bahwa cerpen ”Si Padang” berbicara tentang perubahan
sistem sosial budaya Minangkabau. Prilaku tokoh cer-pen dan kaitannya dengan
data-data realitas objektif harus diselidiki untuk mendapatkan data-data
sebagai bukti selanjutnya.
2.
Penentuan Peran
dan Hubungan
Antarperan
Sosok pribadi
dalam masyarakat Minangkabau tidak hanya memerankan satu peran dalam kehidupan-nya.
Sosok pribadi itu selalu memerankan peran ganda, misalnya di samping peran
sebagai pemimpin bisa juga berperan
sebagai bawahan, kepala keluarga, tokoh
masyarakat, suami atau istri, kemenakan dan lain-lain. Karya sastra sebagai
pencerminan tatanan kehidupan masyarakat, akan mengetengahkan berba-gai peran
yang diperankan tokoh cerita. Tidak ada dalam karya fiksi seorang tokoh cerita
hanya meme-rankan satu peran saja. Pengarang akan memberikan berbagai peran
terhadap tokoh-tokoh ceritanya.
Dalam cerpen ”Si Padang” seorang tokoh minimal memerankan
dua peran. Iventarisasi peran tokoh-tokoh cerpen ”Si Padang” itu adalah sebagai
berikut.
1.
Tokoh Lidia
memerankan peran: siswa, kekasih, majikan, tuan rumah, anak, dan gadis kota.
2.
Tokoh Mansur
memerankan peran: penganggur, anak, kemenakan, tamu, pekerja/bawahan, pemuda
kampung, dan peno-long.
3.
Tokoh Haji
Kiram memerankan peran: mamak, ninik mamak (penghulu), suami, ayah,
kekasih, majikan, tuan rumah, dan orang kaya (orang berduit).
4.
Tokoh Basril
memerankan peran: kemenakan, pekerja, teman.
5.
Tokoh Mamak
Basril memerankan peran: mamak, tuan ru-mah, dan majikan.
6.
Tokoh Ginah
dan Parmin memerankan peran:
pembantu, tuan rumah, dan tukang kebun.
7.
Tokoh Tante
memerankan peran: tamu, tuan rumah, dan majikan.
Dengan demikian,
sebuah peran dapat saja diperankan oleh beberapa tokoh sekaligus. Dalam hal
penyelidikan permasalahan haruslah dilihat dari sudut peran dan bukan dari
sudut tokoh. Permasalahan akan terlihat, jika peran yang satu dihubungkan
dengan peran yang lain. Beberapa peran yang diperan-kan tokoh-tokoh cerita
tersebut dapat dihubungkan atau dikelom-pokkan menjadi:
a)
mamak
dan kemenakan
b)
anak
dan orang tua (ayah dan ibu)
c)
majikan
dan pekerja; atau majikan dan pembantu
d)
tuan
rumah dan tamu
e)
suami
dan istri
f)
penganggur
dan pekerja
g)
pemuda/gadis
kampung dan pemuda/gadis kota
h)
penolong
dan petolong
i)
si
kaya dan si miskin
j)
teman
dengan teman (lelaki atau perempuan)
k)
kekasih
(laki-laki) dan kekasih (perempuan)
Pengelompokan
hubungan peran-peran terse-but, sekaligus dapat dipandang sebagai topik-topik
yang dibicarakan pengarang dalam karyanya. Topik-topik ini membantu peneliti
untuk mene-lusuri lebih jauh permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam
karya sastra. Berdasarkan data-data hubungan peran di atas, setidak-tidaknya
sudah ada sebelas kandidat permasalahan yang disinggung pengarang dalam karyanya.
Kesebelas kandidat permasalahan itu dapat dirumuskan melalui konflik-konflik
tokoh yang me-merankannya. Jika terdapat peran yang tidak didukung oleh
konflik, maka hubungan peran itu tidak dapat dilanjutkan sebagai penanda adanya
perma-salahan.
Sebagai
contoh adalah topik (k) kekasih dengan kekasih yang tidak terdapat konflik
antara kedua peran itu. Tidak ada konflik antara Lidia dengan pacarnya, begitu
juga dengan tokoh Haji Kiram yang tidak mempunyai konflik dengan gundiknya.
Konflik batin hanya muncul pada tokoh Mansur yang me-nyaksikan hubungan kekasih
Lidia dengan pacarnya dan Haji Kiram dengan gundiknya. Konflik batin Mansur itu
dapat dipandang dalam posisinya meme-rankan
sebagai pemuda kampung yang baru datang di kota besar (Jakarta). Maka
dalam hal ini permasalahan percintaan (topik k) tidak bisa dilanjutkan sebagai
per-masalahan yang harus dikonfirmasikan dengan kon-teks sosial. Permasalahan
tersebut harus ditempatkan sebagai permasalahan yang mengetengahkan perbe-daan
prilaku pemuda kampung dengan pemuda kota (topik g).
Mengikuti pola
uji seperti disebutkan, maka tinggalah topik: mamak dan kemenakan (topik a);
anak dan orang (topik b); majikan dan pembantu (topik c); tuan rumah dan tamu
(d); dan pemuda kampung (desa) dan pemuda kota (topik g), sebagai
penyumbang permasalahan cerpen.
Sedangkan topik suami dan istri (topik e), penganggur dan pekerja (topik f);
penolong dan petolong (topik h); si kaya dan si miskin (topik i); teman dan
teman (topik j); dan kekasih dengan kekasihnya ( topik k), tidak dapat
dilanjutkan sebagai penyumbang permasalahan, sebab topik-topik tersebut tidak
didukung oleh konflik tokoh yang mendukung peran. Namun demikian, topik-topik
itu masih berguna dalam menunjang penyelidikan. Topik-topik tersebut dapat
dipandang sebagai latar tokoh atau pendukung peran.
Topik mamak dan
kemenakan (topik a) didukung oleh beberapa tokoh, seperti tokoh Haji Kiram
Datuk Nan Kuniang Timbago Cahayo Nago sebagai mamak di kampung dan di kota,
serta sebagai ninik mamak di desa; tokoh mamak Basril sebagai mamak di kota,
baik sebagai mamak dekat maupun mamak jauh; tokoh Mansur bin Maliki sebagai
keme-nakan dekat di desa dan di kota, juga sebagai keme-nakan jauh di kota;
tokoh Basril sebagai kemenakan dekat di kota; serta tokoh masyarakat desa
sebagai kemenakan jauh dari Haji Kiram.
Topik anak dan
orang tua (topik b) hanya didukung oleh dua orang tokoh, yaitu tokoh Haji kiram
sebagai orang tua; dan tokoh Lidia sebagai anak. Sedangkan tokoh Mansur tidak
dapat dianggap mendukung topik ini, sebab Mansur sebagai anak tidak mempunyai
konflik dengan ibunya. Begitu juga tokoh Tante walaupun ia ibu tiri dari Lidia,
tetapi tidak mempunyai konflik dengan Lidia, maka tokoh Tante pun tidak dapat
dipandang un-tuk mendukung topik ini.
Topik majikan
dan pembantu (topik c) hanya didukung oleh tiga tokoh, yaitu: tokoh Lidia
sebagai majikan; tokoh Haji Kiram sebagai majikan di rumah, tetapi Haji Kiram
di tokonya tidaklah dapat dianggap mendukung topik ini; dan tokoh Parmin dan
Ginah sebagai pembantu. Hubungan majikan dan pembantu/ pekerja ini seolah-olah
muncul juga pada tokoh mamak Basril. Mamak Basril dan Mansur, namun hubungan
peran ini juga tidak memunculkan konflik.
Topik tuan rumah
dan tamu (topik d) didukung oleh tokoh-tokoh: Tante sebagai tuan rumah; tokoh
Lidia sebagai tuan rumah; tokoh mamak Basril sebagai tuan rumah; dan tokoh
Mansur sebagai tamu. Sedangkan topik pemuda desa dan pemuda kota (topik g)
hanya didukung oleh tokoh Lidia sebagai pemuda kota, dan Mansur sebagai pemuda
desa. Jikapun ada tokoh lain seperti Pacar Lidia dan Basril, ternyata juga
tidak mendukung topik ini.
Dari lima topik
yang di atas, ternyata topik ma-mak dan kemenakan (topik a) yang didukung
banyak tokoh. Dengan demikian pada topik hubungan mamak dan kemenakan inilah
terletak permasalahan utama cerpen “Si Padang”. Sedangkan topik-topik lain
meru-pakan permasalahan penunjang, persentuhan tokoh-tokoh cerpen ini harus di
tempatkan sebagai pendu-kung permasalahan hubungan mamak dan kemenakan.
3.
Permasalahan
Mamak dan Kemanakan
a.
Secara Normatif
Dalam sistem
sosial budaya Minangkabau, mamak adalah saudara laki-laki dari ibu. Dalam arti
luas mamak adalah semua kaum lelaki. Kemenakan adalah anak dari saudara perempuan,
dalam arti luas kemenakan adalah semua anak dari saudara perem-puan yang
sepersukuan. Penataan kehidupan dalam sepersukuan, mamak adalah pemimpin
terhadap ke-menakan yang sepersukuan dengannya. Peninggalan kepemimpinan dalam
satu persukuan dipilih salah seorang mamak yang diangkat menjadi penghulu
dengan gelar Datuk. Hirarki hubungan mamak dengan kemenakan diatur sebagai
tertuang dalam pepatah berikut ini.
Kemenakan beraja kepada mamak
Mamak beraja kepada penghulu
Penghulu beraja kepada musyawarah
Musyawarah beraja kepada alur dan patut
Dari ketentuan itu jelaslah bahwa
kemenakan dipimpin oleh mamak. Buruk baiknya seseorang kemenakan sangat
ditentukan oleh kepemimpinan ma-maknya, dalam bentuk yang lebih luas oleh
kepemim-pinan penghu-lunya. Kemenakan harus menyandarkan nasibnya kepada
mamaknya, dan mamak berkewa-jiban untuk mengikhtiarkan kemajuan atau perbaikan
nasib kemenakannya. Namun ada pula kemungkinan mamak tidak harus ditaati
kemenakannya, bila mamak tersebut memimpin secara tidak bijaksana dan hanya
mementingkan diri sendiri. Seorang mamak dapat didaulat ataupun disanggah,
seperti pepatah berikut ini.
Raja
adil, raja disembah
Raja
lalim, raja disanggah
Antara mamak dan kemenakan terdapat
hu-bungan yang harmonis, saling memberi dan saling menerima, ada pembagian
tugas dan tanggung jawab. Hal ini dengan jelas terungkap pada pepatah-petitih
adat Minangkabau berikut.
Kemenakan
manyambah laia
Mamak
manyambah batin
Kemenakan
bapisau tajam
Mamak
badagiang taba
(Kemenakan
menyembah secara lahir
Mamak
menyembah secara batin
Kemenakan
mempunyai pisau tajam
Mamak
mempunyai daging yang tebal)
Berdasarkan hal tersebut, mamak
mempunyai tugas untuk memberikan arahan secara pemikiran kepada kemenakan, dan
kemenakan harus melak-sanakan semua arahan mamaknya. Pekerjaan yang berat-berat
yang memerlukan kekuatan fisik harus dilakukan oleh kemenakan, sedangkan
pekerjaan yang memerlukan ketajaman psikis harus dike-lola oleh mamak. Mamak
berkewajiban membantu kemenakan-nya, sebab mamak itulah yang mempunyai daging
tebal (menguasai atau memiliki kekayaan). Sudah lazim jika kemenakan meminta
bantuan mamaknya, wajarlah daging tebal mamak itu dipotong-potong oleh pisau
tajam kemenakan.
Seorang lelaki Minangkabau merupakan
sosok pribadi dwifungsi, yaitu di satu sisi ia adalah mamak dari kemenakan-nya,
sedangkan di pihak lain ia adalah ayah dari anak-anaknya. Seorang lelaki
Minangkabau harus memperhatikan dan membimbing anak dan ke-menakannya, tanpa
harus memihak pada anak saja atau kemenakan saja. Anak dan kemenakan bagi se-orang
lelaki Minangkabau ditempatkan dalam posisi:
Anak
dipangku, kemenakan dibimbing
Dapat
saja seorang lelaki tersebut mengutamakan anaknya, tetapi tidak boleh
meninggalkan kemenakan-nya.
Demikianlah pengaturan hubungan mamak
dan kemenakan menurut sistem sosial budaya Minangka-bau. Antara mamak dan
kemenakan terdapat hubung-an yang harmonis, tanpa harus merusak hubungan anak
dan ayahnya.
b.
Secara Fiktif
Dalam cerpen ”Si
Padang” tokoh lelaki Minang-kabau yang berperan sebagai mamak seka-ligus ayah
adalah Haji Kiram Datuak Nan Kuniang Timbago Cahayo Nago. Ia berperan sebagai
mamak dalam hubungannya dengan tokoh Mansur bin Maliki. Ia seorang ayah dalam
hubung-annya dengan tokoh Lidia. Pertemuan Haji Kiram dengan Mansur menghadirkan
dilema hubungan mamak dan keme-nakan.
Haji Kiram
merupakan profil tokoh perantau Minang yang sukses di Jakarta. Sementara Mansur
merupakan sosok pemuda Minang yang putus pendi-dikan, penganggur di kampungnya.
Ketika Haji Kiram pulang kampung, ibu Mansur mengantarkan Mansur menemui Haji
Kiram untuk meminta pertolongan, mencarikan pekerjaan untuk Mansur di Jakarta.
Se-bagai seorang mamak, Haji Kiram menyanggupi untuk membantu Mansur, seperti
tertera dalam kutipan berikut.
”’Iya Datuk.
Tapi kalau boleh bagaimana si Mansur ini cari kerja di Jakarta saja Datuk. Maksud
saya atas pertolongan Datuk’, kata ibu
terbata-bata dan ak berani menatap mata Datuk yang gagah itu.
‘Baik. Kalau mau
kerja, di Jakarta memang banyakPekerjaan.
Asal jangan suka pilih-pilih dulu. KalianTahu sejarahku dulu di Jakarta
bukan?‘Tahu Datuk’, jawabku serentak dengan ibu”.
Maka
datanglah Mansur ke Jakarta dan tinggal bersa-ma mamaknya itu.
Sesampai di Jakarta, Mansur tidak
mendapat-kan pelayanan sebagaimana yang dijanjikan mamak-nya di kampung.
Jangankan Mansur dicarikan peker-jaan oleh mamaknya, berkomunikasi dengan Haji
Kiram saja pun tidak ada. Meskipun Mansur tinggal di rumah mamaknya itu.
Perhatikanlah pengakuan Mansur dalam cerpen itu:
”Sejak
seminggu yang lalu aku menginjakkan kaki
di kota Jakarta ini, baru dua kali bertemu puncak hidung mamakku itu. Pertama
ketika turun dari kapal, dan kedua, ketika aku datang ke tokonya melihat-
lihat tanpa dapat bicara banyak ....”
Sambutan istri Haji Kiram terhadap
Mansur tidak ada bedanya dengan Haji Kiram sendiri. Per-temuan anggota keluarga
Haji Kiram (istri dan anak-anaknya) tidak ada dengan Mansur, sebab semua mereka
pergi pagi-pagi dan pulang malam-malam. Suasana rumah Haji Kiram membuat Mansur
teka-gum-kagum akan kemewahannya, tetapi menimbulkan kejutan psikis bagi Mansur
tentang hubungan-hubung-an individu penghuninya. Beginilah gambarannya:
”Di rumahnya yang bertingkat seperti istana dan berpagar tembok dan besi
yang tinggi ini, suasana begitu lain. Mamakku mempunyai mobil dan sopir,
berangkat pagi-pagi. Tanteku juga begitu. Mereka pulang malam-malam.
Anak-anaknya yang besar-besar (entah berapa anaknya, aku tidak tahu persis)
begitu juga. Karena, selain Lidia, tak seorangppun yang diperkenalkan kepadaku.
Mana yang sudah kawin atau yang masih pacaran, juga aku tidak tahu persis.
Rumah itu mirip hotel mewah. Tiap-tiap orang punya kemedekaan di kamarnya. Di
depan, di samping, atau di belakang ada taman yang ditata rapi.”
Sungguhpun
begitu kemewahan rumah Haji Kiram, namun tamunya yang juga merupakan kemenakan
kandung Haji Kiram, hanya ditempatkan di kamar pembantu bersama-sama dengan
pembantu Si Parmin. Semua keperluan Mansur di rumah mamaknya itu hanya dilayani
oleh pembantu, Parmin dan Ginah. Mansur tidak puas atas perlakuan mamaknya dan
keluarga mamaknya. Ketidakpuasan Mansur itu terlihat pada sumpah serapahnya
terhadap Lidia, anak mamaknya yang masih siswa SMA.
”Sial.
Lancang keterlaluan! Diancuk!” Sumpahku tak kedengaran. Habis, aku benar-benar
merasa terhina. Tak biasanya di kampungku orang yang lebih tua disuruh-suruh
begitu. Disuruh beli rokok lagi. Untuk pacarnya pula lagi. Gila!
”Suruh
Parmin aja Lid. Aku aku capek seharian menapaki Jakarta cari kerja.”
”Parmin
lagi ngggak ada. Hayo cepet doong. Ntar dapat persennya. Mending bali rokok,
kan, dari pada tidur-tiduran gratis dan makan gratis di rumah gue,” ujarnya
seperti tidak punya beban perasaan sedikitpun ....”
Dari
gambaran beberapa kutipan cerpen di atas, maka terlihatlah betapa tidak
harmonisnya hu-bungan mamak dan kemenakan dalam cerpen ”Si Padang”. Ketidakharmonisan itu tidak hanya ber-langsung di
daerah perantauan, tetapi hubungan mamak dan kemenakan melalui tokoh Haji Kiram
dan Mansur sudah tidak harmonis sejak dari kampung halaman. Ketidakharmonisan
itu disebabkan karena hubungan mamak dan kemenakan terputus, Mansur
meninggalkan mamaknya. Bahkan Mansur tidak mau memperkenalkan dirinya kepada
mamaknya, ketika satu saat Haji Kiram menumpang taksi yang dikemu-dikan Mansur.
Jika pun Mansur datang juga ke rumah mamaknya itu, bukan karena terpaut dengan
Haji Kiram selaku mamaknya, tetapi terpaut dengan Lidia selaku gadis remaja.
Mansur jatuh cinta kepada Lidia.
Namun dalam cerpen ”Si Padang” ini, terlihat pula hubungan
mamak dan kemenakan yang harmo-nis, yakni antara tokoh Basril dan mamaknya.
Mamak Basril dan keluarganya merupakan kebalikan dari Haji Kiram dan
keluarganya. Basril dapat bimbingan dari mamaknya dan dapat pelayanan yang
memuaskan dari keluarga mamaknya. Bahkan kehadiran Mansur pun di tengah-tengah
keluarga mamak Basril mendapat perla-kuan yang sama dengan Basril.
Perhatikanlah kutipan berikut ini:
”Mamak Basril memang lain dengan mamakku. Kedatanganku disambut dengan
meriah oleh keluarganya. Dan merasa semakin senang ketika kukatakan bahwa aku
ingin ikut jadi sopir taksi atau bekerja di bengkel, karena aku lulusan STM
bagian mesin ....”
Dengan
demikian ada dua tipe hubungan mamak dan kemenakan dalam cerpen ”Si Padang”, yakni hubung-an yang
harmonis dan hubungan yang tidak harmonis. Tetapi, dapat pula ditegaskan bahwa
hubungan yang tidak harmonis mendapat tempat yang dominan dalam cerpen ini.
c.
Secara Objektif
Untuk
mendapatkan data-data objektif perlu dila-kukan observasi lapangan terhadap
prilaku sosial anggota masyarakat Minangkabau tersebut. Untuk kepentingan ini
telah dilakukan suatu penyebaran angket untuk menjaring data sosial tentang
hubungan mamak dan kemenakan yang berlangsung atau sedang berlangsung, sesuai
dengan masalah yang dirumuskan pada realitas fiktif . Sumber datanya diambil secara
acak dari 60 orang masyarakat Minangkabau yang memerankan mamak dan kemenakan,
baik yang berdomisi di daerah tiga luhak, rantau maupun daerah pesisir. Mungkin sumber data ini belum representatif
untuk keterwakilan prilaku sosial anggota masyarakat Minangkabau secara
keseluruhan, tetapi dianggap cu-kup memberikan gambaran tentang hubungan mamak
dan kemenakan dewasa ini.
Situasi umum
hubungan antara mamak dan kemenakan dewasa ini menurut responden adalah sebagai
berikut: yang menyatakan harmonis sekali hanya 3,2%; harmonis 16,2%,
biasa-biasa saja 29%; kurang harmonis 48,4%; dan tidak harmonis 3,2%. Jika
situasi hubungan mamak dan kemenakan itu diba-tasi di kampung atau di desa-desa
dengan menekankan sikap dan perlakuan mamak terhadap kemenakan, ja-waban
responden menunjukkan: baik sekali 6,5%; baik 38,7%; biasa-biasa 35,5%; kurang
baik 19,3%; dan tidak 0%. Sebaliknya perilaku dan sikap keme-nakan terhadap
mamak di kampung atau di desa-desa adalah: baik sekali 3,6%; baik 51,7%;
biasa-biasa 27,5%; kurang baik 17,2%; dan tidak baik 0%. Sedangkan sikap dan
prilaku mamak terhadap keme-nakan di perantauan adalah: baik sekali 3,2%; baik
38,7%; biasa-biasa 41,9%; kurang baik 16,2%; dan tidak baik 0%. Sebaliknya
sikap dan prilaku kemena-kan terhadap mamak di perantauan adalah: baik sekali
6,9%; baik 58,6%; biasa-biasa 24,2%; kurang baik 6,9%; dan tidak baik 3,4%.
Data-data itu
menunjukkan bahwa keadaan hubungan mamak dan kemenakan dewasa ini ber-langsung
kurang harmonis. Walaupun kenyataan me-nunjukkan demi-kian, namun dalam
sanubari setiap pribadi anggota masyarakat Minangkabau masih ter-simpan suatu
ide keharmonisan, baik ditinjau dari su-dut kemenakan maupun mamak, baik di
kampung maupun di perantauan. Hubungan batin yang terputus antara mamak dan
kemenakan jumlahnya masih sangat sedikit hanya sekitar 20%, walaupun hubungan
lahir yang terputus itu mencapai 51,6%.
Tentang penyebab
terputusnya hubungan mamak dan kemenakan itu ada tiga bentuk, yakni: (1) mamak
tidak pernah lagi memperhatikan kebutuhan material kemenakan (38,1%); (2) mamak
tidak lagi memperhatikan kebutuhan spritual kemenakan (33,3%); dan (3)
menyangkut kebejatan moral mamak (28,6%). Dan penyebab masih utuhnya hubungan
mamak dan kemenakan adalah: mamak masih mem-perhatikan kebutuhan spritual kemenakannya
(66,7%), dan kepribadian mamak masih patut dan pantas ditau-ladani (33,3%).
Jika hubungan
kemenakan dan mamak selalu terputus, oleh responden diberikan alternatif dampak
nega-tifnya sebagai berikut: mamak seakan-akan tidak dibutuhkan lagi (65%);
hilangnya rasa hormat keme-nakan terhadap mamak (16%); dan hilangnya rasa takut
keme-nakan terhadap mamak mamak (15%); dan mamak akan dimusuhi kemenakan (5%).
Sedangkan dampak positifnya jika hubungan mamak dan keme-nakan harmonis atau
terjaga adalah: mamak akan selalu dihormati kemenakan (58,4%); kemenakan akan
menjaga martabat dan nama baik mamaknya (33,3%); dan kemenakan akan selalu
patuh kepada mamaknya (8,3%).
d.
Interpretasi
Data
Sebuah karya
sastra dapat dipandang sebagai jembatan dunia normatif dengan dunia objektif.
Karya sastra harus menggambarkan idealisme masyarakat-nya, sekaligus
mengungkapkan gambaran realitas sosial masya-rakatnya. Cerpen ”Si Padang” ditinjau dari kacamata ini,
memenuhi kriteria itu. Idealisme masyarakat Minangkabau tentang hubungan mamak
dan kemenakan harus berlangsung secara harmonis, ada keseimbangan tugas dan
tanggung jawab, keseim-bangan antara hak dan kewajiban antara mamak dan
kemenakan. Pencerminan idealisme masyarakat Mi-nangkabau ini dapat ditemukan
dalam cerpen ”Si Padang” melalui
hubungan mamak dan kemena-kan, yaitu hubungan tokoh Haji Kiram dengan Mansur
serta Ibu Mansur di kampung; dan pada tokoh Mamak Basril dengan Basril serta
Mansur di Jakarta. Namun, keharmonisan antara mamak dan kemenakan dalam cerpen
ini, tidaklah mendominasi penceritaan. Dominasi penceritaan menyangkut
ketidakharmonisan hubungan mamak dan kemenakan melalui tokoh Haji Kiram dan
Mansur di Jakarta. Sungguhpun begitu, ternyata ketidakharmonisan hubungan mamak
dan kemenakan ini berkaitan dengan realitas objektif. Ketidakharmonisan
hubungan mamak dan kemenakan itu didukung oleh 51,6% respponden (48,4% kurang
harmonis dan 3,2% tidak harmonis). Hanya sekitar 19,4% realitas objektif
masyarakat Minangkabau yang menunjukkan keharmonisan hubungan antara mamak dan
kemenakan.
Permohonan
Mansur dan ibunya kepada Haji Kiram untuk membantu Mansur dalam mengatasi
problemnya, berhubungan erat dengan dunia idealisme masyarakat minangkabau
(kamakan bapisau tajam, mamak badagiang taba). Hal ini pulalah yang menye-babkan
orang tua Mansur sangat senang mendengar berita bahwa Mansur tinggal bersama
mamaknya Haji Kiram di Jakarta. Prilaku tokoh Haji Kiram yang tidak memenuhi
harapan Mansur di Jakarta, merupakan penyimpangan dari dunia idealisme
masyarakat Minangkabau. Akan tetapi, hal ini berkaitan erat dengan realitas
objektif masyarakat Minangkabau dewasa ini. Oleh sebab itu, cerpen ”Si Padang”
dapat disimpulkan sebagai karya sastra yang menggam-barkan realitassosial
masyarakat Minangkabau. Cer-pen ”Si
Padang” tidak lagi sekedar penanda perubah-an sosial budaya Minangkabau.
Banyak data-data
konkret lainnya dalam cer-pen ”Si Padang” untuk memperkuat kesimpulan itu,
seperti: (a) Usaha Mansur bertahan di rumah mamak-nya Haji Kiram selama 15 hari
dan berusaha ”berbaik-baik” dengan keluarga mamaknya, berhubung-an erat dengan
data realitas objektif sikap dan prilaku keme-nakan terhadap mamak di
perantauan yang berbuat baik sebanyak 65,5% (baik sekali 6,9% dan baik 58,6%);
(b) Tidak adanya perhatian Haji Kiram terhadap Mansur yang lebih mendominasi
pence-ritaan, dibandingkan sedikitnya penceritaan hubungan baik mamak Basril
terhadap Basril atau Mansur, berkaitan erat dengan rendahnya sikap dan prilaku
mamak terhadap kemenakan yang baik di perantauan, yakni 41,9% (baik sekali
3,2%, dan baik 38,7%); (c) Tindakan Mansur yang meninggalkan rumah mamaknya
dengan hanya berpamitan dengan Lidia. Tidak maunya Mansur mengenalkan dirinya
kepada mamaknya yang menumpangi taksi Mansur. Keter-ikatan Mansur kembali ke
rumah mamaknya bukan karena mamaknya, tetapi hanya karena Lidia. Semuanya ini
berkaitan dengan realitas sosial masyarakat Minangkabau dewasa ini, bahwa hu-bungan
mamak dan kemenakan itu akan terputus bila: mamak tidak pernah lagi
memper-hatikan kebutuhan material kemenakan; mamak tidak lagi memenuhi
kebutuhan spiritual kemenakan; dan disebabkan kebi-jakan mamak yang cenderung
merugikan kemenakan.
Ketiga alasan
yang diberikan responden dapat dilihat suasananya pada sikap dan prilaku tokoh
Haji Kiram Datuk Nan Kuniang. Masih eratnya hubungan mamak Basril dengan
Basril, serta diterimanya Mansur oleh keluarga mamak Basril dengan suka cita,
juga berhubungan dengan data-data realitas objektif. Keakraban dan keharmonisan
hubungan mamak dan kemenakan akan tetap terjalin mana kala: mamak memperhatikan
kebutuhan spritual kemenakannya; dan kepribadian mamak masih dapat diteladani.
Pemberian material mamak kepada kemenakan bukanlah jaminan untuk terjadinya
keharmonisan hubungan mamak dan kemanakan. Itu pulalah sebab-nya mansur tidak
mendapat tekanan psikologis di rumah mamak Basril yang lebih miskin daripada
Haji Kiram. Di rumah mamak Basril, Mansur mendapat perhatian spritual, dukungan
moral, sedangkan di rumah Haji Kiram tidak. Sebenarnya, kebejatan moral mamak
dan keluarganyalah yang menyebabkan ia pergi meninggalkan rumah. Juga karena
tidak adanya perhatian spritual dari Haji Kiram. Selama lima belas hari Mansur
menumpang di rumah Haji Kiram hanya hanya dua kali sempat berjumpa denganya.
Bukankah tanpa kebutuhan material, Mansur rela pergi menapaki kota Jakarta
untuk mencari kerja sendiri?
Cerpen ”Si
Padang” ini berhubungan juga dengan dunia idealisme masyarakat Minangkabau.
Mamak dijadikan pemimpin bagi kemenakan-kemenakannya, mamak tempat
menggantungkan nasib, mamak harus dituruti kata-katanya. Ukuran normatif ini
terlihat di kampung. Tetapi, setelah sampai di Jakarta ternyata mamaknya tidak
pantas untuk dija-dikan panutan, maka Mansur meninggalkannya. Bahkan Mansur
tanpa ucapan sepatah kata pun membawa lari Lidia yang sedang dimarahi Haji Kiram.
Perbuatan Mansur ini secara implisit merupakan penentangan terhadap mamaknya.
Hal ini berhubung-an dengan nilai-nilai normatif masyarakat Minang-kabau bahwa
‘raja lalim, raja disanggah’. Sedangkan tindakan Mansur yang patuh terha-dap
mamak Basril merupakan pencerminan dari ‘raja adil, raja disembah’.
Berdasarkan
sebagian data-data yang dipa-parkan itu, maka terlihatlah tingginya kerelevanan
cerpen ”Si Padang” dengan realitas
sosial budaya Miangkabau, baik secara idealisme maupun secara realitas objektif.
Kesimpulan ini, mengarahkan reko-mendasi penilaian bahwa cer-pen ”Si Padang” meru-pakan cerpen yang
berhasil mengungkapkan realitas sosial masyarakat Minangkabau saat ini.
Komentar
Posting Komentar