PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA

 

PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA


    A.            Pemerolehan Bahasa

Berbahasa merupakan kemampuan yang harus dimiliki setiap individu untuk dapat berkomunikasi dengan individu atau kelompok lain di lingkungan sekitarnya. Manusia sejak kecil melalui tahap demi tahap untuk dapat berbahasa dengan baik hingga lancar berkomunikasi. Tahap-tahap belajar mengusai bahasa tersebut umumnya disebut pemerolehan bahasa atau pembelajaran bahasa. Terkait istilah tersebut, terdapat perbedaan pendapat para ahli apakah kedua istilah itu sama atau berbeda. Namun, yang akan dijelaskan terlebih dahulu adalah definisi pemerolehan bahasa. Menurut Kiparsky (dalam Tarigan, 1985:243), pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah sebagai berikut.

Suatu proses yang dipergunakan oleh kanak-kanak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucaoan orangtuanya sampai dia memilih berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian tata bahasa yang paling baik serta yang paling sederhana dari bahasa tersebut.

Sehubungan dengan itu, Maksan (1993:19) berpendapat bahwa pemerolehan bahasa adalah penguasaan bahasa yang dilakukan secara tidak disengaja sebagai akibat komunikasi antara orangtua dan anaknya, kakak dan adiknya, dan sebagainya. Dalam buku Maksan tersebut dikemukakan para pakar psikolinguistik sependapat bahwa pemerolehan bahasa umumnya berlangsung sari umur 0;0 sampai 5;0. Menurut Chaer (2009:167), “Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.” Pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan atau proses mempelajari bahasa secara natural yang dilakukan anak (Dardjowidjojo, 2010:225).
Berdasarkan pendapat keempat ahli tersebut, pemerolehan bahasa adalah penguasaan bahasa yang didapatkan seseorang secara tidak disengaja. Umumnya pemerolehan bahasa terjadi kepada anak-anak yang baru belajar berbicara. Hal itu disebabkan karena seorang anak perlahan dapat berbahasa karena komunikasi yang terjadi antara si anak dengan orang-orang di sekitarnya.

         1.         Perbedaan Pemerolehan Bahasa dengan Pembelajaran Bahasa
Istilah pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Maksan (1993:20) menjelaskan bahwa pemerolehan bahasa adalah penguasaan bahasa yang dilakukan secara informal, sedangkan pembelajaran bahasa adalah istilah bagi seseorang yang menguasai bahasa secara formal. Hal ini berarti, seseorang menguasai sebuah bahasa karena aktivitas-aktivitas yang tidak disengaja atau tidak langsung disebut pemerolehan bahasa, sedangkan seseorang yang secara sengaja belajar menguasai bahasa tertentu dengan bantuan pengajar, dilakukan di waktu dan pada tempat tertentu, serta diatur kurikulum disebut pembelajaran bahasa.
Chaer (2009:167) berpendapat “Pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua.” Menurut Dardjowidjojo (2010:225), istilah pemerolehan dipakai untuk padanan istilah Inggris acquisition yakni proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural saat dia belajar bahasa ibunya, sedangkan istilah pembelajaran merupakan padanan istilah learning  yakni proses penguasaan bahasa dilakukan dalam tatanan yang formal dengan cara belajar di kelas yang diajar oleh seorang guru.
Chaer dan Dardjowidjojo berpendapat bahwa pemerolehan bahasa berkenaan pada penguasaan bahasa pertama atau bahasa ibu seseorang saja. Pendapat itu berbeda dengan pendapat Maksan yang telah disebutkan sebelumnya. Maksan berpendapat bahwa pemerolehan bahasa bukan berkenaan dengan bahasa pertama saja, melainkan juga mungkin berkenaan dengan bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya. Apabila seseorang menguasai bahasa dengan cara tidak disengaja dapat disebut pemerolehan bahasa. Ia mencontohkan dengan orang Aceh yang menguasai bahasa Sunda setelah merantau ke Tasikmalaya. Orang Aceh tersebut menguasai bahasa Sunda tanpa melalui pembelajaran bahasa melainkan hanya melalui komunikasi sehari-hari dengan orang yang berbahasa Sunda.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, disimpulkan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan secara tidak sengaja, sedangkan pembelajaran bahasa adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan secara sengaja dengan bantuan pengajar.

         2.         Perbedaan Bahasa Pertama dengan Bahasa Kedua
Bahasa pertama adalah bahasa yang dikuasai seseorang pertama sekali sejak dia lahir (Subyakto dan Nababan, 1992:73). Bahasa pertama yang dikuasai seseorang tidak selalu berjumlah satu (monolingual), tetapi dapat pula berjumlah dua (bilingual) atau lebih dari dua bahasa (multilingual). Bahasa yang diperoleh seseorang pertama sekali secara bersamaan dan berurutan disebut bahasa pertama.
Menurut Dardjowidjojo (2010:241), bahasa pertama disebut juga bahasa ibu, yakni bahasa yang pertama didengar dan dikuasai oleh anak. Bahasa ibu (native language) seseorang tidak ditentukan di daerah mana seseorang itu dibesarkan, tetapi ditentukan dengan menggunakan bahasa apa anak tersebut dibesarkan. Contohnya seorang anak yang tinggal di daerah Jawa tetapi dibesarkan atau dirawat orangtuanya menggunakan bahasa Inggris hingga anak tersebut lebih menguasai bahasa Inggris daripada bahasa Jawa, maka yang menjadi bahasa pertama atau bahasa ibu anak tersebut adalah bahasa Inggris.
Setelah seorang anak menguasai bahasa pertama secara tidak disengaja, maka bahasa yang dikuasai seorang anak melalui proses belajar disebut bahasa kedua atau asing (Subyakto dan Nababan, 1992:82). Bahasa kedua dapat dikuasai anak melalui pendidikan di sekolah dan di tempat kursus, yakni dengan bantuan pengajar, buku, dan media penunjang yang lain.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, disimpulkan bahwa bahasa pertama adalah bahasa yang pertama sekali didengar dan dikuasai oleh anak secara tidak sadar, sedangkan bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh melalui kegiatan belajar.

    B.            Perkembangan Pemerolehan Bahasa
Seorang anak mengalami perkembangan pemerolehan bahasa seiring bertambahnya usia anak tersebut. Faktor-faktor yang berkaitan dengan perkembangan pemerolehan bahasa anak yaitu: perkembangan kognitif, perkembangan sosial, alat pemerolehan bahasa yang dibawa sejak lahir, dan urutan pemerolehan bahasa (Subyakto dan Nababan, 1992:73).
Agar seorang anak dapat disebut memperoleh bahasa atau menguasai bahasa pertama, ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan kognitif anak tersebut. Unsur tersebut yaitu perkembangan nosi (notions) seperti waktu, ruang, modalitas, dan sebab akibat. Selain nosi-nosi tersebut, anak juga harus menguasai deiksis. Nosi-nosi tersebut perlu diketahui anak untuk keperluannya berkomunikasi dengan orang lan.
Perkembangan sosial anak terlihat saat seorang anak menggunakan bahasa pertamanya untuk bergabung menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan,pendirian, dan sebagainya.
Selain perkembangan kognitif dan perkembangan sosial, si anak juga semakin menguasai bahasa pertama karena adanya alat berupa LAD yang memungkinkan si anak memperoleh bahasa. Oleh sebab itu, seorang anak tidak perlu menghafal dan meniru pola-pola kalimat agar mampu menguasai bahasa karena kaidah-kaidah bahasa telah diperoleh dari LAD.

       1.           Proses Pemerolehan Bahasa
Ada dua proses berlainan yang terjadi ketika seseorang memeperoleh bahasa. Kedua proses tersebut menurut Chaer (2009:167) yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang terjadi secara alamiah atau tidak disadari. Proses kompetensi menjadi syarat terjadinya proses perfomansi.
Proses perfomansi adalah kemampuan linguistik yang terdiri atas kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan kalimat-kalimat baru. Kemampuan memahami ialah kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan kemampuan melahirkan ialah kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat sendiri.
Meskipun dengan landasan filosofis yang mungkin berbeda-beda, pada umumnya kebanyakan ahli berpendapat bahwa setiap anak memperoleh bahasa ibunya dengan strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama tetapi juga oleh pandangan aliran mentalistik bahwa anak dilahirkan telah dibekali kodrati. Menurut Chomsky (dalam Dardjowidjojo, 2010:244) bahasa dan wujud bahasa seorang anak ditentukan oleh input di sekitarnya.
                                                                                                 
       2.           Empat Hal yang Dilakukan Anak Sebelum Mampu Berbicara
Ada empat hal yang dilakukan anak sebelum mampu berbicara yaitu: tangisan, celotehan, isyarat, dan ekspresi emosional. Keempat hal tersebut digunakan seorang anak untuk berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Satu per satu dari keempat hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
      a.            Tangisan
Menangis merupakan cara pertama seorang bayi megungkapkan keinginannya. Pengungkapan keinginan tersebut berkembang dengan melakukan komunikasi melalui bahasa kinetik dan lisan. Misalnya, seorang bayi akan menangis jika dia sedang haus atau lapar. Bayi akan menggunakan bahasanya sendiri yang berupa tangisan untuk memberitahukan kepada ibunya bahwa ia lapar. Seiring berjalannya waktu, bayi tumbuh menjadi seorang anak. Perkembangan secara fisik ini diikuti pula dengan perkembangan bahasanya (Candrasari, 2014:2).

      b.            Celotehan
Menurut Dardjowidjojo (2010:244), celotehan (babbling) dimulai dengan konsonan dan diikuti oleh sebuah vokal. Kata yang pertama dipakai anak adalah kata benda. Umumnya yang bersuku kata satu yang diambil dari bunyi celotehan yang disenangi. Contoh: kata “la” untuk benda bernama “bola”.

      c.            Isyarat
Pada mulanya anak menggunakan kalimat terdiri satu kata, yakni kata benda atau kata kerja, yang kemudian digabungkan dengan isyarat, untuk mengungkapkan suatu pikiran utuh (Syadiyah, 2015:40). Sebagai contoh anak mengatakan kata “beri” sambil menunjukkan satu benda berarti “berikan saya mainan itu”. Anak berusia 2 tahun menggabungkan kata ke dalam kalimat pendek seringkali berupa kalimat tidak lengkap yang berisi satu atau dua benda, satu kata kerja, dan kadang-kadang satu kata sifat atau kata keterangan. Mereka menghapuskan kata depan, kata ganti, dan kata sandang. Contoh bentuk kalimatnya adalah “pegang boneka”, “pergi tidur”, “selamat jalan”, “ingin minum”. Pada waktu anak berusia 4 tahun, kalimat mereka hampir lengkap, dan setahun kemudian kalimatnya sudah lengkap berisi semua unsur kalimat.

     d.            Ekspresi emosional
Emosi adalah perasaan yang secara fisiologis dan psikologis dimiliki oleh anak dan digunakan untuk merespons terhadap peristiwa yang terjadi disekitarnya. Emosi bagi anak usia dini merupakan hal yang penting, karena dengan emosi anak dapat memusatkan perhatian, dan emosi memberikan daya bagi tubuh serta mengorganisasi pikiran untuk disesuaikan dengan kebutuhan (Ackerman dalam Martani, 2012:2)
Menurut Ekman (dalam Latifa, 2012:1), “Ekspresi emosi merupakan keadaan kesiapan manusia untuk menanggapi peristiwa-peristiwa mendesak saat bereaksi dan merespon situasi.” Goleman (dalam Latifa 2012:1) merujuk istilah ekspresi (pengungkapan) emosi sebagai suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Contoh ekspresi emosi anak adalah takut. Emosi ini digunakan untuk ”survival”. Pada saat emosi takut muncul pada anak, maka anak menjadi sadar terhadap lingkungan dan menimbulkan sikap hati-hati pada diri anak. Selain takut, senyum merupakan ekspresi emosi senang, dengan senyum anak akan mampu memberikan tanda kepada sekitarnya tentang situasi yang dialami dan kebutuhan untuk melakukan hubungan antarpribadi.

    C.            Tahap Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa seorang anak didapatkan secara bertahap. Adapun tahap-tahap pemerolehan bahasa yaitu membabel, holofrasa, ucapan dua kata, permulaan tata bahasa, menjelang tata bahasa dewasa, dan kecakapan penuh. Tahap-tahap pemerolehan bahasa tersebut akan diuraikan satu per satu.
         1.         Membabel
Seorang anak mulai mengoceh (membabel) setelah berumur kira-kira enam bulan. Membabel adalah kemampuan seorang anak mengucapkan sejumlah bunyi ujar yang sebagian besar tidak bermakna, dan sebagian kecil menyerupai kata atau penggal kata yang bermakna hanya karena kebetulan saja. Tahap membabel adalah tahap seorang anak belajar menggunakan bunyi-bunyi ujar yang dapat diterima orang di sekelilingnya (Subyakto dan Nababan, 1992:78). Menurut Dardjowidjojo (2010:244), celotehan  adalah sebagai berikut.
Celotehan (babbling) dimulai dengan konsonan dan diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian strukturnya adalah CV. Ciri lain daricelotehan adalah bahwa CV ini kemudian diulang sehinnga muncullah struktur C1 V1 C1 V1 C1 V1 [papapa mamama bababa].
Menurut Tarigan (1985:264), sekalipun kanak-kanak tidak dapat dikatakan mempergunakan bahasa dalam arti yang sebenarnya, namun produksi pada saat membebel seolah-olah jauh lebih dekat kepada ujaran. Tarigan menyebut membabel sebagai tahap meraban (pralinguistik) kedua.

         2.         Holofrasa
Menurut Maksan (1993:26), “Masa holofrasa yang berlangsung antara umur 1;0 sampai dengan 2;0 ialah masa anak-anak mengucapkan satu kata dengan maksud sebenarnya menyampaikan sebuah kalimat.” Contoh ketika seorang anak menyebutkan [mammam] yang berarti makan, maka maksud anak tersebut mungkin “ Saya ingin makan.” Atau mungkin juga kalimat lain seperti “ Ibu sedang membuatkan makanan untuk saya.”

         3.         Ucapan Dua Kata
Maksan (1993:26) berpendapat bahwa masa ucapan dua kata berlangsung 2;0 sampai 2;6 saat seorang anak sudah mulai mengucapkan dua buah kata. Dua buah kata tersebut mungkin saja gabungan dari dua holofrasa. Contoh saat seorang anak ingin mengatakan “ Mama aku ingin makan”, maka anak mengucapkan [mam mamam].

         4.         Permulaan Tata Bahasa
Permulaan tata bahasa berlangsung ketika seorang anak berumur 2;6 sampai 3;0. Pada masa ini, seorang anak mulai menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang lebih rumit, seperti penggunaan afiks (Maksan, 1993:26). Kalimat yang digunakan pada umumnya kalimat berisi kata inti saja dan tidak terdapat kata tugas.

         5.         Menjelang Tata Bahasa Dewasa
Masa menjelang tata bahasa dewasa berlangsung sejak si anak berumur 3;0 sampai 4;0. Pada masa ini anak sudah menghasilkan kalimat-kalimat yang rumit, yakni kalimat yang telah menggunakan afiks lengkap, mempunyai subjek, predikat, dan objek, bahkan keterangan (Maksan, 1993:26).

         6.         Kecakapan Penuh
Masa kecakapan penuh berlangsung saat si anak berumur 4;0 sampai 5;0. Pada masa ini si anak yang normal telah mempunyai kemampuan berbicara sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada dalam bahasa ibu (Maksan, 1993:26). Anak tersebut telah mempunyai kemampuan untuk memahami (reseptif) dan melahirkan (ekspresif) apa-apa yang disampaikan orang lain kepadanya, atau apa-apa yang ingin disampaikannya kepada orang lain dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Candrasari, Liring Ayu. 2014. “Pemerolehan Bahasa Anak Usia 3—4 Tahun di Desa Gembong Kecamatan Belik Kabupaten Pemalang: Kajian Linguistik”. (eprints.ums.ac.id. Diunduh 02 Maret 2016).

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Latifa, Rena. 2012. Psikologi Emosi. (Diktis.kemang.co.id. Diunduh 01 Maret 2016).

Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang: IKIP Padang Press.

Martani, Wisjnu. 2012. “Metode Stimulasi dan Perkembangan Emosi Anak Usia Dini” (Jurnal Psikologi). (Jurnal.psikologi.ugm.ac.id. Diunduh 01 Maret 2016).

Subyakto, Sri Utari dan Nababan. 1992. Psikolinguistik sebagai Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Syadiyah, Fatimus. 2015. “Peningkatan Keterampilan Bicara Anak Usia 3--4 Tahun Melalui Metode Bercerita (Wayang Beber Tematik) di Kelompok Bermain Al-jauhariyyah Muslimat Nu Kajen Margoyoso Pati” (Skripsi). Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.

Komentar