PEMBELAJARAN BAHASA
A.
Tipe Pembelajaran Bahasa
Pembelajaran bahasa adalah proses penguasaan
bahasa yang dilakukan seseorang secara sengaja. Pembelajaran bahasa dapat
berkaitan dengan bahasa pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Setiap
penguasaan suatu bahasa yang dilakukan tidak secara alamiah maka penguasaan
bahasa tersebut dinamakan pembelajaran bahasa.
Terkait dengan pembelajaran bahasa, menurut
Ellis (dalam Chaer, 2009:243), ada dua tipe pembelajaran bahasa yaitu tipe
naturalistik dan tipe formal. Tipe naturalistik adalah pembelajaran bahasa
bersifat alamiah, tanpa guru, dan tanpa kesengajaan, sedangkan tipe formal
adalah penguasaan bahasa yang berlangsung di dalam kelas, dibantu guru, materi,
dan alat-alat bantu belajar yang lain.
Pembelajaran tipe naturalistik umumnya dijumpai
di lingkungan yang masyarakatnya bilingual atau multilingual seperti di
Yogyakarta, Padang, Nias, dan sebagainya. Contohnya seseorang yang bahasa
pertamanya bahasa Minangkabau pergi merantau ke Yogyakarta. Di kota itu, mayoritas
masyarakatnya masih menggunakan bahasa Jawa. Oleh sebab itu, akibat sering
berinteraksi dengan masyarakat di Yogyakarta, perlahan seseorang tersebut mulai
mengerti dan mampu berbahasa Jawa. Pembelajaran bahasa yang disebut Ellis
sebagai pembelajaran tipe naturalistik disebut ahli lain sebagai
pemerolehan bahasa karena terjadi secara
alamiah atau tidak disengaja.
Tipe pembelajaran bahasa yang lain adalah tipe
formal. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pembelajaran tipe ini adalah
pembelajaran yang disengaja atau diatur, dilakukan di dalam kelas, dibantu
guru, materi, dan sarana yang lain. Di Indonesia yang termasuk dalam tipe
pembelajaran formal adalah belajar bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ada
juga sekolah-sekolah tertentu yang mengajarkan siswa berbahasa Mandarin,
Jepang, dan bahasa yang lain. Semua penguasaan bahasa yang dilakukan di sekolah
merupakan tipe pembelajaran bahasa formal.
B.
Sejarah Pembelajaran Bahasa
Interaksi antara dua atau lebih masyarakat yang
memiliki bahasa yang berbeda adalah hal yang mengakibatkan lahirnya
pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa dilakukan orang-orang untuk menjalin
komunikasi di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, kemampuan berbahasa juga
dibutuhkan untuk kebutuhan lain. Oleh sebab itulah sangat diperlukan
mempelajari dua atau lebih bahasa.
Sejarah pembelajaran bahasa dikemukakan oleh
Nurhadi (dalam Dardjowidjojo, 2010:245) mengikuti empat tahapan penting yaitu
sebagai berikut.Tahap pertamaterjadi
pada tahun 1880 sampai 1920. Pada tahap ini terjadi rekonstruksi bentuk-bentuk
metode langsung yang pernah digunakan pada zaman Yunani. Tahap kedua berlangsung antara tahun 1920 sampai 1940. Pada tahap
ini Amerika dan Kanada membentuk forum belajar bahasa asing yang menghasilkan
aplikasi metode-metode yang bersifat kompromi. Tahap ketiga berlangsung antara tahun 1940 sampai 1970. Pada tahap
ini muncul berbagai metode dan pendekatan belajar bahasa asing yang
dilatarbelakang situasi perang. Metode tersebut seperti American Army Method, metode audiolingual, dan metode audiovisual.Tahap keempat berlangsung
tahun 1970 sampai 1980. Tahap ini merupakan periode
yang paling inovatif dalam pembelajaran bahasa kedua. Konsep dan hakikat
belajar bahasa dirumuskan kembali, kemudian diarahkan pada pengembangan sebuah model pembelajaran yang
efektif dan efisien yang dilandasi oleh teori yang kokoh. Inti dari pola pikir
yang sudah terbentuk mengenai metode pengajaran bahasa selama waktu yang lalu
dicoba diubah.
C.
Hipotesis Pembelajaran Bahasa
1.
Hipotesis Kesamaan antara B1 dan B2
Hipotesis ini
menyatakan adanya kesamaan dalam proses belajara B1 dan belajar B2. Kesamaan
initerletak pada urutan pemerolehan struktur bahasa seperti modus interogasi,
negasi, dan morfem-morfem gramatikal. Hipotesis ini menyatakan bahwa
unsur-unsur bahasa diperoleh dengan urutan-urutan yang diramalkan. Unsur
kebahasaan tertentu akan diperoleh terlebih dahulu, sementara unsur kebahasaan
lain diperoleh baru kemudian. Studi tentang urutan pemerolehan morfem gramatika
bahasa Inggris telah membuktikan hal ini (Nurhadi dalam Chaer, 2009:247).
Chaer
(2009:247) berpendapat dalam hal penguasaan lafal, kanak-kanak dapat menguasai
B1 dengan pelafalan yang baik dan secara alamiah, sedangkan B2 dapat dikuasai
dengan pelafalan yang kurang sempurna. Memang hal ini belum terbukti
kebenarannya.
2.
Hipotesis Kontrastif
Hipotesis
kontrastif dikembangkan oleh Charles Fries dan Robert Lado. Hipotesis ini menyatakan
bahwa kesalahan yang dibuat dalam belajar B2 adalah karena adanya perbedaan
antara B1 dan B2. Kemudian
dalam belajar B2 disebabkan oleh adanya kesamaan antara B1 dan B2. Jadi, adanya
perbedaan antara B1 dan B2 akan menimbulkan kesulitan dalam belajar B2, yang mungkin juga akan
menimbulkan kesalahan, sedangkan adanya persamaan antara B1 dan B2 akan
menyebabkan terjadinya kemudahan dalam belajar B2 (Chaer, 2009:247).
3.
Hipotesis Krashen
Berkenaan
dengan proses pemerolehan bahasa, Stephen Krashen (dalam Chaer, 2009:247—250)
mengajukan sembilan hipotesis yang saling berkaitan. Kesembilan hipotesis itu
adalah sebagai berikut.
a. Hipotesis Pemerolehan dan Belajar
Menurut hipotesis
pemerolehan dan belajar dalam penguasaan suatu bahasa perlu dibedakan adanya pemerolehan dan belajar.
Pemerolohan adalah penguasaan suatu bahasa melalui
cara bawah sadar atau alamiah dan terjadi tanpa kehendak yang terencana. Proses
pemerolehan tidak melalui usaha belajar yang formal atau eksplisit. Sebaliknya,
yang dimaksud dengan belajar adalah usaha sadar untuk secara formal dan
eksplisit menguasai bahasa yang dipelajari, terutama yang berkenaan dengan
kaidah-kaidah bahasa. Belajar terutama terjadi atau berlangsung dalam kelas.
b. Hipotesis Urutan Alamiah
Hipotesis ini
menyatakan bahwa dalam proses pemerolehn bahasa, kanak-kanak memperoleh unsur-unsur
bahasa menurut urutan tertentu yang dapat diprediksikan. Urutan ini bersifat
alamiah. Hasil penelitian menunjukan adanya pola pemerolehan unsur-unsur bahasa
yang relatif stabil untuk bahasa pertama, bahasa kedua, maupun bahasa asing.
c. Hipotesis Monitor
Hipotesis
monitor ini menyatakan adanya hubungan antara proses sadar dalam pemerolehan
bahasa. Proses sadar menghasilkan hasil belajar dan proses bawah sadar
menghasilkan pemerolehan. Kita dapat berbicara dalam bahasa tertentu adalah
karena sistem yang kita miliki sebagai hasil dari pemerolehan, dan bukan dari
hasil belajar
d. Hipotesis Masukan
Hipotesis
masukan menyatakan bahwa seseorang menguasai bahasa melalui masukan yang dapat
dipahami yaitu dengan memusatkan perhatian pada pesan atau isi, dan bukan pada bentuk. Hal ini berlaku bagi semua orang dewasa maupun
kanak-kanakyang sedang belajar bahasa.
e. Hipotesis Afektif
Hipotesis
afektif menyatakan bahwa orang dengan kepribadian dan motivasi tertentu dapat
memperoleh bahasa kedua dengan lebih baik dibandingkan orang dengan kepribadian
dan sikap yang lain. Seseorang dengan kepribadian terbuka dan hangat akan lebih berhasil
dalam belajar bahasa kedua dibandingkan orang dengan kepribadan yang agak
tertutup.
f. Hipotesis Pembawaan
Hipotesis
pembawaan menyatakan bahwa bakat bahasa mempunyai hubungan yang jelas dengan
keberhasilan belajar bahasa kedua. Krashen menyatakan bahwa sikap secara
langsung berhubungan dengan pemerolehan bahasa kedua, sedangkan bakat
berhubungan dengan belajar. Mereka yang mendapat nilai tinggi dalam tes bakat
bahasa, pada umumnya berhasil baik dalam tes tata bahasa.
g. Hipotesis Filter Afektif
Hipotesis
filter afektif menyatakan bahwa sebuah filter yang bersifat afektif dapat
menahan masukan sehingga seseorang tidak atau kurang berhasil dalam usahanya
untuk memperoleh bahasa kedua. Filter itu dapat berupa kepercayaan diri yang
kurang, situasi yang menegangkan, sikap defensif, dan sebagainya, yang dapat
mengurangi kesempatan bagi masukan untuk masuk ke dalam sistem bahasa yang
diiliki seseorang..
h. Hipotesis Bahasa Pertama
Hipotesis
bahasa pertama menyatakan bahwa bahsa pertama anak akan digunakan untuk
mengawali ucapan dalam bahasa kedua, selagi penguasaan bahasa kedua belum
tampak. Jika seseorang anak pada tahap permulaan belajar bahasa kedua dipaksa
untuk menggunakan atau berbicara dalam bahasa kedua, maka dia akan menggunakan
kosa kata dan aturan tata bahasa pertamanya.
i.
Hipotesis
Variasi Individual Penggunaan Monitor
Hipotesis
variasi individual penggunaan monitor berkaitan dengan hipotesis ketiga
(hipotesis monitor), menyatakan bahwa cara seseorang memonitor penggunaan
bahasa yang dipelajarinya ternyata bervariasi. Ada yag terus menerus
menggunakannya secara sistematis, tetapi ada pula yang tidak pernah
menggunakannya.
4.
Hipotesis Bahasa-Antara
Chaer
(2009:250) menjelaskan bahasa antara adalah bahasa/ujaran yang digunakan
seseorang yang sedang
belajar bahasa kedua pada satu tahap tertentu, sewaktu dia belum dapat menguasai
dengan baik dan sempurna bahasa kedua itu. Bahasa antara ini memiliki ciri
bahasa pertama dan ciri bahasa kedua. Bahasa ini bersifat khas dan mempunyai
karakteristik tersendiri yang tidak sama dengan bahasa pertama dan bahasa
kedua. Tampaknya semacam perpindahan dari bahasa pertama ke bahasa kedua.
Bahasa antara
ini merupakan produk dari strategi seseorang dalam belajar bahasa kedua.
Artinya, bahasa ini merupakan kumpulan atau akumulasi yang terus menerus dari suatu
proses pembentukan bahasa.
5.
Hipotesis Pijinasi
Menurut Chaer dan
Agustina (dalam Chaer, 2009:250), hipotesis pijinasi dalam proses belajar
bahasa kedua bisa saja selain terbentuknya bahasa antara, terbentuk juga yang disebut bahasa
pijin, yakni jenis bahasa yang digunakan oleh satu kelompok masyarakat dalam
wilayah tertentu yang berasa di wilayah tertentu yang berada di dalam dua
bahasa tertentu. Bahasa pijin ini digunakan untuk keperluan singkat dalam
masyarakat yang masing-masing memiliki bahasa sendiri. Jadi, bisa dikatakan
bahwa bahasa pijin ini tidak mempunyai penutur asli.
D.
Faktor-faktor dalam Pembelajaran
Bahasa
1.
Faktor
Motivasi
Ada asumsi yang menyatakan bahwa orang
yang belajar bahasa dilandasi
motivasi lebih berhasil dibandingkan orang yang belajar bahasa tanpa dilandasi motivasi
(Chaer, 2009:251).Lambert, Gardner, Brown, dan Ellis juga mendukung pernyataan tertentu.
Coffer (dalam Chaer,
2009:251) menyatakan bahwa motivasi adalah dorongan, hasrat, kemauan, alasan,
atau tujuan yang menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu. Sehubungan dengan
hal itu, Brown menyatakan
bahwa motivasi adalah dorongan dari dalam, dorongan sesaat, emosi atau
keinginan yang menggerakkan seseorang untuk berbuat sesuatu. Menurut Lambert
(dalam Chaer, 2009:251),”Motivasi adalah alasan untuk mencapai tujuan secara
keseluruhan. Jadi, motivasi dalam pembelajaran bahasa berupa dorongan yang
datang dari dalam diri pembelajar yang menyebabkan pembelajar memiliki
keinginan yang kuat untuk mempelajari suatu bahasa kedua.
Gardner dan Lambert (dalam Chaer, 2009:251)
menjelaskan bahwa ada dua fungsi motivasi dalam pembelajaran bahasa kedua,
yaitu sebagai berikut.
a. Fungsi
Integratif
Motivasi
berfungsi integratif kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk mempelajari
suatu bahasa karena adanya keinginan
untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota
masyarakat bahasa tersebut.
b. Fungsi
Instrumental
Motivasi
berfungsi instrumental adalah kalau motivasi itu mendorong seseorang untuk
memiliki kemauan untuk mempelajari bahasa kedua itu karena tujuan yang
bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas
sosial pada lapisan atas masyarakat.
2.
Faktor
Usia
Menurut
Bambang Djunaidi (dalam Chaer, 2009:252)”Ada anggapan umum dalam pembelajaran
bahasa kedua bahwa anak-anak lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran
bahasa kedua dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak tampaknya lebih mudah
dalam memperoleh bahasa baru, sedangkan orang dewasa tampaknya mendapat
kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua.
Hasil
penelitian mengenai faktor usia dalam pembelajaran bahasa kedua menunjukkan hal
berikut ini.
a. Dalam
hal urutan pemerolehan tampaknya faktor usia tidak terlalu berperan sebab
urutan pemerolehan oleh kanak-kanak dan orang dewasa tampaknya sama saja (Fathman,
Dulay, Burt, dan Krashen.
b. Dalam
hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua, dapat disimpulkan sebagai
berikut. 1) anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan
sistem fonologi atau pelafalan seperti asli; 2) orang dewasa tampaknya maju
lebih cepat daripada kanak-kanak dalam bidang morfologi dan sintaksis, paling
tidak pada permulaan masa belajar; 3) kanak-kanak lebih berhasil daripada orang
dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat.
Berdasarkan
hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa faktor umur, yang tidak dipisahkan
dari faktor lain, adalah faktor yang berpengaruh dalam pembelajaran bahasa
kedua. Perbedaan umur mempengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa
kedua pada aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis; tetapi tidak berpengaruh
dalam pemerolehan urutannya.
3.
Faktor
Penyajian Formal
Chaer
(2009:253) menjelaskan bahwa pembelajaran atau penyajian pembelajaran bahasa
secara formal memiliki pengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh
bahasa kedua karena berbagai faktor dan variabel telah dipersiapkan dan
diadakan dengan sengaja. Keadaan lingkungan pembelajaran bahasa kedua secara
formal, di dalam kelas, sangat berbeda dengan lingkungan pemebelajaran bahasa
kedua secara naturalistik atau alami. Steiberg (dalam Chaer, 2009:253)
menyebutkan karakteristik lingkungan pembelajaran bahasa di kelas atas lima
segi, yaitu sebagai berikut.
a. Lingkungan
pembelajaran bahasa di kelas sangat diwarnai oleh faktor psikologi sosial kelas
yang meliputi penyesuaian-penyesuaian, disiplin, dan prosedur yang digunakan.
b. Di
lingkungan kelas dilakukan praseleksi terhadap data linguistik, yang dilakukan
guru berdasarkan kurikulum yang digunakan.
c. Di
lingkungan kelas disajikan kaidah-kaidah gramatikal secara eksplisit untuk
meningkatkan kualitas berbahasa siswa yang tidak dijumpai di lingkungan
alamiah.
d. Di
lingkungan kelas sering disajikan data dan situasi bahasa yang artifisial
(buatan), tidak seperti dalam lingkungan kebahasaan alamiah.
e. Di
lingkungan kelas disediakan alat-alat pengajaran seperti buku teks, buku
penunjang, papan tulis, tugas-tugas yang harus diselesaikan, dan sebagainya.
Berdasarkan
kelima karakter di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kelas merupakan
lingkungan yang memfokuskan pada kesadaran dalam memperoleh kaidah-kaidah dan
bentuk-bentuk bahasa yang dipelajari.
Kondisi
lingkungan kelas yang khas tentunya ada pengaruh terhadap keberhasilan
pembelajaran bahasa kedua, yang dapat diperinci dalam hal sebagai berikut.
1) Pengaruh
terhadap kompetensi, lingkungan formal di kelas cenderung berfokus pada
penguasaan kaidah-kaidah dan bentuk-bentuk bahasa secara sadar.
2) Pengaruh
terhadap kualitas performansi, performansi merupakan realisasi kompetensi
kebahasaan yang dimiliki seseorang.
3) Pengaruh
terhadap urutan pemerolehan, yang dimaksud dengan urutan pemerolehan di sini
adalah pemerolehan morfem gramatikal.
4) Pengaruh
terhadap kecepatan pemerolehan, kecepatan pemerolehan adalah kecepatan menangkap
masukkan itu sebagai pembendaharaan kebahasaannya.
4.
Faktor
Bahasa Pertama
Menurut
Ellis (dalam Chaer, 2009:256), “Para pakar pembelajaran bahasa kedua pada
umumnya percaya bahwa bahasa pertama (bahasa ibu atau bahasa yang lebih dahulu
diperoleh) mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajar.”
Dulay (dalam Chaer, 2009:256) menjelaskan bahwa seorang pembelajar secara
sadar atau tidak melakukan transfer
unsur-unsur bahasa pertamanya ketika menggunakan bahasa kedua. Akibatnya, terjadilah yang disebut
interferensi, alih kode, campur kode, atau juga kekhilafan. Berdasarkan teori
atau hipotesis dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Menurut
teori stimulus-respons yang dikemukakan oleh kaum behaviorisme, bahasa adalah
hasil perileku stimulus-respons.
b. Teori
konstratif menyatakan bahwa keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya
ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai sebelumnya oleh
si pembelajar.
5. Faktor Lingkungan
Menurut
Dulay (dalam Chaer, 2009:257),”Kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi
seorang pembelajar untuk dapat berhasil dalam mempelajari bahasa baru (bahasa
kedua). Yang dimaksud dengan lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar
atau dilihat oleh pembelajar sehubungan bahasa kedua yang sedang dipelajari.
Kualitas lingkungan bahasa ini merupakan sesuatu yang penting bagi pembelajar
untuk memperoleh keberhasilan dalam mempelajari bahasa kedua. Lingkungan bahasa
ini dapat dibedakan sebagai berikut.
a. Pengaruh Lingkungan Formal
Lingkungan formal adalah
salah satu lingkungan dalam belajar bahasa yang memfokuskan pada penguasaan
kaidah-kaidah bahasa yang sedang dipelajari secara sadar. Sehubungan dengan hal
ini Krashen (dalam Chaer, 2009:258) menyatakan bahwa lingkungan formal bahasa
itu memiliki ciri-ciri: 1) bersifat artifisial; 2) merupakan bagian dari
keseluruhan pengajaran bahasa di sekolah; 3) di dalamnya pemebelajar diarahkan
untuk melakukan aktivitas bahasa yang menampilkan kaidah-kaidah bahasa yang
dipelajari dan diberikan balikan oleh guru dalam bentuk koreksi terhadap
kesalahan yang dilakukan oleh oleh pembelajar.
b.
Pengaruh
Lingkungan Informal
Chaer
(2009:260) menjelaskan bahwa lingkungan informal bersifat alami atau natural,
tidak dibuat-buat. Yang termasuk lingkungan informal ini antara lain bahasa
yang digunakan kawan-kawan sebaya, bahasa pengasuh atau orang tua, bahasa yang
digunakan anggota kelompok etnis pembelajar, yang digunakan media massa, bahasa
para guru, baik di kelas maupun di luar kelas. Secara umum lingkungan ini dapat
dikatakan sangat berpengaruh terhadap hasil belajar bahasa kedua para
pembelajar. Hal ini dapat diketahui dari sejumlah penelitian yang telah
dilakukan para pakar terhadap lingkungan informasi teman sebaya, orang tua,
bahasa guru, dan bahasa penutur asing.
E.
Teori Pembelajaran Bahasa
Ellis (dalam Tarigan,
1988:182—210) telah mengklasifikasikan menjadi enam teori pemerolehan bahasa
kedua yaitu: teori akulturasi dan teori
nativisme, teori akomodasi, teori wacana, teori monitor, model kompetensi variable,
teori kebertandaan. Rangkuman cakupan jangkauan
enam teori bahasa kedua dapat dilihat padauraian di bawah ini.
a. Teori akultrasi dan teori nativisasi
1.Faktor
situasional : hanya memperimbnagkan pemerolehan bahasa kedua alamiah, dalam hal
ini membedakan latar.
2.Perbedaan-perbedaan
pelajar: diperlalukan sesuai dengan variabel-variabel sosio-psikologis yang
mempengaruhi jarak social dan psikologis.
3.Strategi
belajar: mula-mula sang pelajar berasaimilasi dengan norma-internal, kemudian
berakomodasi dengan norma eksternal.
b. Teori
akomodasi
1. Faktosr
siituasional: hanya mempertimbangkan PB2. Dalam hal ini mempertimbangkan aneka
latar.
2. Masukan
a) Ciri-ciri
bahasa sasaran: bahasa sasaran menggambarkan perubahan sasaran sebagai akibat
divergensi menurun non pribumi.
3. Perbedaan
perbedaan pelajar: dilakukan sesuai dengan variabel-variabel sosio-psikologis
yang mempengaruhi persepsi pelajar mengenai kelompok dalam etniknya dan
kelompok luar bahasa kedua.
4. Keluaran
bahasa kedua variabel: sang pelajar membuat penggunaan variabel B2 tergantung
pada penggunaan penada-penaanda ujaran etnis untuk menyatukan atau memecah.
Para pelajar memanfaatkan ujaran formulis, struktur vertikal , kaidah-kaidah
kreatif.
c. Teori
wacana
1. Faktor
situasional: hanya mempertimbangkan PB@ alamiah. Berpusat pada percakapan satu
lawan satu antara pembicara asli dan non pembicara asli.
2. Ciri-ciri
masukan yang disesuaikan : secara formal
dan internasional daalam perundingan makna.
3. Perbedaan-perbedaaan
pelajar:para pelajar berbeda-beda sesuaai dengan siasat-siasat percakapan yang
mereka lakukan. Factor utama adalah usia.
4. Keluaran
bahasa kedua variabel: para pelajar memanfaatkan: (1)ujaran formulais,(2)
struktur vertical (3) kaidah-kaidak kreatif
d. model
monitor
1.Faktor
situasional: mepertimbangkan PB2 kelas dan PB2 alamiah
2.Cirri-ciri
masukan yang disesuaikan: masukan yang dapaat dipahami terdiri dari ‘i+I’
3.Perbedaan-perbedaaan
pelajar: (1) variabel-variabel yang menentukan kekuatan saringan (2) tingkat
pemantauan/monitoring.
4.Strategi-strategi
pelajar: seperangkat mekanisme fungsi-fungsi bagi “pemerolehan” dan pemantauan
seperangkat yang lain sebagai siasatnya bagi “pelajar” produksi.
5.Keluaran
bahasa kedua variabel: variebalitas merupakan produk penerapan/aplikasi
monitor/pemantau.
e.Model
kompetensi/variabel
1)Faktor situasional:
mempertimbangkan PB2 kelas dan PB2 alamiah.
2) Cirri-ciri masukan yang
disesuaikan: masukan berbeda-beda sessuai dengan tingkat perencanaaan wacana.
3)Perbedaan-perbedaaan pelajar:
para pelaajaar berbeda-beda dalaam preferensi/pemilihan wacana terencana/tidak
terencana.
4) Strategi-strategi
pelajar: dua perangkat proses penggunaan
dalam wacana terencana dan tidak terencana juga mengendalikan internalisasi
pengetahuan B2.
5) Keluaran bahasa kedua
variabel: variabelitas merupakan produk penggunaan proses-proses primer atau
sekunder ataau campuran.
f.
Teori keberadaan
1. Factor
situasional: memperlakukan PB2 sebagai fenomena seragam.
2. Masukan
Cirri-ciri bahasa sasaraan dilihat
sebagaai inti(tidak bertandaa ataau tambahan(taraaf-taaraaf kebertandaan).
Strategi-strategi belajar: menganggap
sang pelajar memilih data yang kurang rumit sebagai perhatian sebelum sampai
pada yang lebih rumit.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Komentar
Posting Komentar