Juli
berlalu dan orang-orang membuka lembaran kelender yang bertuliskan Agustus.
Pada bulan-bulan seperti ini, para remaja yang dulu disebut siswa
berbondong-bondong mempersiapkan diri, mulai dari menyiapkan pakaian-pakaian,
tas, sepatu, buku, alat tulis, dan sebagainya untuk memasuki jenjang perguruan
tinggi hingga disebut mahasiswa. Sudah menjadi kebiasaan, bahwa di bulan
Agustus perguruan-perguruan tinggi menerima mahasiswa baru. Di bulan ini pula
sekaligus menjadi awal perkuliahan semester.
“Tingg..ting.”
Hp Dame berbuyi pertanda ada SMS
“Mak, ada kukirim sedikit uang ya.”
Demikian
isi SMS yang dibaca Dame setelah ia membersihkan dan mengeringkan tangannya
untuk membuka SMS tersebut. Setiap pagi setelah anak-anaknya pergi ke sekolah,
pekerjaan Dame adalah mencuci pakaian. Selain pakaian anggota keluarganya, Dame
juga mencuci pakaian tetangga-tetangga yang mau memberi upah padanya.
“Terima
kasih boruku. Jaga kesehatanmu dan jaga dirimu dengan baik ya.” Dame membalas
sms Ruspita, anak pertamanya tersebut dengan wajah berseri-seri dan senyum
sumringah merasa bangga.
Saat
sebagian remaja mendaftar lalu megikuti bimbingan belajar ke kota untuk
mempersiapkan diri memasuki perguruan tinggi favorit, Ruspita si gadis desa
justru telah berangkat marantau ke Batam dan bekerja di perusahaan. Bukan
karena tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan, melainkan ketiadaan
biayalah yang menjadi faktor utama ia hanya menamatkan SMA-nya.
Dengan
berbekal ijazah SMA, Ruspita mendapat panggilan dan diyatakan dapat bekerja di
PT Nusapersada Batam. Sejak itu, Dame, ibu Ruspita membuka rekening bank agar
dapat dengan mudah menerima kiriman uang dari putrinya itu.
Dame
adalah janda yang ditinggal suaminya 2 tahun lalu. Ia memiliki dua orang putri
dan satu putra. Anak sulungnya bernama Ruspita dan sudah bekerja di Batam
dengan gaji 4 juta/bulan terhitung mulai Agustus. Sehari-hari ia mencuci
pakaian tetangga dan bekerja di 7 petak sawahnya. Berawal dari sms putrinya
yang mengirim uang, Dame mulai berhenti menjadi tukang cuci dan
bermalas-malasan pergi ke sawah. Ia kerap bercerita tentang kebanggaanya
terhadap putri sulungnya itu kepada ibu-ibu di kampung Aek Parombunan.
“Tidak
sia-sia kusekolahkan anakku itu selama ini, karena sekarang ia sudah mencicil
jerih payahku.” Ungkap
Dame dengan nada bangga di depan ibu-ibu.
Sudah
menjadi ciri khas orang Batak untuk memperjuangkan anaknya. Sekalipun kondisi
ekonomi rendah, orang tua tetap berusaha mendapatkan biaya untuk menyekolahkan
anaknya, minimal hingga lulus SMA. Pada umumnya, setelah lulus SMA, anak-anak akan merantau ke luar kota
untuk bekerja di perusahaan-perusahaan seperti yang ada di Batam, Jakarta,
Pekanbaru, Kalimantan, dan sebagainya.
Bangga
dan senang dirasakan orang tua ketika anaknya telah bekerja dan dapat membantu
mencukupi kebutuhan keluarga. Mengetahui anaknya bergaji besar, Dame sangat
senang, terlebih lagi setiap bulan ia dapat menerima uang dari putrinya.
Sukacita itu ia rasakan hingga dua tahun pertama putrinya bekerja. Ia merasakan hidup tidak begitu sulit,
ia dan kedua anaknya dapat makan tanpa harus ia rasakan lelah mencuci dan
bertani. Sehari-hari ia duduk berkumpul-kumpul bersama ibu-ibu membicarakan
hal-hal yang ingin mereka bicarakan. Sangat menyenangkan ia lalui hidup setiap
harinya. Namun, situasi berbalik pada awal tahun ketiga sejak Ruspita bekerja
di Batam, kebiasaannya perlahan berubah. Penampilannya mulai berubah. Dan tentu
yang ia rasakan pun berubah. Dame mulai kesusahan mencukupi
kebutuhan sekolah kedua anaknya yang masih duduk di bangku SD dan SMP. Ingin mengandalkan
hasil bertani, ternyata padinya gagal panen karena terserang hama dan
kekurangan pupuk.
“Boru,
bagaimana kabarmu? Sehatkan? Pekerjaan di PT bagaimana? Oh iya, mamak kesusahan mendapatkan uang untuk
biaya sekolah adikmu 3 bulan ini. Ibu juga sudah lama tidak mencuci lagi. Padi
kita juga gagal panen karena terserang hama dan kekurangan pupuk. Jadi ibu
tidak tahu harus bagaimana mendapatkan uang selain mengharapkan kirimanmu.
Tolong hubungi ibu ya.” Dengan harap-harap cemas Dame mengirim sms kepada putri
sulungnya.
Sambil
memasuki dapur untuk memasak, Dame berpikir keras bagaimana mendapatkan uang.
Ia sudah berkali-kali mengirim sms dan menghubungi Ruspita, tetapi tidak ada
jawaban.
“Mak, sepatuku sudah rusak, kapan kita
beli yang baru?” Risna anak bungsunya yang duduk di kelas 5 merengek dengan wajah memelas. Dame kian
merasa gundah dan gelisah. Selain uang yang tidak ada, ia juga mencemaskan
kabar Ruspita, putri
sulungnya yang tidak tahu bagaimana.
Deme
mulai menjauh dari ibu-ibu di kampung. ia tidak lagi mau berkumpul-kumpul
dengan ibu-ibu. Ia malu jika sewaktu-waktu ditanyakan apakah Ruspita masih
mengirimkan uang kepadanya. Bahkan sekalipun ia sudah tidak punya uang
sepeserpun, ia tidak mau meminjam uang dari ibu-ibu di kampungnya. Ia merasa sangat malu, sehingga
lebih memilih meminjam uang kepada rentenir kampung sebelah yang bunga
peminjamannya mencapai 10%.
Sambil
menanti-nanti kiriman Ruspita yang tak kunjung datang, Dame mulai kembali rajin
bekerja di 7 petak sawahnya. Ia mengais-ngais rumput berlumpur di sekitar
padinya sambil terus berpikir tentang Ruspita. Ia mengais-berpikir-mengais dan berpikir kembali hingga langit
mulai menguning pertanda petang telah tiba. Ia beranjak dari sawahnya dan
kembali ke rumah. Ia duduk dan meminum segelas air yang terasa sulit ditelan
akibat kelelahan dan pikiran yang bercampur aduk. Dengan raut wajah yang masih
letih, ia berdiri dan melangkahkan kaki ke dapur berniat memasak makan malam
untuk ia dan kedua anaknya.
Darrrrkhh
darrkhh…
Tiba-tiba
kemarahan Dame memuncak seperti luncuran peluru yang ditembak ke atas. Ia
kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya, sehingga ia melukiskan
amarahnya dengan cara membanting kaleng beras yang kosong.
“Susah
payah kulalui sendiri memasak air mentah itu hingga mendidih, ternyata hanya
sebentar saja ia memberikan uapnya terhadapku. Setelah ia tidak kuberi api, ia
lantas menjadi dingin dan mentah kembali. Ia melupakan aku yang
memperjuangkannya mati-matian mendapatkan ijazah SMA. Dasar anak tidak tahu
membalas budi.” Dame berceloteh murka sambil meletakkan kedua tangannya ke sisi
kiri dan kanan
pinggangnya.
Setelah
sampai 6 tahun lebih tanpa kabar Ruspita, hidup Dame dan kedua anaknya semakin
sulit. Anak-anaknya tidak lagi bersekolah, dan tidak berubah. Ruspita masih
belum memberi kabar apalagi mengirim uang.
Sehari-hari
Dame kembali ke kebiasaannya sebelum mendapatkan gaji pertama Ruspita. Ia
kembali rajin bekerja di sawah, menanam dan mengurus padi. Ia berusaha
menikmati hidup dan rutinitasnya saat ini, hingga saat malam tiba, ia
dikejutkan dengan dua sosok perempuan di hadapannya setelah ia membuka pintu
rumah kecilnya. Dame langsung familiar dengan wajah perempuan itu, tetapi hanya
satu. Hanya satu itu yang sangat ia ketahui. Perempuan yang satu lagi yang di hadapannya
tidak ia kenal, bahkan tidak pernah ia lihat sebelumnya. Ia juga mengetahui
bahwa tidak ada anggota keluarganya yang memiliki wajah seperti itu, baik dari
keluarga pihak suaminya yang telah meninggal, maupun saudara jauh.
“
Untuk apa kau ke rumah ini?”
“....”
“ Keluar
kau! Apa kau masih mengenal kami?”
“ Pergi!”
“
PERGI!” Teriakan
Dame mengagetkan sosok perempuan yang datang bersama Ruspita.
“ Mak…… “ Ruspita memanggil ibunya itu dengan air
yang deras mengalir dari matanya dan berusaha memegang tangan ibunya.
“ Keluar
kau!”
“ Keluar!”
“Mak, ini cucumu” Ruspita menangis dan
mendekatkan anaknya Risda berumur 6 tahun kepada ibunya.
“Apa
kau bilang?”
“ AKU
TIDAK SUDI MELIHAT WAJAHMU DI RUMAH INI.”
“Cepat
keluar kau dan bawa anak ini.” Dame sangat murka. Ia memaksa lalu mendorong Ruspita dan Risda
keluar hingga ia menutup pintu rumahnya. Ruspita menangis tersendu-sendu
bersama Risda putrinya. Ia telah menikah tanpa memberitahukan dan meminta restu
dari ibunya. Ia menikah di Batam dengan laki-laki Flores yang tega
meninggalkanya setelah mereka memiliki anak.
Komentar
Posting Komentar