Saat
menyeduh kopi, Zul merasakan getaran di saku celananya. Perlahan diraihnya HP-nya yang
berwarna putih tipe berlipat. Di layar ponselnya tersebut bertuliskan satu pesan
diterima. Zul lalu membuka pesan itu.
"Nak, ibu sudah kirim beras dan
sambal ke Pak Rasyid, nanti jemput saja ya." Zul lalu
menutup HP itu lalu menaruhnya kembali di dalam saku.
“Dul, besok pagi jemput di kosku jam 4 ya.” kata
Zul.
“Iya.”
***
Zul,
Abdul, Tomo, dan Fuady adalah mahasiswa Jurusan Seni Rupa. Mereka berteman
dekat sejak duduk di bangku kuliah. Mereka mulai tercatat sebagai mahasiswa sejak
tahun 2011. Zul berasal dari Solok Selatan, sedangkan tiga temannya yang lain
memang tinggal bersama orang tuanya di Padang. Zul tinggal seorang diri di kos yang
tidak jauh dari kampusnya.
Zul
tidak begitu tinggi. Kulitnya sawo matang. Dulu rambutnya dipotong bak tentara,
tetapi semenjak menjalani semester lima, Zul membiarkan rambutnya tumbuh
panjang terurai. Tidak hanya Zul, 3 temannya yang lain juga seperti itu.
Hari
demi hari selalu berlalu. Orang tua Zul semakin bertambah tua. Mereka tidak mampu
lagi menggarap sawah hanya berdua. Oleh sebab itu, sawah milik mereka hanya dapat disewakan
kepada orang lain. Mereka tidak lagi mendapat hasil dari sawah itu sebanyak dulu. Alhasil, uang belanja Zul juga tidak dapat dikirim tepat
waktu.
***
Sejak semester lima lalu, Zul memang berubah perangainya. Dia tidak lagi pernah menelepon atau
membalas SMS ibunya, tidak pulang kampung, dan bahkan tidak kunjung lulus padahal
sekarang sudah memasuki tahun kelima. Ketika Zul menunjukkan perubahan, ibunya juga mengubah kebiasaannya. Ibu tidak lagi sering
menelepon atau mengirim SMS ke Zul untuk menanyakan kabar dan memberi
nasihat-nasihat. Ia hanya akan mengirim SMS apabila ia menitip beras dan
sambal ke Pak Rasyid, tetangganya yang mengajar di Padang. Ibu takut mengganggu
kesibukan Zul dalam menjalani perkuliahan. Sebenarnya ibu sangat rindu dengan
kebiasaan-kebiasaan dulu, tetapi ibu juga mau Zul segera wisuda dan mendapatkan
pekerjaan yang bagus. Itulah sebabnya ibu menahan rindu asalkan anak semata
wayangnya itu bisa segera berhasil.
***
“Bu, sudah dibungkus kado untuk Zul? Travel
sebentar lagi datang.
“Iya Pak, tenanglah, sudah
ibu bungkus. Ini ibu mau ambil HP dulu, mau kirim SMS untuk Zul.”
Setelah
ibu mengikat kardus berisi beras, ikan teri goreng, dan sebuah kado, ibu meraih
HP dari atas televisi, lalu mengambil kaca mata yang berada di meja. Bapak hanya
dapat memandang ibu dari atas tempat tidur yang berada di samping televisi. Bapak
melihat ibu mengetik SMS untuk Zul dengan gamang karena jarinya yang tidak
sekuat dulu lagi.
Ibu
dan bapak Zul sangat bersyukur memiliki Zul. Telah lama mereka menginginkan
seorang anak, namun setelah sepuluh tahun menanti, barulah mereka dianugrahi
buah hati yaitu Azizul Hakim. Itulah sebabnya mereka sangat menyayangi Zul
lebih dari apapun.
“Sudah selesai, Bu?”
“Belum
Pak, ibu mau mengirim SMS satu lagi.”
***
Sekitar pukul 12 siang, Zul sedang berada di Pendopo Fakultas Bahasa dan Seni.
Dirasakannya sesuatu yang bergetar di celananya. Ia lalu mengambil HP dan
membaca SMS dari ibu.
"Zul, bagaimana kabarmu Nak? Kami percaya kau baik-baik saja di sana. Kau
sudah dewasa Nak. Kau pasti bisa mengurus semua kebutuhanmu di Padang. Oh iya
Nak, sebulan terakhir ini bapakmu tidak lagi bisa salat, apalagi ke masjid. Bapak
cuma dapat berbaring di tempat tidur"
Zul
lalu menaruh HP kembali dan melanjutkan pembicaraannya dengan temannya. Setelah
lima belas menit berlalu, HP itu kembali bergetar, lalu Zul mangambil dari
sakunya dan lagi-lagi SMS dari ibu.
"Bapak menitip salam padamu. Bapak juga menitip kado untuk ulang tahunmu
yang ke-24. Kami tahu kau sangat sibuk Zul, jadi mungkin tidak sempat mengambil
kiriman ke tempat Pak Rasyid. Kami kirim kado itu menggunakan travel. Kira-kira
habis asar kado itu mungkin sampai di kosmu. Selamat ulang tahun, Nak. Semoga kau
menyukai pemberian kami dan dapat menggunakannya dengan baik.”
Seperti
biasa, Zul tidak juga membalas SMS dari ibunya. Untuk ketiga kalinya, HP itu
bergetar lagi. Zul tidak kesal. Dia masih mau mengambil dari sakunya. Namun,
kali ini bukan lagi SMS, melainkan telepon, bukan pula dari ibunya melainkan
dari Abdul.
“Iya
Dul.”
“Haa.. dimana Zul?”
“Di pendopo, kenapa Dul?”
“Kami udah di jalan mau ke kosmu, cepat ke kos ya.”
“Oh iya iya.”
“Di pendopo, kenapa Dul?”
“Kami udah di jalan mau ke kosmu, cepat ke kos ya.”
“Oh iya iya.”
Abdul
dan Fuady panik dan dengan kecepatan tinggi mengendarai vespa dari suatu tempat menuju kos Zul. Mereka baru saja berkumpul
dengan teman-temannya dari komunitas pengguna vespa. Mereka cemas karena didapati kabar bahwa Tomo tertangkap polisi di kos-kosan. Abdul dan Fuady ingin mengajak Zul melarikan diri dari
Padang. Polisi pasti akan mengintrogasi Tomo.
Sesampai
di kos, Abdul dan Fuady langsung menceritakan tentang Tomo kepada Zul.
Mendengar berita itu, Zul ketakutan dan keringat dinginnya mulai bercucuran.
Mereka lalu bergegas membereskan tanaman mereka. Mereka berencana lari ke
pegunungan. Namun, selagi menyembunyikan pot-pot tanaman di kolong tempat
tidur, nasib baik nyatanya tidak berpihak pada mereka. Polisi segera datang dan
menemukan sekitar 25 pot yang tinggal tanah. Polisi langsung membawa mereka
beserta tanaman yang telah disusun di tas. Akhirnya, empat sekawan itu bertemu
dan akan bersama di penjara.
***
“Bagaimana Bu? Sudah
sampai kiriman untuk Zul?
“Sepertinya belum, Pak.
Zul belum juga membalas SMS ibu.”
“Hmm, semoga Zul menyukai
sajadah yang bapak kasih. Mau salat lagi” Bapak menatap ke arah ibu dan
ibu pun membalas tatapan itu dengan senyum, serta tak henti berdoa dalam hati.
Komentar
Posting Komentar