Cerpen "Koran"

 


Aku sering meminta koran yang ada di perpustakaan. Kemudian malam hari saat sebelum tidur, akan kubaca koran tersebut. Bukan seluruh halamannya, yang kuutamakan adalah membaca cerpen.
***
Sejak sore tadi, di kampusku diadakan acara pementasan seni. Acaranya baru berakhir pukul 9. Karena sudah malam, aku takut naik angkot pulang ke rumah. Oleh sebab itu, aku meminta izin pada ayah dan ibu agar menginap di kos temanku saja.
“Wah, udah ada bapak-bapak di kos kita ya?
“Iya. Alah acok se baca koran mah? (makin sering saja baca koran) Ledek dua temanku dan mereka lalu tertawa bersama.
Aku tidak begitu menghiraukan ledekan mereka. Tetapi, meskipun tertawa diam, dalam benakku terlintas sebuah pertanyaan. Apa koran hanya ditujukan kepada pihak bapak-bapak? Mengapa hal positif seperti membaca koran justru mendapatkan ledekan? Tetapi, kalau dipikirkan kembali, memang tidak salah juga kedua temanku tersebut, karena yang biasa terlihat memang hanya bapak-bapak yang berminat membaca koran. Buktinya yang kulihat di sekitarku. Di kampus yang baca koran cuma tukang ojek dan bapak-bapak tukang bersih-bersih. Tetangga pun yang terlihat hanya bapak-bapak yang kerap membaca koran di teras. Sebenarnya banyak juga ibu-ibu yang memegang koran, tetapi hanya sekedar memegang dan itupun sebentar. Hal itu hanya kudapatkan saat berbelanja di pasar.
***
“Yah, kenapa kita tidak berlangganan koran?”
“Untuk apa Nak? Itukan hanya buang-buang uang saja. Masalah mendapakan informasi, kan kita dapat menonton televisi. Jadi percuma kita beli koran.”
“Selain mendapatkan informasi, membaca koran kan ada manfaat lainnya Yah?
“Memangnya apa Nak? Untuk bungkus nasi gurih?
Aku mulai bingung dengan jawaban ayah, dan karena tidak mau kalah, spontan kujawab saja.
“Baca koran kan bisa melatih penglihatan dan mengasah otak kita Ayah. Seperti kata ayah, membaca lebih banyak manfaatnya daripada sekedar melihat dan mendengar, seperti menonton televisi itu. Apalagi radiasi dari layar televisi bisa merusak mata, mending baca koran kan Yah.” Ayah tiba-tiba terdiam dan seperti tidak mampu menjawab lagi.
“Hahaha, ayah kalah kan?” kuledek ayah sembari tertawa kecil.
“Ayah akan baca koran kalau penulisnya Ratih S.”
Aku langsung mati kutu. Tidak mampu menjawab lagi. Ayahpun langsung beranjak dan pergi ke kamar. Sejenak di ruang itu, televisi dan remotenya, beberapa koran, penggaris, kertas HVS, lem kertas, meja bahkan satu sofa panjang mendadak bekerja sama mengejekku. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat aku yang tak berkutik dengan kalimat terakhir ayah.
Segera kuselesaikan tugas kuliahku untuk mengkliping reportase dari koran dan beranjak ke kamar. Sembari menyusun buku yang akan dibawa besok ke kampus, terlintas sebuah janji dalam hatiku. AKU HARUS MENULIS.
***
Besok adalah Senin. Sebuah hari yang banyak dibenci orang, termasuk aku. Tetapi, sejak percakapanku dengan ayah tentang koran. Aku mendadak menyukai Senin. Meskipun sebenarnya baru mulai kuliah pukul 09.40 WIB, aku sudah pamit ke kampus pukul 07.00 WIB. Semangatku sungguh berapi-api saat itu, bukan untuk mengerjakan proposal ke perpustakaan melainkan meminta beberapa koran dari kedai dekat kampus langgananku yang kuketahui berlangganan koran. Setelah kudapatkan lima koran, akupun mulai mengunduh e-paper. Pagi itu, total kuperoleh lima belas koran cetak dan e-paper edisi Minggu.
Ini bukan pertama kali aku membaca koran. Di perpustakaan, sekali seminggu paling tidak aku membacanya, tetapi tidak pernah habis keseluruhan halamannya. Yang tidak pernah terlewatkan kubaca adalah cerpen, tentunya hanya ada pada koran edisi Minggu. Tetapi, aneh. Aku sangat suka  membaca cerpen, tetapi tidak pernah terlintas di pikiranku untuk menulisnya. Kalaupun ada cerpen yang kutulis, itu hanya sebatas tugas perkuliahanku di jurusan sastra. Baru kali ini ‘penyakit’ itu sembuh dan dokternya ayahku sendiri.
Aku mulai antusias untuk menulis cerpen. Tetapi sebelum itu, kubaca berkali-kali setiap cerpen yang telah kukumpulkan. Seminggu tak terlewatkan tanpa mengunduh dan membaca cerpen edisi Minggu pada bulan-bulan sebelumnya. Di Minggu kedua aku mulai menulis. Ternyata sulit. Untuk menulis satu cerpen saja tidak kunjung selesai. Terlintas beberapa ide cerita, tetapi masih begitu sulit menuliskannya. Telah kuhidupkan laptop, tetapi yang tersimpan selalu saja setengah halaman cerita. Aku tidak putus asa. Mulai kubaca lagi koleksi koran edisi Mingguku. Semenjak percakapan dengan ayah, aku jadi menggilai larut malam. Suasana hening, tanpa klakson kendaraaan, musik dan televisi tetangga, dan tentu ayah dan ibu telah terlelap pulas.  Semakin kudekati cerpen. Kukasihi dia bak kekasih. Kupeluk dia dalam sunyi serta dinginnya malam yang larut.
Setelah beberapa malam kami bercumbu, akhirnya lahirlah sebuah cerpen yang kuberi judul “Si Kutu Buku”.
Belum puas rasanya memiliki satu. Semakin banyak kukencani cerpen dan semakin gigih aku menulis. Ada “Pecal Bu Nur”, “Ikan dan Nelayan”, serta dua cerpen lainnya. Terkumpullah lima cerpen dalam seminggu.  Kemudian hari Jumat yang masih pada malam yang tergolong larut, kukirimkan naskah cerpen ke tiga email koran lokal yang ada di daerahku. Kukirimkan mereka dengan kalimat pengantar yang sopan, dan tak lupa aku berdoa agar salah satu dari mereka bisa keluar membawa namaku.
***
Hari-hari berlalu sejak peristiwa seisi ruang televisi mengejekku. Tak pernah kuminta lagi ayah berlangganan koran, karena aku belum punya modal. Ayah pun demikian, tidak pernah menyinggung permintaanku. Kami masih sibuk dengan rutinitas masing-masing. Ibu mengajar di SD, ayah menjala ikan, dan aku kuliah. Aku satu-satunya anak yang membawa nama ayah di belakang namaku. Keluarga kami sederhana. Tinggal bertiga di rumah sederhana pula dan ditemani dua kucing.
Setiap kali melihat ayah, semangatku membaca dan menulis kian tumbuh. Ingin rasanya cepat-cepat membawa koran yang ada nama Ratih S ke hadapan ayah.  Minggu pagi akhirnya tiba. Dengan harap-harap cemas aku izin kepada ayah dan ibu untuk keluar sebentar. Mereka tidak menanyakan dengan rinci tujuanku. Oleh sebab itu aku tidak merasa cemas.
Kulangkahkan kakiku dengan riang, tak lupa berdoa di dalam hati semoga salah satu ‘kekasihku’ keluar.
“Pagi Kek.”
“Pagi.. Wah, masih pagi begini tumben Ratih sudah keluar.”
“Iya nih, hehehe… boleh lihat-lihat korannya Kek? Kurayu kakek Samsudi.”
“Tentu.”
Kubuka halaman demi halaman sebuah koran, dan ternyata ada “Si Kutu Buku” yang tiba-tiba membuatku berteriak.
“YESSSS…”
“Kenapa Ratih?”
“Nih ada nama Ratih Kek.” Kutunjukkan koran yang sedang kupegang sembari tersenyum kecil.
“Wah, Ratih hebat ya. Selamat Ratih.” Pujian kakek Sam sembari menatapku tersenyum.
“Makasih Kek. Ratih beli satu ya.”
Tak tahu rasanya menggambarkan bagaimana senang dan bangganya perasaanku dengan cerpen ini. Tak cukup hanya itu, kubuka lagi halaman demi halaman koran yang lain. Dan terntaya “Ikan dan Nelayan” membawa namaku juga yang membuatku semakin tak sabar memamerkannya kepada ayah. Aku tertawa sangat bahagia.
“Aku beli yang ini juga Kek.”
“Wahhhhh, di koran yang itu ada tulisan Ratih juga? Hmm, sepertinya nama Ratih akan semakin sering di koran ya?”
“Ahh, kakek bisa saja.” Jawabku dengan malu-malu.
Masih segar diingatanku bahwa Jumat itu aku mengirim tiga cerpen. Tetapi setelah kuperiksa halaman-halaman koran lokal yang lain, tidak terdapat nama Ratih melainkan cerpen yang ditulis oleh Vendo Olvalanda. Sedikit kecewa, tetapi kekecewaan itu dikalahkan dua cerpen lain yang membuatku lebih bersyukur.
***
Kulangkahkan kakiku dengan penuh semangat menuju rumah dengan kedua koran di genggaman. Dalam benakku muncul ide-ide cerita yang ingin segera kujadikan cerpen.
“Ayah….” Kuteriaki dari pintu dengan sangat bangga. Aku sampai di tempat yang teduh ini. Rumah ayah dan ibu yang kusebut rumahku.
“Kenapa Nak?”
“Nih. Apa masih ada alasan untuk malas membaca koran Yah?” Kuserahkan dua koran dengan bangga.
“Coba baca yang bagian cerpen Yah.” Ayah lalu membuka halaman demi halaman koran. Setelah membuka halaman 17, didapatinya tulisan Si Kutu Buku oleh Ratih S. ayah tersenyum.
“Nah, kok korannya dua?”
“Baca juga bagian cerpennya Yah.” Ayah mulai mencari-cari lagi dengan antusias koran yang lain dan….
“Bu.. sepertinya kita harus berlangganan koran.” Teriak ayah memanggil ibu sambil tertawa. Ibu pun segera menghampiri kami dan meledek ayah.
“Ayah ini sepertinya baru tahu kalau Ratih suka tantangan.” Puji ibu sambil merangkul pinggangku akupun tersenyum malu-malu. Ayah lalu duduk sembari membaca cerpenku. Ibu kembali ke dapur, aku pun beranjak untuk mandi. Dengan jahil ibu meneriaki dari dapur.
“Kok sepertinya ibu tertarik membaca novel yang penulisnya Ratih S juga ya Yah.”
Dari dalam kamar, kusahut teriakan ibu tanpa terdengar keluar. “Aku ingin jadi redaktur Bu.” (*)

Komentar