Cerpen "Memberontak Gelap"


Dari belakang rumah berasal bunyi tangisan. Tangisan yang kian merintih meminta dibebaskan tetapi tanpa kata. Menangis histeris, diam, lalu menangis lagi dan lagi. Sore menjelang dia menangis, hingga malam dia histeris. Larut malam dia memekik, hingga subuh menangis lagi. Menangis sekeras-kerasnya. Matahari menyala, udara pagi berhembus, barulah dia diam, tenang, tak berkutik.
Tidak salah orang-orang memaki-maki. Ketenangan mereka terganggu. Tidur mereka tak lelap, tak nyenyak karena tangisan dan histeris kakakku. Awalnya aku menaruh kasihan padanya. Namun, karena tingkahnya yang kian lama kian menjadi-jadi, tak pelik membuat ibaku sirna dan diganti dengan perasaan malu.
Ketika terang datang, hidupku dan keluargaku tenang, tanpa bising, tanpa ejekan, dan tanpa kutukan para tetangga. Tetapi, ketika malam menjelang hingga subuh hadir, rumah kami menjadi tempat meludah, tempat mengutuk, tempat menumpahkan semua kekesalan para tetangga.  Sudah sebulan terakhir, Andrana, nama kakakku menjadi sorotan seluruh warga di kampungku bahkan hingga ke berbagai kampung lainnya. Sebelumnya, kakakku dipuji-puji karena parasnya yang cantik dan otaknya cerdas. Dia menempuh kuliah di perguruan tinggi yang ada di kota. Semenjak kuliah, Kak Andra tidak pernah kembali ke kampung. Selain ongkos yang besar, ketidakpulangannya juga didukung prinsip kakak bahwa dia hanya akan pulang setelah sukses menjadi pekerja profesional. Tiga tahun berlalu, kak Andra masih menjadi buah bibir di kampung kami. Bagaiman tidak, saat bertelepon, Kak Andra selalu mengatakan bahwa kuliahnya berjalan lancar dan mendapatkan nilai tinggi di kampus. Kak Andra sangat yakin, bahwa kelak dia akan sukses dan membawa ayah, ibu, dan juga aku ke kota untuk berwisata. Setiap kabar tentang Kak Andra secepat kilat selalu  sampai kepada warga di kampung karena kebiasaan ibuku yang mengumbar kisah Kak Andra.
Tiga tahun itu, menjadi tiga tahun ayah ibuku berbangga hati. Mereka dielu-elukan di kampung, dianggap sebagai orang tua yang beruntung melahirkan Kak Andra. Aku tidak cemburu, akupun ikut senang dan bangga terhadap Kak Andra. Namun, kenyataan berbalik hanya dengan waktu sekejap.

***
Suatu malam, tiga orang perempuan tinggi dan berjaket datang membawa tas ransel kecil. Mereka  menghantar Kak Andra ke rumah. Rumah kami berada dekat dengan persawahan. Kak Andra diantar dengan tubuh yang lunglai. Saat itu, tepat pukul sepuluh, ayah dan ibu serta aku tentu terkejut dengan kedatangannya.
Hanya mengantarkan, ketiga perempuan teman kakakku itu lantas pamit dan pergi malam itu juga, tanpa menjelaskan apa yang sedang terjadi. Mereka seolah-olah hanya membuang beban, bukan menolong. Aku pun sebenarnya tak tahu ada apa dengan gadis si buah bibir kampung kami ini. Namun, meskipun dia datang dengan keadaan membingungkan, aku tetap bisa merasakan rindu yang terobati akan kakakku satu-satunya ini. Kupandangi wajahnya tiada henti untuk melepas rasa penasaranku akan parasnya setelah tiga tahun tidak bertemu. Memang benar kata orang-orang, Kak Andra memang cantik, bahkan dengan wajah tak segar dan tanpa riasan aku bisa melihat wajah cantiknya. Sangat berbeda dengan wajahku yang dipenuhi jerawat.
“Ada apa denganmu, Nak? Mengapa tiba-tiba pulang dengan keadaan seperti ini? Bukankah katamu kau harus kuliah satu tahun lagi agar memperoleh gelar sarjana? Lalu mengapa tiba-tiba pulang? Apa terjadi sesuatu yang buruk?” Ibu bertanya tak karuan kepada kak Andra, sedangkan ayah dan aku masih serius melihat keadaan Kak Andra. Kak Andra terlihat sangat lelah, dia bahkan tidak menjawab pertanyaan ibu satupun.
“Sudah Bu, biarkan Andra istrahat dulu malam ini. Besok pagi ibu tanyakan semua apa yang mengganjal di hati ibu. Sekarang ayo kita tidur lagi. Sandra bantu kakakmu ke kamar. Biarkan dia istrahat.”
“Iya, Yah.”
Sesampai di kamar, masih kutatap kakakku tiada henti. Kehadirannya benar-benar menghilangkan kantukku malam itu. Seperti perintah ayah, aku tidak mengajakknya berbicara. Aku hanya memandanginya. Saat memandanginya, entah mengapa aku merasa iba sekalipun belum kuketahui apa yang sebenarnya terjadi kepada kakakku itu. Dia merebahkan tubuhnya di kasur kami yang kecil dan berbaring menyamping serta merapatkan kaki seperti kedinginan atau ketakutan. Kubentangkan selimut kepadanya dan dia pun tertidur.
Besok sudah Minggu, tidak sabar rasanya menunggu pagi supaya Kak Andra bisa bercerita. Yang benar saja, hingga jarum jam menunjukkan angka lima, mataku memang enggan tertutup. Sepanjang malam itu aku hanya melihat Kak Andra. Aku mulai membaca cerpen, memandangi kak Andra lagi, melihat-lihat album foto, menulis puisi, dan kembali memandangi Kak Andra. Melihat tubuhnya saat itu, benar-benar memutarkan ratusan memoriku bersamanya. Kak Andra jauh lebih tua dariku. Perbedaan umur kami tujuh tahun. Itulah sebabnya, saat Kak Andra kuliah di tahun ketiga aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
***
Hari Minggu siang disambut dengan matahari terik. Karena terlihat sangat lelah, hingga pukul sebelas ibu tak kunjung mau membangunkan Kak Andra dari tidurnya. Tidak banyak warga kampung yang tahu kalau Kak Andra sudah pulang. Oleh sebab itu, belum ada warga yang bertanya-tanya tentang kakak kepada ibu.
“Kakakmu belum bangun juga?”
“Belum, Yah.”
“Ya sudah biarkan saja dia tenangkan pikiran dulu. Kamu jaga kakakmu, kami ke kebun dulu sebentar.
“Iya, Yah.”
Kak Andra masih saja tidur pulas. Jarum jam terus berjalan dan matahari terus naik. Semakin siang semakin terik. Aku berniat membangunkan dan menawarkan makan, tetapi niat kuurung karena melihat Kak Andra masih tertidur dan tampak tidak mau dibangunkan. Tidur dan hanya tertidur, aku bahkan belum mendengar sedikitpun Kak Andra berbicara meskipun sudah seharian di rumah.
***
Matahari perlahan menutup diri. Gelap mulai menghampiri. Sekitar jam enam sore, aku di dapur sedang memasak ikan dan sayur. Semenjak Kak Andra pergi kuliah ke kota, aku sudah diajarkan ibu memasak.  Di dapur, aku asyik mengiris bawang. Tiba-tiba saja terdengar suara pekikan, histeris dan menagis sekeras-kerasnya. Suara wanita, ya itu suara wanita. AKU TERKEJUT. Dan setelah kudengar dengan saksama, baru kusadari suara itu di dalam rumah kami. Suara itu dari kamarku. Kudapati Kak Andra, mataku langsung membelalak. Kak Andra memberontak. Dia berteriak sekencang-kencangnya. Dia histeris, Dia menangis. Dia mengotak-atik semua yang ada di kamar. Suaranya terdengar keras hingga keluar rumah yang kemudian menarik perhatian warga. Satu per satu warga tiba di rumah kami. Setiap yang datang berkata sesama mereka,
“Bukankah itu Andrana?”
“Kapan dia datang? Lalu ada apa dengannya? “
Kenapa dia seperti itu?”
“Dia seperti orang gila.”
Melihat Kak Andra yang aneh dan tak terkendali, aku takut. Aku berusaha mendekat, tetapi aku kembali menjauh. Aku menangis dan mencoba meminta tolong kepada warga untuk menenangkannya, tetapi tidak satupun yang berani. Bagaimana mungkin warga ataupun aku tidak takut, Kak Andra seperti dirasuki mahkluk lain. Dia histeris begitu kerasnya dengan mata yang melotot dan bibir yang komat-kamit. Dia tidak berhenti histeris sambil melempar setiap benda yang ia lihat di sekitarnya. Tiba-tiba dia diam. Kami pun yang melihatnya diam. Namun, sebentar saja angin berlalu, ia menangis tersendu-sendu, dia lalu berteriak lagi. Rumah kami pun semakin ramai dipenuhi warga. Ayah dan ibu akhirnya pulang dari kebun. Mereka langsung memegang erat kedua tangan Kak Andra. Mereka mencoba menenangkan kakak, tetapi tetap saja ia memberontak.
Hari semakin gelap. Malam mulai berani menunjukkan wujudnya. Perlahan orang-orang pun mulai bosan melihat tingkah kakakku dan satu per satu meninggalkan rumah kami. Sembari beranjak, tak lupa orang-orang tersebut berbisik.
 “Andrana sudah gila, sayang sekali dia, mungkin dia baru diperkosa atau mungkin ditinggal kekasihnya, mungkin juga dia dikeluarkan dari perguruan tinggi di kota. Dia gila karena orang tuanya tidak punya uang lagi menyekolahkannya ke kota.”
Bisikan-bisikan itu benar-benar membuatku geram. Tetapi aku, ayah, dan ibu bahkan belum juga mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada Kak Andra. Ingin rasanya menepis dan membuang jauh-jauh semua anggapan orang-orang tersebut, tetapi barang kali juga dugaan mereka benar. Akupun menahan diri.
Kak Andra benar-benar tak terkendali lagi. Aku bahkan dikejutkan dengan kenyataan tentang ia yang tidak bisa lagi berbicara. Semenjak dia diantar ke rumah pada malam itu, memang tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia baru terdengar bersuara ketika bangun tidur sore tadi, itupun bukanlah berkata melainkan menangis histeris dan berontak.
***
Masih jelas teringat terakhir kali Kak Andra berbicara waktu itu kepada kami melalui telepon. Tetapi, melihat keadaan kakak sekarang, kami pun menjadi ragu benarkah yang dulu bertelepon itu memang dia atau mungkin saja salah satu dari teman yang mengantar dia ke rumah. Rasa ingin tahu bergejolak begitu memaksa dari dalam diri, apa sebenarnya yang dialami kak Andra. Mengapa dia menjadi membisu? Sejak kapan bisu itu tinggal bersama kakakku tercinta? Mengapa dia histeris dan menangis tersedu-sedu? Mengapa hanya menjelang gelap dia berontak? Ada apa dengan gelap dan bagaimana dengan siang? Siapa tiga perempuan yang mengantar kakak ke kampung kita ini? Mengapa mereka terlihat begitu lega melepas kakak ke rumah? Bagaimana kuliah kakak? Sebegitu beratkah perantauanmu di kota hingga seperti ini? Lalu apa dusta saja yang kau ceritakan selama ini? Katakan padaku dugaan orang-orang kampung itu tidak benar, kakak tidak diperkosa, kan? Apalagi ditinggal kekasih, tentu bukan? Kakak bahkan tak pernah bercerita kepada ibu kalau kakak punya kekasih.
Kalau dikumpulkan, mungkin beribu pertanyaan yang menggeliat memaksa keluar dari mulutku dan ditujukan kepada Kak Andra. Tetapi apalah daya, ia tidak akan pernah menjawab pertanyaanku dengan kata-kata apalagi hingga kalimat. Kak Andra hanya akan menjawab dengan teriakan dan tangisan, tak lupa pula dengan mata melotot dan mulut komat-kamit.
Semenjak kejadian sore itu, Andrana bukan lagi nama yang dipuji, melainkan dicibir di tengah-tengah kampung kami. Rumah kami juga bukan lagi rumah yang dapat dilewati orang-orang begitu saja. Setiap orang yang lewat di depan rumah tak pernah lupa berbisik dan meludah, terlebih ketika gelap datang.
Kak Andra kini tinggal di kamar kecil, kamar itu ada sejak ia bukan lagi Kak Andrana yang dulu. Kak Andra yang di kamar kecil adalah Andrana yang diam ketika terang dan berteriak ketika gelap tiba. Gelap selalu beradu dan saling berontak bersama kakakku. Pada saat-saat waktu berlalu di gelap, kakakku berbicara dengan caranya. Kak Andra akan berteriak histeris, lalu diam, manangis, berteriak lagi, berontak, lalu diam, begitu seterusnya hingga terbitnya terang. Demi keamanan Kak Andra, tangan dan kakinya kini dirantai ayah. Suara melengking karena berontak benar-benar mengganggu kenyamanan orang-orang di sekitar rumah. Sempat kami menutup mulut Kak Andra dengan lakban, dengan kainpun pernah. Tetapi, ketika mulutnya dibungkam, mata kak Andra akan semakin melotot dan darahpun mulai keluar dari hidungnya. Hal itu kami ketahui tentu menyiksanya. Akhirnya kami memutuskan membiarkan ia berontak tak karuan di kamar kecil itu. Tidak peduli cibiran orang kampung, ketenangan dan kenyamanan Kak Andra lebih penting.
Kakakku yang malang. Kak Andra yang misteri. Kebenaran tentangnya hanya Kak Andrana sendiri yang tahu. Orang banyak hanya tahu bahwa ia akan tidur ketika terang dan berontak ketika gelap. Andrana adalah pemberontak gelap, Kak Andrana membenci kehadiran gelap di hidupnya, hingga ia berontak dan berontak tak karuan.

Komentar