Diuleknya kacang dan
cabe beberapa biji, lalu diulek juga kencur serta rempah-rempah rahasia lain
yang membuat pecalnya jadi. Dengan penuh semangat, tak lupa sesekali keringat
dari dahi meluncur dan bercampur dengan ulekannya. Sudah sepuluh tahun lamanya Buk
Nur berjualan pecal. Dengan mengandalkan teras rumahnya, dia dapat menjajakan
pecal andalannya dan menghidupi tiga orang anaknya hingga menikah.
Pecal Buk Nur memang
terkenal dengan bumbu yang pas, tidak asin, tidak manis, tidak pula terlalu
pedas. Semuanya pas. Buk Nur berjualan sejak pagi hingga sore. Biasanya
orang-orang di sekitar rumahnya banyak membeli pecal pada pagi hari. Di dekat
rumah Buk Nur sekaligus tempat dia berjualan bertepatan pula ada warung kopi.
Sehingga saat pagi, banyak suami-suami orang yang mengopi di sana sekaligus
membeli pecal Buk Nur.
Buk Nur tingggal seorang
diri di rumahnya. Ketiga anaknya sudah menikah dan tinggal di luar kota. Nur
belum terlalu tua meskipun anak-anaknya sudah menikah. Dia baru menduduki umur
empat puluh sembilan tahun. Dia menikah di usia sangat muda bersama mantan guru
PPL di sekolahnya dulu. Tapi naas cepat menimpanya. Buk Nur harus menjanda. Suaminya
meninggal karena mengalami kecelakaan bus saat membawa siswa-siswanya
berwisata untuk merayakan kelulusan kelas
tiga SMA. Sisa-sisa putus asanya sebisa mungkin dibuang jauh-jauh. Alhasil Buk
Nur mampu bangkit dari keterpurukan. Dia memutuskan berjualan pecal untuk
menyambung hidup.
Rumah Buk Nur sederhana.
Masih berdinding kayu dan beralaskan karpet. Di belakang rumah terdapat tanah
tersisa yang dapat ditanami berbagai tumbuhan. Semasa hidup, Buk Nur dan
suaminya rajin bercocok tanam. Di tanah itu ditanami berbagai jenis sayur yaitu
daun singkong, terung, kangkung, dan bayam. Tak lupa mereka juga menanam cabe,
kunyit, kencur, daun bawang, daun pandan, dan sebagainya. Meskipun suaminya
telah tiada, Buk Nur masih mau bercocok tanam.
***
Bangun pagi, Buk Nur
akan memetik sayur. Selanjutnya, Buk Nur merebus mie dan juga sayur yang baru
dipetiknya. Dia lalu menggoreng kacang tanah, menggoreng keripik, dan
mempersiapkan semua bahan-bahan untuk kebutuhan dagangannya yaitu pecal.
Sekitar jam tujuh pagi biasanya Buk Nur sudah siap mempersiapkan jualannya di
depan rumah.
“Buk Nur, pecalnya satu.”
terdengar suara laki-laki dari samping rumahnya.
“Oh iya, tunggu
sebentar.”
Dengan gesit, Buk Nur
mengambil berbagai komponen pecal lalu dengan lihai mengulek. Ditekannya batu
ulekan dengan sekuat mungkin. Digesek ke batu landasannya, diulek lalu diulek
hingga akhirnya lunak tetapi sengaja tidak diulek hingga lunak sempurna. Buk
Nur masih membiarkan kacang-kacang yang sedikit agak kasar. Dicampurkannya semua
komponen yang telah direbusnya tadi sedikit demi sedikit. Setelah semua sayur
merata dengan kuah kacang, Buk Nur lalu menyajikannya di piring, tak lupa
diberi sedikit keripik berwarna merah jambu. Sebelum mengantarkan pesanan pecal
yang telah jadi, Buk Nur pergi dulu ke rumah untuk sekedar berkaca, setelah
merasa cantik, Buk Nur lalu beranjak menghampiri laki-laki yang memesan pecal
tadi.
Saat mengantar pecal ke
warung kopi dekat rumahnya, laki-laki lain dari sudut warung berkata,
“Pecalnya antar ke sini
satu ya Buk Nur!”
“Iya, iya.”
Buk Nur lalu berjalan
cepat untuk segera mengulek lagi. Kali ini dia harus mengulek lebih banyak
bumbu kacang karena di depan rumahnya juga sudah ada tiga orang yang memesan
pecal untuk dibawa ke rumahnya masing-masing. Dengan senyum sumringah Buk Nur
mengulek dan mengulek lagi. Akhirnya selesai juga diantarnya pecal ke warung
sebelah dan dibuatnya tiga bungkus pecal. Dia lalu sedikit beristirahat
menunggu pembeli yang lain.
***
Siang pun datang. Pagi
tadi sekitar lima belas bungkus pecal Buk Nur telah terjual. Saat berjualan di
pagi hari, Buk Nur menyediakan banyak kacang yang telah digoreng di meja tempat
dia berjualan. Tetapi, ketika siang entah mengapa hanya sedikit yang disediakan
Buk Nur di meja itu. Bukan karena belum digoreng, Buk Nur tahu betul bagaimana
larisnya pecal yang dia jual. Oleh sebab itu, sebenarnya dia sudah menggoreng
banyak kacang sebelumnya.
Seperti halnya pagi,
siang pun banyak yang menginginkan pecal Buk Nur. Bapak-bapak. ibu-ibu, bahkan
anak yang baru pulang sekolah juga sering membeli pecalnya. Setiap siang hari
pembeli pecalnya didominasi anak sekolahan.
“Buk, pecal dua bungkus.”
Kata seorang anak perempuan yang masih menggunakan seragam sekolah menengah
atas.
“Tunggu sebentar ya Nak,
duduklah dulu.” Sahut Buk Nur dan ia mulai mengulek. Setelah kacang hampir
lunak, Buk Nur pergi ke dapur. Dia lalu meminta anak yang memesan tadi bersabar
karena Buk Nur mau mengambil kacang ke belakang. Anak tersebutpun mengiyakan.
Sekitar lima menit berlalu, Buk Nur baru muncul di tempat jualannya dan menaruh
kacang yang digenggamnya ke tempat batu ulekan. Ia lalu mengulek lagi. Akhirnya
pesanan anak tadi selesai dibuat Buk Nur.
Buk Nur tahu betul
bagaimana setiap hari pecalnya banyak terjual, tapi Buk Nur tidak mau mengulek
bumbu kacang hanya sekali saja dengan porsi banyak. Menurutnya, pecal itu akan
lebih enak jika sayur dicampurkan dengan bumbu kacang yang baru diulek. Dia
rela merasakan letih harus mengulek setiap ada pembeli, asalkan jualannya tetap
laris.
Saat berada di dalam
rumah, Buk Nur mendengar lagi pembeli memanggil namanya dan memesan satu
bungkus pecal. Buk Nur lalu keluar, dan seperti biasa dia mempersilahkan
pembeli duduk selagi ia membuat pecal. Buk Nur lalu mulai mengulek. Tapi, sama
seperti sebelumnya, Buk Nur permisi sebentar masuk ke rumah untuk mengambil
kacang di dapur. Setelah sekitar lima menit, Buk Nur muncul kembali di tempat
jualannya lalu mulai mengulek dan akhirnya selesai membuat satu bungkus pecal.
Sudah jam satu siang, Buk
Nur tidak menunggu pembeli di tempat jualannya, tetapi dia menunggu di rumah
saja. Apabila ada pembeli yang memanggil maka Buk Nur akan keluar. Sejak siang
datang, sekitar delapan bungkus pecal berhasil terjual dan ada persamaan dalam
setiap membuat pecal itu. Buk Nur selalu permisi kepada pembeli untuk ke dapur
sebentar dengan alasan mengambil kacang. Setelah sekitar lima menit, Buk Nur
akan hadir kembali ke tempat jualannya dengan menggenggam sedikit kacang lalu
mengulek lagi. Setiap hari ketika siang Buk Nur memang selalu seperti itu. Pembeli
juga bertanya-tanya, mengapa tidak menggoreng banyak kacang untuk persediaan
membuat pecal. Toh kalaupun kacang itu tidak habis dalam sehari masih bisa
disimpan di wadah tertutup dan menggunakannya esok hari. Kacang itu tetap masih
bisa digunakan. Lalu, mengapa harus selalu mengambil sedikit demi sedikit dari
dapur. Mengapa tidak disediakan saja di tempat jualan Buk Nur?
Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya sudah diajukan beberapa pembeli kepada Buk
Nur, tapi Buk Nur selalu mempunyai alasan yang dapat diterima pembeli.
Pembeli akhirnya tidak
ambil pusing asalkan mereka masih bisa menikmati pecal Buk Nur yang serba pas.
Pembeli juga masih bisa sabar menunggu asalkan tidak terlalu lama membuat satu
bungkus pecal karena mengambil kacang ke dapur. Hari-hari berlalu. Buk Nur
berjualan pecal sudah tergolong lama yaitu hingga sepuluh tahun, tetapi
mengenai kebiasaannya pergi ke dapur untuk mengambil kacang saat berjualan
siang hari baru terlihat tiga minggu terakhir ini.
***
Minggu lalu, ada warga
satu kampung yang juga pelanggan Buk Nur melihat seseorang yang mirip Buk Nur memasuki
rumah Mbah Njani. Mbah Njani adalah seorang dukun yang terkenal yang tinggal di
kampung sebelah. Akibat tidak melihat dengan pasti, warga tersebut takut menanyakan
Buk Nur tentang apa yang dilihatnya. Dia takut Buk Nur merasa tersinggung dan
marah. Untuk apa pula seorang janda seperti Buk Nur meminta bantuan dukun. Dia
dapat hidup dengan baik dari hasil menjual pecal. Dia juga telah tergolong tua,
jadi tidak mungkin pula dia meminta sesuatu yang dapat membuat dia bersuami
lagi. Jelas tidak ada alasan Buk Nur pergi ke rumah Mbah Njani.
Pagi datang lagi, Buk
Nur seperti biasa berjualan lagi. Masih sama seperti hari-hari sebelumnya,
pecal Buk Nur selalu laris di pagi hari. Apabila dibandingkan dengan siang,
pagi hari memang lebih banyak yang membeli pecal Buk Nur. Lima belas hingga dua
puluh bungkus bisa terjual saat matahari belum tinggi di langit. Buk Nur
biasanya hanya berjualan sampai jam dua siang saja. Seperti tiga minggu
terakhir ini pula Buk Nur masih dengan kebiasaannya saat berjualan di siang
hari. Dia tidak menunggu pembeli di depan rumah tetapi di dalam rumah. Apabila
ada pembeli yang memanggil barulah ia keluar. Dan kebiasaan yang lain di siang
yaitu saat mengulek bumbu kacang, Buk Nur selalu pergi ke dapur dengan alasan
mengambil kacang. Setelah lima menit berlalu, Buk Nur akan datang kembali ke
tempat jualannya, dan memang benar dia mengambil kacang di tangannya lalu
mengulek kembali. Pecal Buk Nur masih menjadi idola sekalipun dengan munculnya
kebiasaan barunya di siang hari yang mulai membuat jengkel pembeli karena harus
menunggu lama.
***
Suatu waktu tiba, tepatnya
di siang hari yaitu sekitar jam satu, seorang anak berusia sembilan tahun
disuruh ayahnya membeli pecal Buk Nur. Anak tersebut lalu pergi ke rumah Buk
Nur, dilihatnya Buk Nur tidak di tempat jualannya. Diapun mulai memanggil,
“Buk.. Buk… beli pecal
satu bungkus.” Mendengar suara itu, Buk Nur yang sedang sibuk di dalam rumah
langsung menghentikan kesibukannya dan menghampiri suara yang berasal dari
tempat jualannya.
“Oh iya Nak, duduk dulu
ya Nak.”
Anak itupun duduk di
kursi yang biasa digunakan pembeli menikmati pecal Buk Nur. Lalu Buk Nur pun
mulai masukkan apa-apa saja yang perlu diulek untuk membuat pecal. Dimasukkannya
satu per satu lalu diulek. Tiba-tiba Buk Nur merasakan sesuatu yang aneh di
tubuhnya. Tanpa permisi ia langsung pergi ke dalam rumah sekalipun pecal yang
dipesan anak tadi belum selesai. Buk Nur lalu mulai mengangkat bagian leher
dasternya lalu perlahan memasukkan tangannya ke tubuhnya seperti ingin meraih
sesuatu. Setelah dilihat dan dilihat lagi, Buk Nur ternyata meraih ketiaknya.
Digunakannya jarinya untuk menggaruk ketiaknya itu. Semakin gatal terasa dan
semakin digaruknya sekuat-kuatnya. Tak juga gatal itu terobati, Buk Nur
mengambil garpu yang sepertinya telah biasa terletak di dekat kaca yang ada di
rumahnya. Buk Nur lalu menggaruk ketiaknya itu dengan garpu tersebut, setelah
hampir lima menit menggaruk dengan garpu dan tangan secara bergantian, akhirnya
gatal yang ia rasakan di ketiaknya mulai reda.
Buk Nur lalu teringat
dengan seorang anak yang memesan pecal satu bungkus. Di dekat kaca tempat Buk
Nur menggaruk ketiaknya tadi telah ada semangkuk besar kacang yang telah
digoreng. Buk Nur lalu mengambil segenggam kacang dan membawa kacang itu ke
tempat jualannya untuk diulek. Seperti biasa, ia lalu meminta maaf kepada anak
kecil tersebut karena harus menunggu lama. Anak itu hanya diam. Dia masih tidak
menyangka akan apa yang baru dilihatnya. Karena menunggu lama, diam-diam
ternyata anak kecil tadi mengintip ke rumah Buk Nur dan didapatinya Buk Nur
menggaruk-garuk ketiaknya dengan begitu semangat sekaligus terlihat jengkel.
Buk Nur menggaruk ketiak
ketika siang bukan saja dengan tangan yang biasa ia pakai mengambil kacang dari
dapur, melainkan juga dengan garpu yang mungkin adalah garpu yang biasa untuk
mengambil sayuran. Tidak banyak yang mengetahui hal itu, melainkan hanya
seorang anak. Sekalipun dia mengetahui, anak tersebut hanya sebatas heran dan
tidak mengerti dengan berita tentang kebiasaan aneh Buk Nur tiga minggu belakangan
ini. Pecal Buk Nur masih saja laris setiap harinya.
Komentar
Posting Komentar