Aku menyusuri taman-taman
indah di SMA Negeri 1. Kulakukan seperti kala itu, saat kita berseragam putih
abu-abu. Lima tahun telah berlalu. Taman-taman itu semakin indah, semakin
berbunga berwarna-warni. Namun, ada yang berbeda. Dulu aku memandang taman itu
bersepatu hitam yang serupa dengan teman yang lain, tetapi sekarang aku
memandangnya memakai highheels. Dulu
aku senang menyapa ‘Bu’, sekarang aku dipanggil ibu.
Masih teringat
olehku namamu, namaku, dan namanya disebut dengan pengeras suara dari kantor
guru. Kita disuruh datang ke kantor untuk latihan cerdas cermat mewakili
sekolah. Aku lebih dulu sampai di kantor guru itu. Awalnya aku merasa biasa,
tetapi setelah kamu datang, mendadak mataku candu memandangmu hingga aku merasa
tidak biasa. Saat itu kita masih kelas 2 SMA, tetapi berada di kelas yang
berbeda. Kita satu sekolah tetapi belum mengenal satu sama lain. Kita bertemu
baru sejak dipanggil oleh guru itu.
“Nah, Faris, Gita,
dan (namanya), kalian akan dilatih selama satu bulan ke depan untuk perlombaan
cerdas cermat mewakili sekolah kita. “ kata pak Am.
“Baik Pak.” Jawabku.
“Kita latihan setiap
hari Pak?” Tanyamu.
“Iya, mulai besok
sehabis pulang sekolah kita latihan di sini.”
Saat itu kita
ditunjuk bertiga, tetapi aku tidak mau menyebut nama orang ketiga itu. Aku
takut namanya merusak ceritaku ini. Tidak perlu kuceritakan bagaimana kita
latihan satu bulan itu. yang penting hasilnya kita memenangkan juara 1 cerdas
cermat.
Sesudah menang
cerdas cermat, aku kembali dengan rutinitasku seperti siswa lainnya. Kamu pun
demikian. Namun, aku pikir aku telah jatuh. Tidak perlu kusebutkan jatuh dari
mana, yang pasti bukan jatuh yang membuat kulitku berdarah. Kamu pasti sudah
tahu dari kelakuan mataku yang memalukan ini. Mataku sangat candu denganmu. Aku
bahkan tidak bisa mengendalikannya. Dia sangat senang memandangmu. Lalu, apa
lagi yang bisa kuperbuat? Aku harus menuruti keinginannya sekalipun selalu
ketahuan olehmu sehingga membuatku malu. Namun, yang menyakitkan adalah matamu sepertinya
tidaklah demikian. Matamu tidak ingin berlama-lama melihat mataku. Itulah
sebabnya setelah cerdas cermat itu kita tidak lagi lama bertemu. Kalaupun
bertemu, itu bukan disengaja, hanya sekedar berpapasan.
***
Satu tahun berlalu,
aku dan kamu masih saja seperti yang dulu, tidak begitu dekat. Kamu sibuk
dengan pramukamu dan aku hanya sibuk dengan buku-bukuku. Aku hanya sibuk
mengerjakan tugas-tugas di LKS, meringkas buku, mengerjakan piket kelas, dan
sebagainya hingga akhirnya aku dan kamu lulus dengan ijazah dan
sertifikat-sertifikat pemenang berbagai lomba di sekolah.
Anak-anak tamatan
SMA mulai sibuk mengikuti bimbingan belajar untuk memasuki perguruan tinggi
negeri, termasuk aku. Saat itulah aku dan kamu sepertinya bukan lagi sekedar
teman, tetapi mulai menuju status berteman dekat.
“Gita, bimbel dimana?”
“ Maaf ini siapa?”
“ Ini Faris, kapan-kapan kami boleh berkunjung ke
rumahmu nggak untuk belajar bersama?
“ Owhh Faris, iya boleh dong.”
Bermula dari saat
itu, kisah kita dimulai. Kisah dimana kita belajar bersama. Kita makan bersama.
Kita menonton film bersama. Kita jalan-jalan bersama. Kita olahraga bersama.
Banyak hal lagi yang kita lakukan bersama, hingga kita juga bersama-sama lulus
di perguruan tinggi negeri.
***
Masih teringat dengan
jelas bagaimana bahagianya kamu memberitahukanku akan kelulusanmu di taman itu.
Parasmu berseri dan mengajakku ikut bahagia, tetapi wajahku tak dapat
berpura-pura. Aku lulus di kota yang berbeda.
Aku bingung harus
tertawa atau bersedih kala itu. Kamu genggam tanganku, mengajakku merayakan
kelulusan kita. Matamu memandang sendu mataku. Mata kita merasakan bahwa mereka
tidak lagi bisa bertemu, tidak lagi bisa saling memandang. Mata kita tidak lagi
bisa melihat bagaimana kita akan bertengkar, bagaimana kita akan tertawa,
bagaimana kita akan menangis. Mereka yang paling bersedih saat itu. Tidak perlu
kutanya mengapa demikian, karena kamu yang paling mengetahui bahwa di antara
bagian-bagian tubuh kita, mata kita yang pertama kali jatuh cinta. Mata kita yang
sangat ingin selalu bertemu dan memandang satu sama lain.
Satu hal yang
membuatku bangga saat itu, aku mengenalmu yang memprioritaskan pendidikan kita
dan bukan hubungan kita. Kita masih tetap menjadi kekasih, tetapi kita tidak
lagi bisa selalu bersama. Setelah menjalani perkuliahan, aku sibuk dengan
cerita tugas-tugas sastraku dan kamupun antusias bercerita tentang akuntasimu.
Jarak dan waktu memang suka sekali menguji kesetiaan kita. Namun, karena mereka
kita bisa merasakan kebahagiaan dengan hal-hal sederhana seperti bercerita
berjam-jam itu.
Kita masih saja
menjadi kekasih hingga waktu yang tak perlu kusebutkan dalam cerita ini.
Bersama saling mendukung, saling mendoakan, saling mengingatkan, saling bahagia,
dan banyak lagi yang kita dapatkan dengan kata saling, termasuk saling merelakan
untuk tidak berteman dekat lagi.
***
“Bu, cerpen-cerpenya
sudah dikumpul semua.” Kata ketua kelas 2 IPA menghampiriku di taman.
“Owh sudah selesai, ya
udah mari masuk.”
Kini aku berada di
sekolah kita dulu. Seandainya aku dan kamu masih menjadi kekasih, aku akan
sangat antusias bercerita tentang siswa-siswaku yang semuanya menulis cerpen
cinta pertama mereka. Ada yang malu-malu membacakan cerpennya, karena cinta
pertamanya itu berada satu kelas denganya. Ada siswaku yang bahkan telah
mengakui cinta pertamanya sejak SMP. Siswaku yang lain justru merasakan cinta
pertama tak terbalaskan.
Menjadi guru sungguh
menyenangkan Faris. Setiap hari aku bisa mengulang kisahku dulu sewaktu menjadi
siswa. Melihat siswa-siswaku terlambat dan berlari-larian mengejar pagar
sekolah sebelum ditutup. Melihat siswa-siswaku senam setiap pagi, upacara
setiap hari Senin, gotong royong setiap hari Jumat, dan banyak hal lagi.
Kamu pasti sedang
sibuk bekerja sekarang. Aku tahu kamu orang yang ambisius dan tekun. Itulah
sebabnya aku tidak lagi heran saat mendengar kabarmu dari teman kita bahwa kamu
telah memiliki pekerjaan yang sangat bagus. Kamu pasti sangat menyukai
pekerjaanmu, sama halnya aku yang sangat menyukai pekerjaanku. Aku tidak tahu
masihkah aku dan kamu kelak bisa seperti dulu. Namun, aku membanyangkan betapa
bahagianya seandainya kita tetap menjadi kita sebagai kekasih hingga saat ini.
Apakah aku egois?
Ya, aku memang egois. Aku masih mengharapkanmu yang belum tentu mengharapkanku.
Aku masih membawa namamu dalam doaku. Mataku juga belum bertemu dengan mata
yang membuatnya candu untuk bertemu. Kamu tetap masih berstatus yang pertama di
hatiku. Saking egoisnya aku, aku masih berharap ada mata kedua yang datang
membuat mataku candu tetapi dengan orang dan nama yang sama.
Aku tidak ingin
memberitahukan orang-orang bagaimana kita akhirnya berjarak. Tetapi melalui
cerita ini, aku ingin memberitahukan kepada semua orang bahwa aku pernah
beruntung karena memiliki kamu yang membuatku ratu, membuatku istimewa,
membuatku merasa diutamakan, dan tentunya membuatku bahagia. Namamu masih
menjadi tokoh utama cerpen cinta pertamaku yang akan kuceritakan kepada
siswa-siswaku.
Komentar
Posting Komentar